Oleh: Eka Purwani
Head of Business Logistics
Sampingan
Sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbesar di Asia, Indonesia merupakan salah satu negara tujuan investasi asing yang cukup menarik. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas ekonomi yang dinamis dan terus berkembang. Salah satu faktor penopang terbesarnya adalah tingginya jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai hampir 140 juta jiwa. Sayangnya potensi ini masih belum optimal mengingat setidaknya terdapat 8,7 juta pengangguran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan SMK dan SMA menyumbang angka pengangguran terbesar sebanyak 23,41%, lulusan SMP 6,46%, lulusan SD 3,61%, sisanya merupakan lulusan diploma dan sarjana sebesar 15,43%. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar angkatan kerja di Indonesia bisa mengisi posisi kerah biru. Apalagi permintaan terhadap tenaga kerja kerah biru terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin baik.
Secara umum pekerja kerah biru (blue collar workers) merupakan istilah yang merujuk kepada pekerja yang mengandalkan kekuatan fisik serta mengerjakan berbagai hal dengan cara yang masih manual. Seringkali pekerja jenis ini beroperasi di lapangan atau pabrik, contohnya seperti kurir, admin gudang, staf gudang, dan lainnya. Sayangnya, permintaan industri yang tinggi serta jumlah tenaga yang tersedia masih belum bisa menemukan titik temu. Walhasil pengangguran terus meningkat padahal pada saat yang bersamaan perusahaan kesulitan mencari pekerja.
Setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang menyebabkan mismatch antara perusahaan dan pencari kerja.
- Keterbatasan akses pencari kerja
Tingginya angka pencari kerja tidak menjamin kemudahan akses kepada mereka. Perusahaan bisa saja mengumumkan dan menyebarkan info lowongan pekerjaan namun sayangnya belum mampu menyasar golongan yang tepat sehingga apa yang dilakukan tidak efektif. Hal ini menjadi salah satu kendala utama yang menyebabkan perusahaan kesulitan untuk menemukan pencari kerja yang berkualitas.
- Talenta yang tidak sesuai
Salah satu masalah utama tingginya angka pengangguran adalah adanya mismatch atau ketidaksesuaian antara pencari kerja dengan lowongan kerja yang tersedia. Hal ini tentu saja merugikan kedua belah pihak, karena perusahaan tidak dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja mereka dengan talenta yang memiliki kualifikasi yang tepat. Sementara itu, talenta yang kualifikasinya tidak sesuai pun tidak akan bertahan lama di pekerjaan tersebut.
- Proses perekrutan yang panjang
Seringkali berurusan dengan ribuan pelamar menjadi hal yang sangat melelahkan dan menyita waktu, apalagi bila dilakukan secara manual. Urutan proses panjang harus dilewati mulai dari memilih dan memilah CV, melakukan komunikasi awal, hingga beberapa proses interview yang harus dilakukan.
Proses ini tidak hanya panjang, tapi juga mengeluarkan biaya yang cukup banyak baik untuk membayar para staff yang bertugas maupun biaya sarana atau lokasi untuk melakukan proses perekrutan. Idealnya semua biaya yang dikeluarkan perusahaan ini sebanding dengan level produktivitas yang didapat dari pekerja yang berhasil terekrut.
Adaptasi teknologi sebagai solusi
Integrasi teknologi terhadap kehidupan sehari-hari memberikan dampak yang sangat positif. Teknologi terus membantu menaikkan produktivitas dengan memotong proses yang tidak perlu. Hal ini dicapai tidak hanya dengan menawarkan cara yang lebih mudah, tapi juga menghemat banyak waktu. Sebagai sebuah negara dengan potensi tenaga kerja yang besar dan tersebar luas, yang dibutuhkan adalah sebuah sistem yang dapat membantu mengurangi kesenjangan informasi serta meningkatkan kesempatan setiap individu untuk mendapatkan pekerjaan secara mudah dengan menempatkan mereka di radar perusahaan yang tepat.
