Oleh: Ahmad Sugiono
Senior Consultant | Supply Chain Indonesia
Pelaku usaha kepabeanan khususnya para ahli kepabeanan beberapa hari terakhir dibuat heboh dan terkejut oleh berita terkait Kebijakan Kepabeanan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) meminta masukan dari publik atas Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Konsultan Kepabeanan.
Merujuk pada draf RPMK tersebut, disebutkan bahwa PPPK memiliki tugas untuk mengoordinasikan, melaksanakan penyiapan rumusan kebijakan, pembinaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan informasi atas profesi keuangan. Konsultan kepabeanan selaku pemberi jasa di bidang kepabeanan adalah profesi keuangan yang berada dalam pembinaan PPPK. Tanggapan publik pun beragam ada yang mendukung dan ada juga yang menolak. Mencermati fenomena tersebut, Penulis tergerak untuk mencermati beberapa hal terhadap RPMK tersebut.
Pertama, landasan hukum. Dalam RPMK ini Penulis tidak menemukan landasan dari Undang-Undang (UU) Kepabeanan No. 17 Tahun 2006 sebagai perubahan atas UU Kepabeanan No. 10 tahun 1995 sebagai konsideran terkait Kepabeanan. Landasan yang dipakai antara lain 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan juga Keputusan Menteri Keuangan No. 898/KMK.01/2019 tentang Persiapan Integrasi Pembinaan dan/atau Pengawasan Profesi Keuangan Selain Profesi Akuntansi, Penilai, dan Aktuaris.
Diskusipun menjadi menarik dengan mulai membaca kembali aturan terkait PPJK dalam PMK 214/PMK.04/2007 sebagai perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan sampai pada merujuk pada UU Perpajakan dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Landasan hukum dalam hal ini UU Kepabeanan yang tidak menjadi konsideran dalam RPMK ini tentu akan menjadi pertanyaan publik sedangkan kegiatan yang diatur adalah Kepabeanan serta implikasinya terhadap usaha yang telah lama dilakukan berdasarkan amanah UU Kepabeanan.
Publik khususnya para ahli kepabeanan, terbiasa dalam aktivitasnya baik sebagai tenaga ahli di Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) maupun aktivitas lain seperti menjadi konsultan pada perusahaan konsultan, perusahaan ekspor impor, perusahaan yang mendapatkan fasilitas, TPS, TPB, dan perusahaan pengangkut selalu mengacu pada UU Kepabeanan. Pertanyaan lanjutan muncul apakah karena dalam UU Kepabeanan tidak dikenal istilah Konsultan Pabean tapi hanya istilah PPJK sebagai kuasa Importir Eksportir yang dalam aturan turunannya terkait PPJK dipersyaratkan memiliki Ahli Kepabeanan? Aspek formal sebagai konsideran yaitu UU Pabean menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh RPMK ini ditambah perlunya memperhatikan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang salah satu tujuannya adalah simplifikasi dan harmonisasi regulasi dan perizinan.
Kedua, syarat pendidikan. Persyaratan untuk menjadi Konsultan Kepabeanan pada RPMK Pasal 2 yang minimum adalah Diploma III akan mempersulit Ahli Kepabeanan yang ingin meningkatkan kompetensinya selain memang fakta saat ini banyak Ahli Kepabeanan yang berpendidikan SMA. Pendidikan SMA ini dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang telah berdiri sejak lama dan mempekerjakan Ahli Kepabeanan yang juga telah berusia lanjut dimana saat itu pendidikan SMA dirasa sudah cukup tinggi ditambah syarat minimal mengikuti sertifikasi ujian Kepabeanan sebelumnya adalah minimal SMA dan sederajat. Wajar jika pada akhirnya beberapa mengusulkan agar pengalaman bekerja dapat dipertimbangkan sebagai syarat penyetaraan pendidikan minimal. Pendidikan formal telah mengenal adanya Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) yang merupakan penyetaraan akademik atas pengalaman kerja misalnya dapat diadopsi untuk mengakomodir hal tersebut.
Ketiga, lembaga lainnya. Pada pasal 2 ayat (2) butir diperlukan penegasan terhadap kata “atau lembaga lainnya” karena ini berpotensi dalam membatasi kegiatan Ahli Kepabeanan misalnya terkait Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang dibentuk berdasarkan UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Saat ini telah banyak Ahli Pabean yang juga beraktivitas dan/atau perusahaannya menjadi anggota Kadin. Apakah ini dibatasi dan dilarang?
