Oleh: Putu Franciska Fajarini, S.Log., M.S.M.
Junior Consultant | Supply Chain Indonesia
Definisi Sustainable Procurement
Konsep sustainable procurement (SP) bukan hanya tentang menjadi ‘hijau’, konsep SP ini secara lebih dalam membahas mengenai proses pembelian yang memenuhi tanggung jawab sosial dan etis, prosedur pembelian yang melindungi keseimbangan lingkungan, membawa solusi yang ekonomis serta dilakukan dengan praktik bisnis yang mulia dan tidak merugikan pihak lain.
SP berada di bawah naungan sustainability, mengacu pada pembuatan keputusan dalam rangka menjaga keseimbangan yang tepat antara lingkungan, masyarakat, dan ekonomi untuk memastikan kesuksesan bisnis jangka panjang. Satuan tugas pengadaan berkelanjutan yang dibentuk oleh pemerintah Inggris, mendefinisikan SP sebagai suatu proses dimana organisasi memenuhi kebutuhan mereka akan barang, jasa, pekerjaan, dan utilitas dengan mencapai nilai uang yang diinginkan. Di sisi lain, juga dapat menghasilkan manfaat tidak hanya untuk organisasi bersangkutan tetapi juga masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan, serta meminimalkan kerusakan lingkungan. Sejak tahun 2006, SP telah muncul sebagai pendekatan yang ampuh untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan melalui stimulasi konsumsi dan produksi yang lebih berkelanjutan (Islam dkk., 2017a).
Dimensi dan Pedoman Penerapan Sustainable Procurement
Setiap organisasi dan industri di berbagai negara memiliki pendekatan yang berbeda terhadap SP (Zhu et al. 2005). Implementasi SP dapat mencakup pengurangan kemasan dan limbah, penilaian vendor berbasis kinerja lingkungan, catatan keamanan, hak tenaga kerja, kemampuan untuk mengembangkan produk ramah lingkungan dan kinerja dalam mengurangi emisi karbon yang terkait dengan pengangkutan barang.
Implementasi SP diidentifikasi melalui literatur dan dikelompokkan menjadi tujuh dimensi. Carter dan Rogers (2008) menyatakan bahwa praktik pengadaan yang bertanggung jawab secara sosial akan memberikan dampak pada semua aspek rantai pasokan, termasuk pemasok, karyawan, dan pelanggan. Carter dan Rogers (2008) menyarankan lima dimensi praktik SP yang meliputi kepedulian terhadap lingkungan, keragaman, kondisi kerja dan hak asasi manusia, keselamatan, dan filantropi dan keterlibatan masyarakat. Kelima aspek ini diperluas oleh Walker dan Brammer (2009) untuk memasukkan pembelian lokal dan pembelian dari pemasok kecil. Jadi secara keseluruhan, SP mencakup tujuh dimensi yaitu kepedulian terhadap lingkungan, keragaman, kondisi kerja dan hak asasi manusia, keselamatan, filantropi, keterlibatan masyarakat, pembelian lokal dan pembelian dari pemasok kecil (Islam, dkk., 2017b)
Secara global, pedoman sustainable procurement dijelaskan pada ISO 20400. Pedoman ini bertujuan untuk memberikan arahan dan membantu organisasi dalam memenuhi tanggung jawabnya pada aspek keberlanjutan dan lingkungan. ISO 20400 juga bertujuan untuk memberikan pedoman mengenai praktik penerapan dan kebijakan pembelian yang efektif. Standar ISO 20400 memiliki sejumlah prinsip yang menjaga akuntabilitas pengadaan barang dan jasa yaitu akuntabilitas, transparansi, etika, kepentingan stakeholder, patuh terhadap aturan hukum dan norma internasional, solusi inovatif dan transformatif, fokus pada kebutuhan, integrasi, analisis seluruh biaya, serta perbaikan berkelanjutan. Tidak hanya menjelaskan prinsip pengadaan, standar ini juga membahas berbagai proses pengadaan dan menguraikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengintegrasikan tanggung jawab sosial ke dalam fungsi pengadaan barang atau jasa.
