Oleh: Dr. Dhanang Widijawan, S.H., M.H. | Senior Consultant at Supply Chain Indonesia & Dosen Politeknik Pos Indonesia
Dasawarsa 1970-an dan 1980-an menjadi awal bagi hampir seluruh negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menerapkan fundamental policy berupa pembaruan sektor birokrasi dan administrasi publik. Reformasi sektor publik dipicu oleh faktor ekonomi global, ketidakpuasan warga negara, dan krisis fiskal. Salah satu point penting dalam fundamental policy, adalah, reformasi yang didesain untuk menyederhanakan regulasi dan mengurangi inefficiency cost (Jimly Asshiddiqie, 2012).
Faktor-faktor pemicu reformasi regulasi sektor publik tersebut, tampaknya masih tetap relevan dengan kondisi yang kita hadapi. Pada awal Oktober ini, pemerintah menggulirkan paket kebijakan reformasi di bidang hukum. Kebijakan ini mencakup revitalisasi dan reformasi sistem dan penegakan hukum dari hulu ke hilir dengan tujuan memulihkan kepercayaan publik terhadap keadilan dan kepastian hukum secara bermartabat dan terpercaya. Untuk itu, dilakukan penataan regulasi yang berkualitas, pembenahan kelembagaan penegakan hukum secara profesional, dan pembangunan budaya hukum yang kuat.
Pendekatan Sistemik
Reformasi hukum merupakan “pekerjaan raksasa”. Hal ini disampaikan Sunaryati Hartono, dalam focus group discussion (FGD) Penyusunan Program dan Strategi Reformasi Regulasi dalam Rangka Memperkuat Substansi dan Operasionalisasi UU No. 12 Tahun 2011, di Bogor, belum lama ini (news.detik.com, 27/10/2016).
“Pekerjaan raksasa”, karena, dalam pandangan Satjipto Rahardjo (2009), pembangunan dan perombakan hukum pada dasarnya memerlukan perubahan pendekatan. Perubahan pendekatan yang dimaksud Satjipto Rahardjo, adalah, perubahan dari pendekatan secara sempit (legalistis) menjadi pendekatan yang lebih sistemik, holistik, dan terpadu serta berorientasi pada nilai-nilai masyarakat. Pendekatan ini, selanjutnya, diintegrasikan ke dalam pendekatan rasional yang berorientasi pada kebijakan.
Regulasi Ekonomi
Reformasi dan penegakan hukum pemerintah, saat ini, bertujuan mengawal dua agenda reformasi sebelumnya, yaitu: politik dan ekonomi. Pengawalan hukum ini penting, mengingat kegiatan ekonomi merupakan kegiatan kolektif yang melibatkan para pelaku ekonomi selaku subyek hukum. Subyek hukum ini terkait dengan legalitas kegiatan ekonomi antar-strata masyarakat pada semua bidang (produksi dan distribusi) dan berbagai institusi (birokrasi dan masyarakat) (Sri Redjeki Hartono, 2007).
Untuk itu, ke depan, diperlukan pendekatan secara lebih sistemik, holistik, terpadu, dan konsisten dalam merancang grand design, membentuk, dan mengimplementasikan politik hukum di bidang ekonomi, sehingga relevan, bermanfaat, dan sustainable. Kemanfaatan regulasi bagi bidang ekonomi, sejalan dengan Teori Regulasi Ekonomi dari George J. Stigler, The Theory of Economic Regulation (1971) dan The Economic Theory of Regulation dari Richard A. Posner (1974) yang menyatakan bahwa regulasi dibutuhkan oleh industri. Regulasi dirancang dan diterapkan guna memberikan manfaat bagi perkembangan industri itu sendiri (Johnny Ibrahim, 2009).
Grand Design
Teori Regulasi Ekonomi dapat menjadi rujukan dalam perancangan/penyusunan grand design reformasi dan penegakan hukum regulasi di bidang ekonomi nasional. Berkaitan dengan sistem distribusi barang/jasa, grand design diharapkan dapat merepresentasikan kebutuhan pentingnya reinventing regulasi guna mewujudkan kelembagaan logistik nasional.
Reinventing, oleh David Osborne dan Peter Plasrtik (1997), dideskripsikan sebagai transformasi fundamental pada sistem dan organisasi publik untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, kemampuan beradaptasi dan berinovasi, dengan cara mengubah tujuan, akuntabilitas, struktur kekuasaan, dan budaya pada sistem dan organisasi tersebut (Abidarin Rosidi dan R. Anggraeni Fajriani, 2013).
