Oleh: Bortiandy Tobing
Expert in Operational Excellence, Businesses Controller, Corporate Strategic, Data Storytelling & Visualization
Menjelang akhir tahun 2024 dan transisi Kepemimpinan Pemerin-tahan Nasional, kondisi perekonomian nasional dihadapkan pada pada kenyataan penurunan daya beli masyarakat serta tergerusnya masya-rakat kelas menengah. Hal ini juga terlihat dari deflasi yang terjadi dalam 5 bulan berturut-turut. Di sisi lain, kenyataan akan penurunan daya beli masyarakat yang tidak masuk dalam indikator ekonomi negara (BPS) adalah produk industri makanan dan minuman yang sejak awal tahun 2024 secara terus menerus melakukan promo penurunan harga /diskon serta banded, demi mempertahankan kapasitas produksi serta cash flow usaha. Pun, produk tekstil dan industri otomotif yang mengalami penurunan signifikan yang juga berdampak pada industri pendukungnya. Realita menurunnya daya beli masyarakat serta degradasi mayarakat kelas menengah, masih akan terus membayangi ekonomi nasional di tahun 2025 yang akan datang, di tengah optimisme pemerintah akan pertumbuhan ekonomi sebesar 5.2%.
2024 – EKONOMI INDONESIA TIDAK BAIK-BAIK SAJA
Mejelang akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo dan peralihan Pemerintahan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, sejumlah indikator perekonomian menunjukkan kondisi yang tidak baik-baik saja dan tren ini masih berpotensi untuk terus berkelanjutan. Sementara itu, Pemerintah melalui pejabat terkait, masih berusaha memberikan pernyataan optimisme pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan target. Beberapa data dan rangkuman kondisi perekonomian tidak baik-baik saja adalah:
1. Pembangunan infrastruktur yang gagal menumbuhkan sektor produktif pertanian dan sektor UMKM sebagai pondasi ekonomi nasional
Berdasarkan Peraturan Presiden No 18 tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, total kebutuhan belanja infrastruktur sebesar Rp6,445 triliun dan pada RPJMN 2015-2019 belanja infrastruktur sebesar Rp4,796 Triliun. Namun pada kenyataannya, pembangunan infrastruktur tidak mampu memicu pertumbuhan sektor pertanian dan Usaha Kecil Menengah dan Mikro. Dengan berbagai silo dan ego sektoral, pada akhirnya Infrastruktur yang seharusnya mampu menurunkan biaya logistik yang mendukung rantai nilai dan rantai pasok berbagai sektor industri, hanya berfungsi sebagai sarana perpindahan manusia (khususnya pada saat hari libur), dan justru menyumbang peningkatan konsumsi BBM bersubsidi. Pada akhirnya, belanja infrastruktur yang sebahagian besar bersumber dari hutang luar negeri, akan membebani keuangan negara dan pertumbuhan ekonomi nasional.
2. Daya beli yang terus menurun di tengah survei keyakinan konsumen yang membaik
Realita penurunan daya beli masyarakat hingga mendekati akhir tahun 2024, bertolak belakang dengan hasil survey keyakinan konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2024 yang mengindikasikan peningkatan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi. Hal ini tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus 2024 sebesar 124,4, lebih tinggi dibandingkan 123,4 pada bulan sebelumnya.
Penurunan daya beli masyarakat pada akhir tahun 2024, harus mendapat perhatian yang serius dari pelaku usaha. Penurunan daya beli bukan hanya kesenjangan antara pertumbuhan industri dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak seimbang (Menggapai Asa Menata Langkah – Bortiandy, 2023), tetapi juga disebabkan oleh menurunnya pendapatan masyarakat, seiring dengan pelemahan sektor manufaktur dimana dunia usaha yang harus melakukan strategi down sizing bahkan menutup operasinya. Hal ini juga berdampak pada gelombang PHK yang berkelanjutan.
3. Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur yang terkoreksi
S&P Global mencatat Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia mengalami pelemahan selama tiga bulan berturut-turut selama tiga bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9) dan September (49,2). Indeks 3 bulan yang berada di bawah 50% memberikan indikasi terjadinya pelemahan pada sektor manufaktur terutama dipicu oleh permintaan domestik dan luar negeri yang melemah yang diiringi dengan penurunan output industri manufaktur. Namun walau memasuki akhir tahun, Indeks Manufaktur Indonesia akan meningkat, perlu dipahami bahwa pola industri nasional memasuki masa seasonal (musiman) natal dan tahun baru, serta persiapan dunia usaha khususnya makanan dan minuman menjelang lebaran 2025.
