Oleh: Dr. Zaroni, CISCP., CFMP.
Head of Consulting Division | Supply Chain Indonesia
Supply chain risk management (SCRM)
Pendekatan SCRM menempatkan pengelolaan risiko supply chain secara terintegrasi, mulai dari perencanaan strategi pengelolaan risiko, tujuan, sasaran, kebijakan, nilai-nilai dan budaya sadar risiko, tindakan, serta prosedur pengelolaan risiko. SCRM melibatkan semua fungsi dan hirarki dalam organisasi.
SCRM dimulai dari perumusan strategi pengelolaan risiko supply chain. Output-nya adalah kebijakan risiko (risk policy) atau sering dinamai juga risk strategic plan dan risk management plan atau penamaan yang serupa.
Risk strategic plan berisi strategi pengelolaan risiko secara garis besar. Biasanya mencakup sebagai berikut:
- pernyataan siapa yang bertanggung jawab terhadap risiko supply chain, peran komite risiko, dan anggota komite risiko;
- ringkasan kebijakan pengelolaan risiko dan lingkup pengelolaan risiko supply chain;
- prosedur, sistem, dan teknik untuk menganalisis dan mengidentifikasi dampak risiko terhadap kinerja logistik dan supply chain;
- prosedur, sistem, dan teknik dalam merespon risiko dan pemilihan respon risiko yang paling tepat;
- kebijakan dalam pengalokasian dan sharing risiko antarpemangku kepentingan;
- metode untuk monitoring risiko, pengkomunikasian, dan pengukuran risiko.
Umumnya perusahaan menempatkan seorang manajer yang khusus mengelola risiko supply chain (Saunders-Brody, 2007):
- memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk memimpin pengelolaan risiko;
- bekerja secara independen dengan para stakeholder baik internal maupun eksternal untuk memahami kebutuhan dan pentingnya pengelolaan risiko supply chain;
- menyusun kebijakan risiko dan memastikan pengelolaan risiko dilaksanakan secara efektif;
- menyampaikan analisis dan mitigasi risiko secara akurat dengan informasi yang relevan dan tepat waktu;
- memastikan pengelolaan risiko sebagai bagian dari budaya perusahaan;
- memastikan risiko menjadi pertimbangan penting dalam setiap pengambilan keputusan manajemen.
Pendekatan pengelolaan risiko supply chain dalam banyak organisasi menggunakan top-down. Dalam pendekatan ini, pengelolaan risiko dimulai dari top management, seperti dewan direksi dan para senior manager yang bekerja dalam komite risiko supply chain. Penyusunan strategi risiko, kebijakan, tujuan, dan sasaran risiko merupakan beberapa output dari komite risiko.
Pendekatan top-down dalam pengelolaan risiko memiliki kelemahan. Dalam banyak organisasi, umumnya manajer logistik atau manajer supply chain berada di tingkat menengah. Tidak banyak organisasi yang menempatkan manajer logistik pada posisi top management. Implikasinya, keputusan strategik perusahaan kurang mempertimbangkan aspek risiko.
Pendekatan bottom-up melibatkan staf tingkat operasional. Umumnya, staf operasional sering berhadapan dengan risiko. Staf operasional memiliki pemahaman yang baik mengenai penyebab risiko, sehingga perbaikan dan pemulihan risiko supply chain cepat dilakukan. Sebagai contoh, keterlambatan delivery yang memengaruhi kinerja supply chain, kita bisa menanyakan ke para sopir: berapa lama rata-rata keterlambatan? rute delivery mana yang sering mengalami keterlambatan? apa penyebab keterlambatan? dari para sopir, kita mendapatkan jawaban lebih lengkap dan akurat mengenai permasalahan keterlambatan delivery. Identifikasi dan perbaikan pengelolaan risiko supply chain pun segera bisa dilakukan.
Kedua pendekatan sebaiknya diterapkan. Pendekatan top-down penting untuk memastikan pengelolaan risiko supply chain menjadi strategi organisasi. Sementara pendekatan bottom-up agar pengelolaan risiko supply chain dapat menjadi budaya setiap anggota organisasi. Pada praktik pengelolaan risiko, kedua pendekatan diperlukan untuk pemahaman risiko secara menyeluruh, mulai dari perencanaan, identifikasi, mitigasi, dan respon terhadap risiko supply chain.