Selain dapat membantu perusahaan untuk berkontribusi positif terhadap masyarakat dan ekonomi serta meningkatkan citra perusahaan, ISO 20400 dapat membantu perusahaan untuk menyelaraskan fungsi pembelian yang akan berdampak pada peningkatan produktivitas, optimalisasi biaya, dan pertumbuhan inovasi pasar.
Di Arab Saudi, beberapa dimensi praktik pengadaan berkelanjutan tertanam baik dalam organisasi publik maupun swasta. Organisasi swasta secara signifikan berada di depan organisasi publik dalam hal keterlibatan dalam kegiatan SP. Sebaliknya, organisasi publik memiliki rata-rata yang jauh lebih tinggi daripada organisasi swasta hanya pada satu dimensi SP yaitu pembelian dari pemasok lokal. Kemungkinan alasan untuk memprioritaskan pembelian barang dan jasa dari pemasok lokal dapat dimotivasi oleh kemauan politik untuk mendukung tujuan diversifikasi Arab Saudi baru-baru ini, yang akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan diversifikasi ekonomi. Baik organisasi publik maupun swasta mengadopsi dimensi praktik SP yang sama berdasarkan prioritas dan mendapatkan keuntungan finansial dan nonfinansial (Islam dkk., 2017a).
Namun, menariknya temuan dari studi Islam dkk. (2017a) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara organisasi swasta dan publik dalam hal kinerja organisasi. Temuan menarik dalam studi ini adalah hubungan positif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara praktek SP dan kinerja keuangan yang kontras dengan temuan mayoritas penelitian yang dilakukan sampai saat sebelumnya. Oleh karena itu, studi ini melakukan analisis lanjutan dengan pendekatan mediasi untuk mengetahui pengaruh tidak langsung praktik SP terhadap kinerja keuangan. Sehubungan dengan analisis mediasi, studi ini menunjukkan bahwa tiga dimensi kinerja yaitu pembelian lingkungan, filantropi, serta pembelian dari perusahaan lokal dan kecil, terlibat dalam proses mediasi. Temuan mediasi parsial menunjukkan bahwa variabel lain mungkin juga terlibat dalam proses mediasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, penerapan SP memang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kinerja keuangan namun mempengaruhinya melalui variabel-variabel yang telah disebutkan sebelumnya.
Penerapan Sustainable Procurement pada Sektor Publik di Indonesia
Penerapan SP dari sektor publik di Indonesia, atau yang disebut dengan Sustainable Public Procurement (SPP) telah dituangkan didalam Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah. Konsep SPP dalam peraturan ini didefinisikan sebagai pengadaan barang/jasa yang bertujuan untuk mencapai nilai manfaat yang menguntungkan secara ekonomis tidak hanya untuk Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah sebagai penggunanya tetapi juga untuk masyarakat, serta signifikan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dalam keseluruhan siklus penggunaannya(LKPP, 2018).
Sebelumnya, konsep pengadaan yang ramah lingkungan juga sudah mulai diperkenalkan dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, khususnya di pasal 105 yang menyebutkan bahwa Konsep Pengadaan Ramah Lingkungan dapat diterapkan dalam Dokumen Pemilihan berupa persyaratan-persyaratan tertentu, yang mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam secara arif dan mendukung pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik pekerjaan.
Sebagai tambahan, Peraturan Presiden No. 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan mengenai perlunya pengaturan barang/jasa yang memberikan nilai pemenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya (value for money) dan kontribusi dalam peningkatan penggunaan produk dalam negeri, peningkatan peran usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah serta pembangunan berkelanjutan.