Keempat, asosiasi. RPMK yang telah terbit memunculkan potensi kesimpangsiuran asosiasi mana yang akan ditunjuk untuk mengadakan PPL dimana saat ini belum ada Asosiasi Konsultan Kepabeanan. Asosiasi yang ada saat ini adalah beberapa Asosiasi Ahli Kepabeanan dan juga Asosiasi Logistik yang mempekerjakan ribuan Ahli Kepabeanan. Penulis menambahkan dalam RPMK ini antara lain, asosiasi manapun yang mampu membuktikan anggotanya adalah pemilik sertifikat Ahli Kepabeanan maka diizinkan untuk mengadakan PPL sehingga tidak ada potensi monopoli maupun dominasi salah satu Asosiasi tertentu.
Ahli Kepabeanan sebaiknya di bebaskan memilih Asosiasi manapun selama memenuhi unsur legal berdasarkan pertimbangan masing-masing. Implikasi dari Asosiasi yang melakukan monopoli dan dominasi akan menimbulkan hal yang kurang baik dan beban biaya tambahan seperti mahalnya biaya menjadi anggota Asosiasi dan tentu biaya pelatihan itu sendiri. Apabila monopoli dan dominasi salah satu Asosiasi muncul maka sebaiknya dihilangkan saja kewajiban untuk menjadi anggota Asosiasi dan perlu alternatif lain apakah misalnya diambil alih oleh Pusdiklat Bea dan Cukai yang menjadi mitra PPPK yang tentunya diperlukan landasan hukum atau peraturan yang kuat serta mengikat.
Kelima, lingkup kegiatan. Pasal 3 RPMK yang terkait dengan ruang lingkup jasa Konsultan Kepabeanan memunculkan pertanyaan, apakah ini ini hanya sekedar redefinisi, repetisi, replikasi, atau duplikasi dari Ahli Kepabeanan menjadi Konsultan Kepabeanan? Apakah Ahli Kepabeanan lingkupnya hanya sebatas pada pemberitahuan pabean saja? Fakta dilapangan justru saat ini kapabilitas seorang Ahli Kepabeanan dimulai jauh sebelum barang dipesan sampai barang tersebut diolah dan dikirim ke konsumen, mungkin meminjam istilah Pre Clearance, Clearance, sampai Post Clearance.
Kebutuhan mungkin tepatnya tuntutan tersebut membutuhkan kemampuan multidisplin ilmu yang semakin tinggi misalkan sebagai Ahli Kepelabuhanan, Ahli Forwarding sampai Ahli SCM sehingga tidak heran Ahli Kepabeanan bersebaran diberbagai entitas dan perusahaan yang merupakan pilihan dan tergantung pada kesempatan yang datang. Para Ahli Kepabeanan tidak sekedar bekerja di PPJK tapi juga di perusahaan ekspor impor, TPS, TPB, Pengangkut, Perusahaan konsultan dan lain-lain, namun bila ternyata sebaran demografi terbesar di PPJK itu adalah hal lain seperti pilihan dan kesempatan saja.
Perusahaan yang khususnya bergerak dibidang jasa pada umumnya bersaing di pelayanan sehingga pelayanan sebelum dan sesudah membeli jasa menjadi bagian dari standar perusahaan untuk memuaskan konsumennya. PPJK misalnya tidak sekedar hanya memberitahukan Pabean saja tapi juga sebagai Konsultan disetiap prosesnya kepada pelanggannya. PPJK agar memberikan pelayanan yang prima kadangkala jasa konsultasinya sudah dimasukkan dalam biaya jasa penanganan bahkan ada yang tidak ditagihkan demi memuaskan konsumennya.
Penulis justru mengkuatirkan terjadi dikotomi, strata maupun kastanisasi dalam draft RPMK ini antara Ahli Kepabeanan dan Konsultan Kepabeanan yang secara fakta saat ini pekerjaan yang dikerjakan adalah sama terkait Kepabeanan, ilmu dasar dan landasannya juga sama. Definisi Kepabeanan berdasarkan Pasal 1 UU Kepabeanan adalah “Segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar”.
Definisi Ahli menurut KBBI adalah orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu (kepandaian) sehingga yang disebut Ahli Kepabeanan sebagaimana disebut dalam Pasal 1, PMK-219/PMK.04/2019 tentang Penyederhanaan Registrasi Kepabeanan butir ke 15 disebutkan “Ahli Kepabeanan adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Kepabeanan dan memiliki sertifikat Ahli Kepabeanan yang dikeluarkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementrian Keuangan”.
Bagaimana dengan definisi Konsultan dalam KBBI? “Konsultan adalah ahli yang yang tugasnya memberi petunjuk, pertimbangan atau nasehat dalam suatu kegiatan (penelitian, dagang dan sebagainya); Penasehat”. Berdasarkan hal tersebut wajar ada yang berpendapat apabila ini hanya re-definisi dari sebuah cakupan profesi sementara kegiatan yang dilakukan sama berkaitan dengan Kepabeanan hanya pilihan cakupan mana yang dipilih padahal hal tersebut hanya sebuah pilihan saja. Penulis kuatirkan adalah adanya dikotomi, strata, dan kastanisasi dari istilah Ahli Pabean dan Konsultan Kepabeanan.