SCRM memberikan panduan dalam pengelolaan risiko supply chain. Ada tiga elemen penting dalam pengelolaan risiko menggunakan SCRM:
- mengidentifikasi risiko supply chain;
- analisis risiko;
- merancang respon risiko.
Langkah pertama dalam pengelolaan risiko adalah mengidentifikasi risiko supply chain. Inti dari pengelolaan risiko sejatinya adalah identifikasi risiko. Oleh karena itu, para manajer perlu memiliki pemahaman yang baik mengenai identifikasi risiko dan penyebab utama terjadinya risiko. Klasifikasi jenis risiko supply chain didasarkan pada pengaruh risiko terhadap tiga komponen penting dalam aliran supply chain, yaitu: material, uang, dan informasi:
- Physical risks. Risiko fisik biasanya berhubungan dengan aliran pergerakan dan penyimpanan material, termasuk di dalamnya adalah risiko transportasi, penyimpanan, delivery, pergerakan material, sistem inventory, dan lain-lain. Contoh risiko fisik umumnya berupa keterlambatan pengiriman, gangguan transportasi, kerusakan material, kekurangan persediaan material, kehilangan material, kecelakaan, dan lain-lain;
- Financial risks. Termasuk dalam risiko ini adalah risiko pembayaran, risiko arus kas, risiko investasi, risiko utang, risiko sistem akuntansi, dan lain-lain. Risiko-risiko tersebut erat kaitannya dengan aliran uang dalam supply chain. Contoh risiko finansial berupa tingkat pengembalian investasi yang sangat buruk, realisasi biaya melebihi anggaran, tagihan yang tidak dibayar, kekurangan kas (cash shortage), dan lain-lain;
- Information risks. Risiko informasi terkait dengan aliran informasi dalam supply chain, yaitu pengumpulan data, transfer data, integritas data, pengolahan informasi, market intelligence, kegagalan sistem, dan lain-lain. Risiko informasi biasanya muncul berupa kehilangan data, kekeliruan informasi, pembobolan sistem keamanan data, kekeliruan proses transaksi, dan lain-lain;
- Organizational risks. Risiko ini muncul bila ada hambatan, gangguan, dan koordinasi antarpihak dalam supply chain. Kehilangan pelanggan, hambatan komunukasi, permasalahan pelanggan, pelanggaran kesepakatan kontrak, dispute dalam kontrak, dan lain-lain.
Survei yang dilakukan oleh Accenture tahun 2006 menemukan secara empiris risiko supply chain sebagaimana ditulis oleh Malone sebagai berikut:
- guncangan pasokan bahan baku (50% responden);
- keterlambatan proses pelalubeaan impor (36% responden);
- lead time produksi yang lama (36% responden);
- ketidakstabilan politik (35% responden);
- kekurangan tenaga kerja terampil (35% responden);
- pembajakan kargo (30% responden).
Richmond & Associates (2007) menyajikan hasil survei mengenai risiko supply chain yang sering dihadapi oleh para manajer supply chain di EU sebagai berikut:
- hilangnya sistem informasi;
- hambatan regulasi pemerintah;
- fluktuasi mata uang; kebakaran;
- cuaca ekstrim, banjir dan bencana alam lainnya;
- aksi pekerja;
- masalah keamanan produk, masalah kesehatan dan keselamatan;
- kehilangan pemasok, ketergantungan pasokan dari satu sumber, ketidakandalan pemasok;
- peramalan permintaan yang tidak akurat;
- kekurangan bahan-bahan utama;
- perampingan operasional;
- rantai pasokan yang panjang, penundaan;
- fleksibilitas yang kurang, masalah kapasitas;
- kemacetan lalu lintas;
- kekurangan karyawan kunci;
- kegagalan penggunaan peralatan;
- kerusuhan politik atau peperangan, dan terorisme.
Referensi:
- Manners-Bell, John., supply chain Risk: Understanding Emerging Threats to Global supply chains, KoganPage, 2014
- Waters, Donald., supply chain Risk Management: Vulnerability and Resilience in Logistics, KoganPage, 2007
31 Oktober 2018
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Supply Chain Risk (Bagian 2 dari 3 tulisan) (781.1 KiB, 742 hits)