Oleh: Kyatmaja Lookman, CISCP | Director of PT Lookman Djaja
Meroketnya harga sembako menjelang Hari Raya Idul Fitri ini sudah merupakan fenomena tahunan yang belum terselesaikan. Ada beberapa hal yang mendasari permasalahan ini, yakni:
1. Sifat barang yang merupakan bahan pokok. Arti lain dari bahan pokok ini adalah bahan dasar seperti beras, daging, bawang, gula, dan sebagainya. Jika kita break down, bahan pokok akan memiliki komposisi biaya logistik (transportasi, gudang, dan sebagainya) tertinggi karena sifatnya sebagai bahan dasar.
Negara kita terkenal dengan bahan bakunya. Jika bahan baku diolah, maka terjadi proses value adding di dalamnya. Ketika value barang tersebut bertambah, maka komposisi biaya logistik ke harga barang akan semakin turun. Contohnya, komposisi harga tembakau dibanding harga transportasinya dibandingkan harga rokok dibanding harga transportasi.
Bahan baku mempunyai komposisi biaya logistik ke harga barang sebesar 20% sampai dengan 50%, sedangkan barang jadi mempunyai komposisi biaya logistik ke harga barang sebesar 3% sampai dengan 10%. Jika dapat dilihat lebih dalam, perbandingan biaya logistik negara kita dengan negara lain harus dibandingkan juga state dari komoditas barang tersebut. Pengiriman barang baku dan barang jadi tidak dapat dibandingkan apple to apple karena komposisi biaya logistik di barang jadi akan semakin kecil dibandingkan dengan bahan baku.
2. Biaya selalu naik karena pada saat Idul Fitri merupakan momen dimana permintaan akan sangat tinggi. Indonesia memiliki beberapa seasonal fluctuations dan yang paling besar adalah pada saat Hari Raya Idul Fitri. Tiga bulan menjelang Hari Raya Idul Fitri, semua pengiriman khususnya bahan baku akan tinggi. Setelah dua bulan hingga hari H pengiriman tinggi berikutnya adalah consumer goods. Momen ini digunakan pedagang sebagai kesempatan meraup untung setinggi-tingginya karena daya beli masyarakat meningkat dengan adanya Tunjangan Hari Raya (THR). Tingginya permintaan tentunya harus ditopang dengan persediaan yang memadai, sehingga supply = demand. Namun ada kalanya pedagang menahan barang untuk menciptakan ilusi shortage sehingga harga bisa naik dan barang dijual ketika harga sudah naik.
3. Praktek perdagangan ini kerap diwarnai dengan adanya mafia. Beberapa komoditas tertentu harus dikirim ke daerah tertentu, contohnya bawang merah harus dikirim ke daerah Brebes yang terkenal sebagai sentra bawang sehingga barang-barang dari seluruh Indonesia harus dikirim ke Brebes dahulu baru dapat dikirim dan diterima oleh pasar Induk. Dapat dibayangkan jika dari Lampung harus dikirim ke Brebes lalu dikirim balik ke Jakarta. Tentunya ini akan meningkatkan harga barang karena inefficient transportation. Seharusnya pasar Induk dapat langsung menampung pengiriman dari berbagai daerah bukan hanya daerah tertentu saja.
Kegiatan importasi pemerintah merupakan solusi jangka pendek untuk mengurangi harga saat Hari Raya Idul Fitri. Namun jika hal ini dilakukan setiap tahun akan sangat tidak efektif. Pertama, produsen lokal akan kecewa dan akan mengalami kerugian. Lama kelamaan industri dalam negeri yang akan tutup. Kunci utama permasalahan ini adalah meningkatkan daya saing produk dalam negeri terhadap produk luar negeri.
Daya saing produsen dalam negeri dapat ditingkatkan dengan beberapa cara, yaitu penghapusan segala jenis praktek mafia untuk kebutuhan pokok dan sembako. Praktek ini akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dimana kekayaan hanya akan dinikmati oleh segelintir orang saja. Saat ini sudah eranya digital economy dan kemajuan teknologi sudah tidak dapat dibendung lagi. Sudah ada contoh Pasar Induk Nusantara, Pasar Induk berbasis IT yang dapat menerima barang dari seluruh pelosok di Indonesia dan mengirim ke seluruh pelosok Indonesia. Kemajuan teknologi dapat menjadi alat untuk mengurai praktek mafia ini.
Pemerintah harus segera membangun rantai pasok untuk sembako dengan menciptakan Hub-Hub sembako di tiap sentra produksi dan sentra konsumsi lalu dikoneksikan dengan transportasi massal. Adanya Hub and Spoke ini sesuai dengan cita-cita SISLOGNAS dan jika diimplementasikan dapat mengurangi biaya dan meningkatkan daya saing. Hub-hub untuk logistik sembako yang terhubung dengan transportasi massal ini harus segera diciptakan, kecuali pemerintah ingin tetap impor menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Pelarangan truk melintas pada saat Hari Raya Idul Fitri juga memperburuk keadaan. Hal ini akan menimbulkan ilusi shortage di pasar. Pengusaha juga harus merogok kocek lebih dalam dengan mempersiapkan gudang overflow. Tahun 2015 merupakan yang terparah karena truk boleh melintas hanya pada saat H-5 H+3, sedangkan tahun 2014 dari H-4 ke H+1. Banyak biaya yang harus dikeluarkan karena stock harus dipersiapkan lebih dari seminggu, contohnya biaya gudang, stock holding inventory, dan biaya-biaya yang mungkin timbul seperti kerusakan dan kehilangan. Pelarangan truk juga menimbulkan potensi pungli dengan diharuskannya dispensasi untuk truk-truk tertentu. Lebih baik operasionalnya yang dibatasi tetapi tetap boleh melintas.
Ada beberapa cara untuk menurunkan komposisi biaya logistik ke harga barang, salah satunya adalah membangun industri-industri yang dekat dengan bahan baku untuk memperkecil pengiriman bahan baku jarak jauh. Contohnya, pabrik kopi ada di Pulau Jawa agar lebih dekat dengan konsumen, namun bahan baku kopi ada di Lampung. Semakin dekat pabrik ke Pulau Jawa maka pengiriman biji kopi jarak jauh tidak bisa dihindari. Padahal komposisi biaya transportasi biji kopi ke harga barang sangat tinggi dibandingkan dengan kopi bubuk (20% sampai 50%). Jika pabrik dan sentra produksi dapat didekatkan. Pengiriman bahan baku jarak jauh ini dapat dihindari. Tentunya banyak dampak positif yang ditimbulkan, seperti pemerataan pembangunan, pemerataan pekerjaan, dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Download artikel ini:
Mengapa_Harga_Sembako_Naik_Menjelang_Idul_Fitri.pdf (100.6 KiB, 2,215 hits)