Mengapa demikian? Sebuah anggapan yang tentu subjectif adalah Konsultan lebih ahli dari Ahli Kepabeanan hanya karena bekerja sebagai konsultan, padahal faktanya mereka juga Ahli Kepabeanan yang secara kebetulan berprofesi sebagai Konsultan, anggapan ini muncul biasanya karena membandingkan dengan PPJK secara partial dimana hanya melakukan pemberitahuan Pabean saja dan tidak melihat secara lebih luas.
Apabila anggapan berlanjut tentu berakibat kurang baik, apakah Ahli Kepabeanan yang bekerja di PPJK, Ahli Kepabeanan yang bekerja di perusahaan ekspor impor, TPS, TPB, Pengangkut dan lainnya itu bukan Profesi? Apakah Kapabilitas mereka ini lebih rendah dari seorang Konsultan? Apakah yang berfikir partial demikian telah paham dan lulus dalam memenuhi National Qualification Framework (NQF) Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) misal pada level 9? Bukankah bekerja dimana antara lain tergantung dari pilihan dan kesempatan? Asumsi atau anggapan yang mengecilkan profesi dan pihak lain Penulis anggap kurang bijaksana dan sebaiknya kita jauhi.
Keenam, pemberian jasa konsultan kepabeanan. RPMK Konsultan Kepabeanan khususnya pada Pasal 4 menimbulkan kekuatiran khususnya Konsultan yang bekerja pada perusahaan Konsultan dimana mereka diluar dari entitas yang diatur dalam RPMK ini. Bagaimana juga para Ahli Pabean dalam kapasitas pribadi atau perorangan, apakah tidak dapat memberikan jasa Kepabeanan karena diluar dari yang diatur di RPMK?
Ketujuh, mengikuti Pendidikan Profesional Lanjutan (PPL) setiap tahun. RPMK pada pasal 11 butir (1) dinyatakan bahwa Konsultan Kepabeanan wajib mengikuti PPL setiap tahunnya paling sedikit 12 (dua belas) SKP dan di antaranya paling sedikit 5 (lima) SKP PPL yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan. Pada bagian ini menimbulkan beberapa potensi masalah yaitu pelaksana PPL dan implikasi kewajiban bagi Konsultan Kepabeanan.
Masalah pelaksana PPL ini perlu mendapat kejelasan dan landasan yang kuat, apabila dilakukan oleh Asosiasi Profesi maka jelas belum ada Asosiasi Profesi Konsultan Kepabeanan, namun apabila dilakukan oleh bukan Asosiasi maka perlu mendapatkan landasan dan kekuatan hukum dimana untuk PPL lazimnya dilakukan oleh Asosiasi Profesi. Bagaimana dengan implikasi kewajiban Konsultan Kepabeanan ini? Penulis berpendapat disinilah hal terberat yang harus dicermati dengan hati-hati.
Pertama tugas Ahli Pabean saat ini cukup banyak dan berpotensi tidak mampu memenuhi SKP yang di syaratkan khususnya dalam jangka waktu yang pendek yaitu 1 tahun. Hal ini dapat dipahami karena Ahli Pabean karier diperusahaan telah banyak yang menjadi Top Management bukan sekedar Middle Management sehingga pekerjaan yang dilakukan bukan sekedar berkaitan dengan Kepabeanan saja sebagai bagian dari kegiatan teknis perusahaan akan tetapi juga non teknis.
Kedua, usia. Fakta dilapangan banyak para Ahli Kepabeanan berusia lanjut, belum memiliki pengganti yang kompeten atau regenerasi belum seutuhnya berjalan atau karena proses menjadi Ahli Kepabeanan generasi penerus belum dinyatakan lulus karena memang tingkat kelulusan yang rendah. Ahli Kepabeanan yang berusia lanjut menemui kesulitan dalam melakukan refreshing terutama memenuhi target SKP, apalagi apabila ada ujian ulang setiap tahunnya, bagaimana apabila tidak lulus apakah perusahaannya juga otomatis tidak bisa beroperasi lagi?