Sehubungan dengan pencapaian kinerja penentu kebijakan (birokrasi pemerintah) di bidang logistik nasional, gagasan reinventing government dari David Osborne dan Ted Gaebler (1992), sekadar merupakan rujukan tentang betapa pentingnya reformasi hukum dan kelembagaan logistik nasional (KLN). Reinventing government terhadap KLN ini, beranalogi pada spirit entrepreneurship (dunia usaha) yang mengedepankan prinsip, sistem nilai, dan kultur kerja yang efisien (Jimly Asshiddiqie, 2012).
Entrepreneurial Leadership
Entrepreneurial leadership (Currie, et. al., 2008) yang diharapkan dari para penentu kebijakan (birokrasi pemerintah), dapat diperankan melalui karakteristik yang inovatif, risk-taker, dan pro-aktif (Miller, 1983; Covin & Slevin, 1991; Morris & Sexton, 1996; Morris & Jones, 1999) (Yuyun Purbokusumo dan Puguh Prasetya Utomo, dalam tulisan “Kepemimpinan Entrepreneur di Era E-Government”, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik, JIAN-UGM dan MAP UGM, 2009).
Reinventing government regulasi dan kelembagaan logistik nasional (KLN) berbasis entrepreneurial leadership dapat menjadi enabler bagi upaya peningkatan daya saing produk nasional di pasar domestik, regional, dan global. Optimalisasi interkoneksi jaringan logistik (sistem distribusi : barang, keuangan, informasi), dapat berdampak bagi ketersediaan barang (mudah), kestabilan harga (terjangkau), dan mempersempit disparitas harga antar-wilayah di Indonesia.
Sehubungan dengan ini, implementasi reinventing government diharapkan pula untuk dapat mewujudkan KLN. Selanjutnya, KLN berperan melakukan integrasi dan konsolidasi lintas kementerian/lembaga (K/L) baik pada tingkat pusat maupun daerah (P/D). Integrasi dan konsolidasi (K/L dan P/D) oleh KLN mencakup: perdagangan (distribusi, pergudangan, pasar); perhubungan (transportasi, pengangkutan); pekerjaan umum (infrastruktur, jalan); keuangan (pabean, pajak, asuransi, bank); komunikasi dan informatika (telekomunikasi, pos, kurir); BUMN (pengelolaan infrastruktur, penyedia jasa logistik); BPKM (pendirian perusahaan, penanaman modal); dan teknis : perdagangan, perindustrian, pertanian, ESDM (komoditas strategis, ekspor-impor) (Perpres 26/2012, Sislognas).
Manifestasi Politis
Reinventing government terkait kedudukan hukum, fungsi, dan peran kelembagaan logistik nasional (KLN), pada dasarnya merupakan tuntutan global (ekonomi, perdagangan, keuangan, teknologi, transportasi, keamanan). Dalam perspektif Teori Hukum Integratif, reinventing government meneguhkan peran hukum untuk melakukan proses harmonisasi hukum internasional menjadi bagian dari sistem hukum nasional (Romli Atmasasmita, 2012).
Output dari harmonisasi hukum, berupa produk hukum (UU) terkait KLN, sesungguhnya lebih merupakan manifestasi politis (Satjipto Rahardjo, 1982). Keputusan politik yang melegitimasi kedudukan hukum, fungsi, dan peran KLN, dilakukan dengan cara memobilisasi sumber daya melalui kekuasaan untuk kepentingan nasional. Skala prioritas terhadap kepentingan nasional yang mengakomodir kepentingan global inilah yang diperankan oleh Dewan Logistik (Logistics Council) di Jerman, Jepang, Korea, Thailand, Hongkong, dan Australia (Perpres 26/2012, Sislognas).
Dewan Logistik merupakan lembaga non-struktural, bertanggung jawab kepada kepala negara pemerintahan, dan berfungsi selaku integrator, koordinator, dan regulator (Perpres 26/2012, Sislognas). Sebagai lembaga penunjang (state auxiliary organs/auxiliary institutions) Dewan Logistik dapat bersifat self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau menjalankan fungsi campuran (mix-function): regulatif, administratif, dan penghukuman (Jimly Asshiddiqie, 2012).
22 November 2016.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan/atau sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, serta tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download Artikel ini:
SCI-Artikel Reinventing Kelembagaan Logistik oleh Bapak Dr. Dhanang Widijawan, S.H., M.H. (765.8 KiB, 301 hits)