JAKARTA, KOMPAS-Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Satuan Tugas 115 Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal menegaskan akan terus menindak praktik penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hukum di perairan Indonesia. Langkah ini diyakini dapat mengurangi kerugian negara dan menyelamatkan cadangan ikan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, pada 2 Agustus lalu, bersama Satgas 115, pihaknya menggelar inspeksi mendadak ke Pelabuhan Benoa, Bali. Saat itu, mereka menemukan tiga dugaan kuat praktik tindak pidana perikanan, yakni dengan cara meminjam izin, mengganti “baju” kapal, dan pulang tanpa deregistrasi.
“Contohnya, kapal Fransiska. Secara fisik berbahan fiber, tetapi pada dokumen tercatat berbahan kayu,” ujar Susi dalam jumpa pers di Gedung Mina Bahari IV Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (29/8).
Atas temuan itu, polisi perairan dan Satgas 115 menetapkan sejumlah tersangka, yakni SM (nahkoda KM Fransiska), RSL (Direktur Utama PT BSM, pemilik KM Fransiska), dan IKR (Direktur PT BMS). Mereka dikenai sangkaan melanggar Pasal 93 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dengan denda Rp 2 miliar.
Praktik pelanggaran hukum juga terjadi di Ambon (Maluku) dan Avona (Papua). Di Ambon, AAH (Direktur PT BIP), THW (Direktur PT TMN), dan H (Direktur PT JM) ditetapkan sebagai tersangka penggunaan tenaga kerja asing tanpa izin. PT BIP, PT TMN, dan PT JM mengoperasikan 46 kapal eks Thailand dan mempekerjakan 1.055 tenaga kerja asing tanpa izin.
Sumber dan berita selengkapnya:
Kompas, edisi cetak Selasa, 30 Agustus 2016.
Salam,
Divisi Informasi
Divisi Informasi