Implikasinya tentu usaha yang dilakukan akan terganggu bahkan bisa mengalami kerugian bahkan penutupan usaha. Jalan tengah yang bisa dilakukan antara lain adalah refreshing yang dilakukan tidak dilakukan setiap tahun tapi dalam rentang waktu yang lebih panjang, misalnya pada pemilik Sertifikat Ahli Kepelabuhan berlaku dan wajib refreshing setelah 5 (lima) tahun dari tanggal diterbitkan. Materi refreshing juga lebih fokus pada pengkinian peraturan terbaru bukan ujian seperti awal Ahli Pabean mendapatkan sertifikat Ahli Kepabeannya, jadi perlu skema berbeda yaitu ujian bagi yang belum memiliki sertifikat Ahli Kepabeanan dan refreshing peraturan bagi yang telah memilikinya.
Kewajiban mengikuti PPL setiap tahun selain menimbulkan efek tambahan pada biaya, alokasi waktu juga kewajiban pelaporan akan menyita banyak waktu sehingga waktu kerja menjadi terbatas. Disisi lain target dan kompetisi semakin besar dan ketat untuk menjaga keberlangsungan usaha, hal ini tentu kontraproduktif dengan usaha Pemerintah dalam mengurangi biaya logistik Indonesia yang masing tinggi dan meningkatkan peringkat Logistics Performance Index (LPI) yang salah acuannya adalah efisiensi proses izin (kecepatan, kesederhanaan, dan kepastian formalitas) oleh badan pengawas perbatasan, termasuk Bea Cukai.
Kedelapan, ”pemaksaan” atau Kewajiban terhadap Pilihan Profesi. RPMK Konsultan Kepabeanan ini pada pasal 25 butir (2) dinyatakan “Pemegang sertifikat ujian sertifikasi ahli kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mengajukan permohonan izin sebagai Konsultan Kepabeanan kepada Kepala Pusat dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Menteri ini berlaku”. Pemilik sertifikat Ahli Kepabeanan dalam hal ini mau tidak mau harus menjadi Konsultan Kepabeanan.
Bayangkan bagaimana jerih payah dengan biaya para tenaga Ahli Pabean sebelumnya agar lulus ujian kemudian ketika sudah dinyatakan lulus dengan adanya peraturan baru diwajibkan mendaftar kembali menjadi Konsultan Kepabeanan? Kewajiban atau pemaksaan ini selain menciderai suasana bathin para Ahli Kepabeanan tentu juga mengkerdilkan kapasitas mereka hanya untuk merubah diri menjadi Konsultan Kepabeanan seolah-olah Ahli Kepabeanan levelnya dibawah Konsultan Kepabeanan.
Ahli Kepabeanan sebaiknya diberikan pilihan bekerja dimanapun mereka berada sesuai kapasitasnya, tidak dipaksa untuk menjadi seorang konsultan. Implikasi lainnya adalah akan banyaknya perusahaan yang terkena imbas bahkan menutup usahanya karena tidak mengajukan permohan izin menjadi Konsultan Pabean dengan alasan yang berbeda-beda. Apakah pemaksaan ini tidak menciderai hak azasi untuk memilih profesi tertentu? Hal lain yang perlu dicermati adalah pasal 25 (4) yang menyatakan “Pemegang sertifikat ujian sertifikasi ahli kepabeanan yang dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan tidak mengajukan permohonan sebagai Konsultan Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka sertifikat ujian sertifikasi ahli kepabeanan dinyatakan tidak berlaku”. Pasal ini memerlukan koordinasi untuk menjauhkan potensi ego sektoral dan tumpang tindih peraturan terlebih dalam satu komando Kementrian Keuangan.
Sertifikat Ahli Kepabeanan adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh BPPK yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Bea dan Cukai berdasarkan PMK 65/PMK.04/2007 Jo 214/PMK.04/2007 dan Keputusan Menteri Keuangan No 336/KMK.01/2013, maka sebaiknya yang mengatakan tidak berlaku adalah BBPK atau Peraturan-peraturan tersebut dicabut terlebih dahulu.
RPMK Konsultan Kepabeanan ini menurut Penulis masih memerlukan cukup banyak perubahan sehingga belum layak untuk ditanda tangani menjadi peraturan khususnya pada saat penulisan artikel ini. Penyusun RPMK sebaiknya kembali bekerja dengan banyak berdiskusi lintas Asosiasi, menjalin hubungan yang intens dengan pemangku kepabeanan yaitu DJBC dan stakeholder lainnya agar terjadi penyempurnaan yang menyeluruh seperti ulasan sebelumnya. Kita tentu tidak ingin terjadi gejolak akibat memaksakan menjadi sebuah peraturan seperti mogok masal, perdebatan panjang yang banyak menyita waktu sampai uji materi. Mari kita jaga agar keberlangsungan usaha yang ada, telah sesuai dengan Peraturan sebelumnya tetap menjadi pertimbangan utama bukan justru mempersulit dan mematikannya.
25 Juli 2022
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Analisis dan Rekomendasi atas Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) Konsultan Kepabeanan (761.3 KiB, 136 hits)