Teknologi tak hanya memberi manfaat melalui kemudahan akses bagi para pekerja tetapi juga bagi para pemberi kerja. Dengan memiliki akses langsung ke jutaan talenta atau calon pekerja, perusahaan dapat dengan cepat mengisi kekosongan dan pada akhirnya mampu meningkatkan produktivitas kerja. Terkadang satu hal yang sering tidak disadari adalah biaya yang harus dikeluarkan.
Menurut situs Industrytoday.com, untuk merekrut seorang pekerja dengan gaji $14 per jam diperlukan dana sebesar $4.000. Sebuah angka yang sangat fantastis! Biaya yang jarang disadari ini biasanya meliputi sumber daya yang terpakai untuk mencari kandidat, waktu untuk proses interview, serta produktivitas yang tertunda. Teknologi dapat membantu masalah ini dengan mempermudah semua proses ini secara digital dan tentu saja mengurangi biayanya.
Sayangnya akses terhadap jutaan calon pekerja bukanlah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan semua masalah. Jika diumpamakan sebagai obat, penggunaannya harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sehingga dapat menghilangkan penyakit. Dalam dunia kerja, mismatch antara ketersediaan pekerja dengan lowongan yang tersedia sangat lumrah terjadi. Menurut survey yang dilakukan oleh World Bank, perusahaan tidak hanya memiliki kesulitan dalam mencari pekerja dengan kemampuan memadai, tapi juga relevansinya. Seringkali kemampuan yang dimiliki pekerja tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan sebaliknya. Masih dalam survey yang sama, hampir 90% pekerja di Indonesia mencari pekerjaan dengan mengandalkan teman atau saudara.
Ibarat upaya minum obat tadi, alih-alih membuat sembuh dari sakit malah bisa menambah penyakit baru karena hal ini tidak tepat. Pekerja dengan kemampuan dan penempatan yang salah justru akan menimbulkan beban perusahaan karena produktivitas pekerja yang rendah, minim kompetisi, serta kesulitan menambah tanggung jawab pekerja. Di sisi lain, bagi pekerja pun akan sulit untuk beradaptasi dan bertahan memenuhi ekspektasi perusahaan.
Cepat dan tepat merupakan kata kunci untuk mencari serta menemukan pekerja yang diinginkan. Setelah dua hal ini dilakukan, kita bisa menutup cerita dengan memberikan tata kelola pekerja dengan benar melalui berbagai program retensi. Menurut riset yang dikeluarkan oleh EmployBridge’s, 68% pekerja kerah biru merasa mendapat perlakuan adit di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting. Pengertian adil di sini bisa kita terjemahkan tidak hanya dalam konteks pemberian remunerasi yang memadai, tetapi juga tata kelola yang baik sehingga pekerja menyadari bahwa perusahaan menghargai mereka sebagai aset.
Tata kelola yang baik juga meliputi transparansi antara pekerja dan perusahaan dalam hal pengaturan gaji, semisal perusahaan memiliki dashboard yang dapat diakses para pekerjanya untuk melihat langsung performa mereka beserta dengan berapa dan apa saja benefit yang dapat mereka dapatkan. Transparansi seperti ini dapat membuat pekerja merasa diperlakukan dengan baik. Tata kelola seperti inilah yang kami coba bangun di Sampingan.
Di Sampingan, kami berupaya memanfaatkan teknologi untuk mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada sehingga teknologi tidak hanya dinikmati oleh semua kalangan, termasuk para pekerja kerah biru. Sistem yang terintegrasi dengan baik untuk mencari, mengelola, serta mempertahankan pekerja dapat mendorong produktivitas perusahaan yang pada akhirnya membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga bisa menciptakan berbagai peluang dan kesemaptan yang lebih luas bagi para pekerja.
20 Agustus 2021
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Teknologi sebagai Upaya Meningkatkan Tata Kelola Pekerja Kerah Biru (726.7 KiB, 121 hits)