Oleh: Dr. Zaroni, CISCP., CFMP.
Head of Consulting Division | Supply Chain Indonesia
Adanya inventory di perusahaan ritel seperti Matahari, Superindo, Farmer Market, Apple Store, Toko Sepeda Rodalink, dan lain-lain mampu menghasilkan penjualan dan laba.
Pengelolaan inventory merupakan fungsi penting dalam perusahaan. Inventory yang berlebih dapat menyebabkan isu likuiditas, sementara inventory yang kurang, berakibat pada proses produksi dan pemenuhan order pelanggan. Para manajer perlu memahami dengan baik pengelolaan inventory secara efektif dan pengaruhnya terhadap kinerja keuangan dan operasional perusahaan.
Pengelolaan inventory dapat ditinjau dari perspektif keuangan dan operasional. Perspektif keuangan dalam pengelolaan inventory mencakup aspek akuntansi dan manajemen keuangan. Sementara perspektif operasional, pengelolaan inventory mencakup penentuan tingkat inventory yang paling optimal dalam arti cost paling minimal dan service level yang maksimal.
Keputusan operasional dalam pengelolaan inventory untuk menjawab pertanyaan fundamental, seperti berapa banyak inventory yang harus dibeli dan kapan sebaiknya order inventory. Sasaran operasional pengelolaan inventory adalah meminimalkan cost dan meningkatkan pemenuhan order.
Di perusahaan, ada berbagai jenis inventory, mulai dari bahan baku (raw material), komponen (spare-part), barang dalam proses (work-in process), sampai barang jadi (finished goods).
Mengapa perlu inventory? Inventory diperlukan untuk (Leon, 2016):
- memenuhi permintaan;
- memenuhi backlog;
- mengantisipasi variabilitas lead-time;
- menyiapkan buffer agar operasional produksi tetap berjalan bila terjadi disrupsi;
- mengatasi kelangkaan barang;
- mengantisipasi kenaikan harga barang.
Bagi perusahaan ritel hanya ada satu jenis inventory, yaitu persediaan barang dagangan (merchandise inventory). Sementara perusahaan manufaktur memiliki tiga jenis inventory, yaitu persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan persediaan produk jadi.
Penting untuk menentukan status kepemilikan inventory sebelum melakukan penilaian inventory. Terutama pada saat posisi inventory masih dalam proses pengiriman. Harus jelas status kepemilikannya, seperti milik penjual (seller) atau pembeli (buyer).
Perdagangan mengatur status kepemilikan barang selama masih dalam proses pengiriman. Setidaknya, ada dua kesepakatan antara pembeli dan penjual yang dikenal dengan free on board (FOB) shipping point dan FOB destination.
FOB shipping point, kepemilikan barang beralih dari penjual ke pembeli manakala barang telah diterima perusahaan pengangkutan. Sementara FOB destination, kepemilikan barang baru pindah ke pembeli bila barang telah diterima di lokasi pembeli.
Dalam praktik bisnis, lazim kita temui sistem penjualan barang konsinyasi. Untuk barang-barang konsinyasi, status kepemilikan barang tetap ada di penjual.
Metode penilaian inventory
Peneliaan inventory untuk menentukan persediaan akhir, beban pokok produksi, dan beban pokok penjualan. Perusahaan mencatat inventory dengan menggunakan pendekatan perpetual atau periodik. Dengan pendekatan perpetual, perusahaan mencatat nilai inventory atas setiap transaksi yang mengakibatkan perubahan nilai inventory. Transaksi ini adalah pembelian, penjualan atau pemakaian inventory.
Tidak seperti pendekatan perpetual, pendekatan periodik hanya mencatat nilai inventory setiap akhir periodik, yaitu pada saat pelaporan keuangan. Bisa bulanan, triwulan, semesteran, atau tahunan. Dengan pendekatan periodik, perusahaan melakukan stock opname atas inventory. Umumnya, kegiatan yang dilakukan pada saat stock opname adalah menghitung, menimbang, atau mengukur setiap jenis inventory, sesuai dengan karakteristik inventory.
Dalam penentuan inventory costing, seperti nilai inventory akhir dan beban pokok penjualan, perusahaan perlu mencatat secara spesifik cost untuk setiap jenis inventory. Metode pencatatan inventory untuk setiap jenis inventory ini dikenal dengan specific identification method.
Dalam praktiknya, beberapa perusahaan mengalami kesulitan untuk menerapkan metode ini. Sebabnya, perusahaan harus mencatat setiap saat atas perubahan unit dan cost dari setiap transaksi pembelian, produksi, penjualan, retur pembelian, dan retur penjualan. Meskipun di era digitalisasi, penerapan specific identification method ini sebenarnya sangatlah mudah untuk mencatat setiap perubahan inventory. Teknologi barcoding, radio frequency identification (RFID), dan electronic product codes, sangat membantu dalam proses pencatatan inventory.
Metode specific identification tepat untuk produk-produk yang bernilai tinggi, seperti produk karya seni, piano, mobil mewah, dan sejenisnya.
Selain metode identifikasi khusus, perusahaan dapat menggunakan cost flow assumption untuk menentukan inventory costing.
Dalam akuntansi, kita mengenal beberapa cost flow assumption untuk inventory costing:
- First-In First-Out (FIFO);
- Metode rata-rata (average cost method);
- Last-In Last-Out (LIFO).
Inventory costing untuk menentukan beban pokok penjualan yang dihitung sebagai berikut:
First-In First-Out (FIFO)
Metode FIFO mengasumsikan bahwa barang yang dijual adalah barang yang pertama kali dibeli. Penggunaan metode FIFO dalam cost flow sejalan dengan aliran fisik barang. Umumnya, perusahaan menjual terlebih dahulu barang-barang yang lama atau barang-barang yang pertama kali masuk. Produk-produk yang memiliki kadaluwarsa seperti produk makanan, minuman, obat-obatan, dan lain-lain umumnya menggunakan FIFO.
Dengan menggunakan FIFO, produk-produk yang dibeli pertama kali, harganya diakui sebagai harga untuk menghitung beban pokok penjualan. Penting untuk diperhatikan bahwa penggunaan asumsi cost flow dalam penghitungan beban pokok penjualan hanyalah asumsi cost, bukan secara fisik unit barang yang dijual mengikuti FIFO. Bisa jadi unit barang yang dijual berbeda dengan asumsi FIFO.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Pengelolaan Inventory: Perspektif Keuangan (Bagian 1 dari 2 tulisan) (833.7 KiB, 910 hits)