Namun meskipun demikian, merujuk pada laporan akhir Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) tahun 2018, masih terdapat beberapa kendala dalam memasukkan aspek ramah lingkungan ke dalam dokumen pemilihan yaitu:
- Kendala Regulasi
Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah tidak mensyaratkan penerapan konsep ramah lingkungan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hanya saja, telah diperkenalkan dan diatur adanya metode evaluasi penawaran untuk pemilihan penyedia berupa sistem penilaian biaya atas umur ekonomis, relevan dengan konsep pengadaan ramah lingkungan yang berkelanjutan. Belum ada pengaturan standar dokumen pengadaan yang secara khusus mengacu pada ramah lingkungan. Selain itu, tidak semua standar harga barang dan jasa yang diatur oleh Pemerintah dan masing-masing Pemerintah Daerah mengakomodir kepentingan pengadaan yang ramah lingkungan.
- Kendala Ketersediaan Penyedia
Keterbatasan kapabilitas dan kesiapan penyedia barang/jasa juga menjadi kendala, semakin tinggi persyaratan ramah lingkungan yang ditentukan semakin sedikit penyedia yang mampu memenuhi kriteria.
Beberapa K/L telah menyambut SPP dengan cara masing-masing. Seperti PU/Pera menurut laporan LKPP telah melaksanakan tender yang berbasis pengadaan barang /jasa berkelanjutan. Sedangkan Kementerian Perindustrian dalam dokumen” Making Indonesia 4.0” sudah mengakomodasi aspek keberlanjutan (LKPP, 2018)
Sebagai tambahan, Kementerian Perindustrian juga memiliki Badan Penelitian dan Pengembangan Industri yang salah satu tugasnya mengeluarkan Standar Industri Hijau (SIH) yang menekankan proses. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga turut berkontribusi dengan mengeluarkan ekolabel (eco labelling) yang merupakan logo pernyataan yang menunjukkan aspek lingkungan dan merupakan salah satu perangkat dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Pusat Standardisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK, dalam webnya menyatakan bahwa ekolabel merupakan sarana penyampaian informasi yang akurat, verifiable, dan tidak menyesatkan kepada konsumen mengenai aspek lingkungan dari suatu produk (barang atau jasa), komponen atau kemasannya (ISO 14020).
Namun sayangnya, menurut studi Aristeus (2019), penerapan ekolabel di Indonesia masih terpusat pada produk hasil hutan. Pada produk produk lain yang sebenarnya memerlukan penerapan konsep ekolabel ini justru belum sepenuhnya dilaksanakan. Hal tersebut karena kebijakan penggunaan ekolabel yang masih bersifat sukarela di Indonesia.
28 Juli 2023
Referensi:
Aristeus, S. 2019. Penerapan Ekolabel Dalam Produk-Produk Hutan Sebagai Upaya Lingkungan Hidup. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 19(4), 421. https://doi.org/10.30641/dejure.2019.v19.421-434
Carter CR, Rogers DS. 2008. A framework of sustainable supply chain management: moving toward new theory.Int J Phys Distribution Logistics Manag. 38:360–387.
Islam, M. M., Murad, M. W., McMurray, A. J., & Abalala, T. S. 2017a. Aspects of sustainable procurement practices by public and private organisations in Saudi Arabia: an empirical study. International Journal of Sustainable Development and World Ecology, 24(4), 289–303. https://doi.org/10.1080/13504509.2016.1209794
Islam, M. M., Turki, A., Murad, M. W., & Karim, A. 2017b. Do sustainable procurement practices improve organizational performance? Sustainability (Switzerland), 9(12). https://doi.org/10.3390/su9122281
LKPP. 2018. Laporan Akhir LKPP 2018. Jakarta. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Walker H, Brammer S. 2009. Sustainable procurement in the United Kingdom public sector. Supply Chain Manage IntJ. 14:128–137.
ZhuQ,SarkisJ,GengY. 2005. Green supply chain management in China: pressures, practices and performance. Int J Operations Production Manag. 25:449–468.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia
Download artikel ini:
SCI - Artikel Sustainable Procurement dan Penerapannya pada Sektor Publik di Indonesia (975.9 KiB, 272 hits)