Oleh: Dr. Dhanang Widijawan, S.H., M.H. | Senior Consultant at Supply Chain Indonesia & Dosen Politeknik Pos Indonesia
Pemberitaan di beberapa media akhir-akhir ini mengangkat isu tentang mendesak atau tidaknya pembentukan UU Logistik. Apakah UU Logistik itu penting?
Seperti pada artikel sebelumnya, berjudul “Progresivitas Integrasi Regulasi Menjadi UU Logistik #1 dan #2” , disana dijelaskan dasar mengapa regulasi dalam logistik (UU Logistik) dibutuhkan. Cita Hukum melalui pembentukan Regulasi (UU) Logistik berorientasi pada komitmen untuk mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State). Bahwasannya urgensi Progresivitas Hukum (UU) Logistik terhadap Aspek-Aspek Kelembagaan, Otoritas, dan Regulasi di bidang Pos, Logistik, dan Kurir, bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia itu sendiri sebagai pembentuk hukum (UU, regulasi, kebijakan).
Progresivitas Hukum (UU) Logistik bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas (stakeholder, pelaku usaha, individu, warga negara, rakyat) dalam setiap lini / aktivitas bisnis logistik (Pos, Logistik, dan Kurir) menuju kepada ideal hukum dan menolak status quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral (Satjipto Rahardjo, 2009 : 1-2)
Berikut ini akan saya jelaskan mengapa UU Logistik itu penting sebagai Koneksitas Konstruksi Hukum Regulasi Logistik.
Berkaitan dengan sektor logistik, pada saat ini terdapat empat UU di bidang transportasi, yaitu:
- Perkeretaapian (UU No. 23/2007),
- Pelayaran (UU No. 17/2008),
- Penerbangan (UU No. 1/2009), dan
- Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ, UU No. 22/2009)
Keempat UU tersebut dirujuk oleh PP Angkutan Multimoda (No. 8/2011). Selain itu, terdapat Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas, Perpres No. 26/2012).
Karakteristik materi muatan dibedakan dalam tiga (3) jenis, berdasarkan:
- Perintah UU,
- Pelaksanaan PP, atau
- Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan.
Konsiderans menguraikan pokok pikiran (filosofis, sosiologis, dan yuridis) sebagai dasar pembentukan produk hukum.
Merujuk UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, konstruksi hukum Perpres Sislognas masih perlu dilengkapi. Jika diperlukan, Perpres Sislognas dapat diupayakan peningkatan derajatnya menjadi UU Logistik. Upaya ini diperlukan, karena pada konsiderans Perpres Sislognas tidak mencantumkan ketentuan/pasal tertentu dari UU/PP terkait dengan pelaksanaan aktivitas bisnis logistik, sebagai dasar pembentukan Perpres. Konsiderans dalam Perpres Sislognas bersifat umum karena tidak merujuk Pasal tertentu dari UU/PP di bidang transportasi (Perkeretaapian, Pelayaran,Penerbangan, LLAJ, dan Angkutan Multimoda) sebagai dasar pelaksanaan. Konsiderans PerpresSislognas hanya merujuk Perpres MP3EI (Perpres No. 32/2011 yang diubah dengan Perpres No. 48/2014), sedangkan Perpres MP3EI hanya merujuk RPJPN (UU No. 17/2007).
Dengan konstruksi hukum seperti itu, dapat dimengerti apabila law enforcement Perpres Sislognas dianggap kurang efektif daya berlakunya (bersifat mengikat dan memaksa) dibandingkan dengan regulasi-regulasi lain (UU/PP) yang terkait dengan proses-proses logistik.
Hal ini, berbeda dengan PP Angkutan Multimoda yang dalam konsideransnya secara tegas mencantumkan ketentuan/pasal tertentu dalam UU (bidang transportasi) sebagai dasar pelaksanaannya. Dalam konsiderans PP Angkutan Multimoda, tercantum Pasal 148 UU Perkeretaapian, Pasal 55 UU Pelayaran, Pasal 191 UU Penerbangan, dan Pasal 165 ayat (4) UU LLAJ, sebagai dasar pembentukan PP Angkutan Multimoda.
Perpres Sislognas kurang efektif juga karena derajat hukum Perpres Sislognas berada setingkat di bawah PP (Multimoda) dan dua tingkat di bawah empat UU di bidang transportasi (Perkeretaapian,Pelayaran, Penerbangan, dan LLAJ). Padahal, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Artinya, kekuatan hukum Perpres Sislognas berada di bawah UU dan PP.
Padahal, Perpres Sislognas merupakan “ruh” yang mengakselerasi keseimbangan koneksitas mata rantai (supply & demand) proses logistik pada tataran lokal, domestik, regional, dan global. Secara law enforcement, “ruh” tersebut seharusnya terkoneksi dengan regulasi terkait (transportasi), sehingga terwujud feed back berupa pemerataan dan perluasan pembangunan ekonomi berbasis daya saing secara solid (integrated). Pada kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya. Law enforcement Perpres Sislognas terkesan “lonely ranger” ataupun “single fighter”, karena tidak terjadi koneksitas antar regulasi di bidang logistik (Perkeretaapian, Pelayaran, Penerbangan, LLAJ, dan Multimoda).
Dengan demikian, akselerasi koneksitas aktivitas bisnis dan kelembagaan logistik nasional, dapat dilakukan apabila produk hukum Perpres Sislognas ditingkatkan derajatnya menjadi UU Logistik. Hanya dengan derajat hukum setingkat UU, karakteristik alamiah logistik dapat direpresentasikan. Karakteristik itu adalah koneksitas pergerakan informasi/data, barang, dan finansial/transaksi keuangan secara efisien dan efektif. Untuk itu, diperlukan syarat mutlak, yaitu integrasi koneksitas regulasi di bidang-bidang transportasi, perbankan/keuangan, perdagangan/perindustrian, pekerjaan umum, komunikasi/informatika, dan BUMN. Koneksitas ini berperan sebagai penghubung mata rantai yang terputus (“the missing link”).