Oleh: Setijadi, S.T., M.T., IPM.
CEO | Supply Chain Indonesia
Pemerintah terus mengembangkan program hilirisasi sektor pertambangan. Setelah keberhasilan hilirisasi komoditas nikel, pemerintah akan mendorong hilirisasi mineral lainnya, seperti tambaga, aluminium, dan bauksit.
Pemerintah juga akan melakukan hilirisasi sektor pangan. Program hilirisasi merupakan salah satu cara Indonesia menjadi negara industrialis untuk mendorong peralihan dari negara berkembang menjadi negara maju.
Program hilirisasi harus didukung sistem logistik terintegrasi berbasis komoditas/produk untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional logistik dalam proses hilirisasi yang berpotensi meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas/produk itu.
Efisiensi sangat diperlukan karena biaya logistik Indonesia yang tinggi. Berdasarkan data Kementerian PPN/Kepala Bappenas, biaya logistik nasional (domestik) Indonesia sebesar 14,1% terhadap harga barang, sedangkan biaya logistik ekspor sebesar 8,98% dari harga barang yang dikirim.
Penyiapan sistem logistik secara terintegrasi untuk mendukung hilirisasi harus berdasarkan pemetaan pasokan dan permintaannya, baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Penyiapan sistem logistik itu dilakukan dengan mempertimbangkan wilayah asal komoditas, lokasi industri pengolahan awal, lokasi industri pengolahan akhir, lokasi industri pengolahan antara, dan wilayah tujuan akhir, berikut jalur-jalur distribusinya
Lokasi industri pengolahan awal dalam proses hilirisasi terutama di wilayah-wilayah asal komoditas seringkali terkendala masalah konektivitas logistik, di samping masalah ketersediaan infrastruktur dasarnya, seperti listrik dan air bersih. Masalah konektivitas logistik ini terutama berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur yang mencakup masalah jumlah, kualitas, dan kapasitas termasuk pemerataannya di berbagai wilayah.
Pengembangan infrastruktur konektivitas di Indonesia harus mengakomodasi integrasi moda-moda transportasinya dalam suatu sistem transportasi multimoda dengan transportasi laut sebagai backbone-nya. Hal ini sesuai dengan karakteristik wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
Dibutuhkan pengembangan infrastruktur transportasi, baik transportasi hinterland berupa jalan raya atau rel kereta api, maupun transportasi antar pelabuhan. Pengembangan juga masih harus dilakukan di simpul-simpul transportasi seperti pelabuhan, bandara, dan terminal barang.
Penetapan hub & spoke harus direncanakan secara cermat untuk menjamin efisiensi dan efektivitas proses transportasinya. Hal ini akan mendukung peningkatan economies of scale yang berdampak terhadap efisiensi biaya transportasi.
Perusahaan-perusahaan penyedia jasa logistik diharapkan tidak hanya berperan dalam proses pengiriman dan penyimpanan, namun berperan pula dalam proses konsolidasi berdasarkan hub & spoke itu.
Pengembangan sektor logistik secara end-to-end juga harus mengintegrasikan jasa-jasa logistik dari para penyedia jasa logistik yang mencakup dua aktivitas utama, yaitu transportasi dan pergudangan. Dua aktivitas itu seringkali masing-masing masih terpisah sebagai basic/fondation services dan belum menjadi layanan terintegrasi (integrated services) dari perusahaan-perusahaan penyedia jasa logistik.
Integrasi itu juga membutuhkan kolaborasi antara industri manufaktur dan penyedia jasa logistik, tidak hanya secara transaksional namun juga secara transformasional secara jangka panjang.
Kolaborasi dan sinergi juga harus dilakukan antara penyedia jasa logistik dan operator fasilitas logistik seperti di pelabuhan. Dukungan sangat diperlukan dari para pemangku kepentingan, seperti kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah setempat.
Program hilirisasi bisa diintegrasikan dengan program-program pemerintah lainnya. Untuk program hilirisasi pangan, misalnya, dapat diintegrasikan atau didukung dengan Program Tol Laut yang masih terkendala masalah volume muatan balik yang rendah.
Di wilayah-wilayah yang dilewati jalur Tol Laut dapat dikaji potensi-potensi komoditas pertanian atau perkebunannya yang dapat menjadi muatan balik Tol Laut itu menuju ke wilayah-wilayah industri pengolahan makanan da minuman yang pada saat ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Hilirisasi dan Pertumbuhan Perekonomian Wilayah
Dalam perencanaan program hilirisasi, penentuan lokasi industri pengolahan bahan mentah juga bisa diarahkan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian wilayah. Mengingat distribusi perekonomian wilayah yang belum merata, lokasi industri pengolahan bahan mentah dapat diprioritaskan di wilayah-wilayah dengan tingkat pertumbuhan dan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih rendah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Triwulan III tahun 2023 wilayah Jawa berkontribusi tertinggi sebesar 57,12%, diikuti Sumatra (22,16%), Kalimantan (8,08%), dan Sulawesi (7,25%). Dua wilayah dengan kontribusi terendah adalah Bali & Nusra (2,80%) serta Maluku & Papua (2,59%).
Tingkat pertumbuhan tertinggi pada Triwulan itu adalah Maluku & Papua (9,25%) serta Sulawesi (6,44%). Berdasarkan analisis SCI, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kedua wilayah tersebut terjadi dalam beberapa tahun terakhir didorong oleh kinerja sektor pertambangan.
Namun demikian, penetapan lokasi-lokasi industri pengolahan awal maupun industri pengolahan antara harus berdasarkan jalur distribusi produk/komoditas secara end-to-end, baik untuk permintaan domestik maupun ekspor. Secara keseluruhan, perencanaan itu harus berdasarkan peta rantai pasok produk/komoditas tersebut.
29 Januari 2024
Setijadi
CEO
Supply Chain Indonesia
E-mail: setijadi@SupplyChainIndonesia.com
www.SupplyChainIndonesia.com
Download catatan ini:
Catatan SCI - Sistem Logistik Terintegrasi untuk Mendukung Program Hilirisasi (344.8 KiB, 132 hits)