4. Angka pengangguran yang terus bertambah
Data dari Kementrian Tenaga Kerja men-catat kenaikan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) per September 2024 men-jadi 352,993 tenaga kerja di Indonesia. Angka ini naik sebesar 10,716 atau 25.3% dari bulan September 2023. Sektor manu-faktur khususnya tekstil dan produk tu-runannya, membe-rikan sumbangan terbesar dan disusul oleh sektor jasa serta sektor PertanianKehutanan-Perikanan. Hal ini juga diperkuat dari catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang menyebut hingga Agustus 2024 jumlah klaim Jaminan Hari Tua (JHT) tercatat sebanyak 2,07 juta klaim. Jumlah klaim yang besar ini juga menandakan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan dalam jumlah yang besar. Pengamat ekonomi, Muhammad Andri Perdana, memprediksi angka PHK hingga akhir tahun ini bisa mencapai lebih dari 70.000 tenaga kerja dan menimpa hampir semua industri. Selain itu, proses pengurangan tenaga kerja (Headcount Reduction) dari tahun ke tahun akan terus bergulir, sesuai dengan strategi perusahaan untuk meningkatkan daya saing dalam menghadapi kenaikan biaya produksi serta perkembangan teknologi. Di sisi lain, fundamental ekonomi nasional (pertanian, peternakan dan perikanan rakyat) tidak juga bertumbuh dan cenderung semakin menurun.
5. Degradasi Masyarakat Kelas Menengah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia saat ini menyusut menjadi 17,13% atau sekitar 46,25 juta penduduk. Padahal Airlangga menyebut kelas menengah adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi negara. Beberapa sinyal penurunan porsi penduduk kelas menengah ini adalah:
- Penurunan rata-rata saldo tabungan kelas menengah Rp3.8 Juta pada April 2018 menjadi Rp1.8 Juta pada April 2024
- Penurunan kontribusi konsumsi kelas menengah terhadap PDB dari 41.9% pada tahun 2018 menjadi 36.8% pada tahun 2023.
- Peningkatan porsi pengeluaran untuk konsumsi makanan dari 36.6% pada tahun 2014 menjadi 41.3% pada tahun 2023 (hal ini juga dipicu dari kenaikan harga produk makanan dan minuman).
- Penjualan mobil yang turun pada tahun 2023 sebesar 4% dan peningkatan penjualan motor sebesar 19%.
6. Deflasi 5 bulan berturut-turut
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers di kantor BPS, Jakarta Pusat, Selasa (01/10) menyampaikan bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12% pada September 2024. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presidan Joko Widodo. Deflasi berturut- turut selama 2024 pertama kali terjadi pada Mei lalu, sebesar 0,03% month to month, Juni menyentuh 0,08%, Juli dengan 0,18% dan Agustus 0.03%. Menurut ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 memperlihatkan dengan jelas “masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja.” Sehingga bukan masyakat yang kurang berbelanja, tetapi sudah tidak memiliki uang yang cukup untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, jumlah konser musik di tanah air yang lebih dari 40 event pada tahun 2024 ini, juga memberikan kontribusi terhadap deflasi. Setiap penonton dari kelas menengah yang membeli tiket konser, tentunya telah melakukan shifting dari uang yang biasanya untuk belanja kebutuhan sehari-hari digunakan untuk membeli tiket konser. Hal ini tentunya membalikkan pendapat banyak pihak yang menyatakan tingginya minat masyarakat dalam membeli tiket konser musik, merupakan indikator ekonomi nasional dalam kondisi baik-baik saja. Hal ini juga diperkuat oleh Direktur Utama PT Bank Central Asia, Tbk. (BCA) Jahja Setiaatmadja yang mengungkapkan bahwa sejak 3 hingga 6 bulan terakhir, terjadi fenomena nasabah BCA yang mengambil uang yang sebelumnya disimpan di bank, untuk digunakan dalam belanja (makan tabungan).
7. Pendapatan korporasi menurun
Harian Kontan edisi 30 Agustus 2024, menjelaskan mengenai terjadinya penurunan pendapatan korporasi atau perusahaan-perusahaan di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu signal bahwa perekonomian Indonesia belum membaik. Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEB UI, Chaikal Nuryakin mengungkapkan alasan pendapatan perusahaan di Indonesia mengalami penurunan jika dibandingkan dengan negara di Asia lainnya. Hal ini juga seiring dengan penurunan daya beli masyarakat yang terus berkelanjutan dari tahun ke tahun serta gelombang PHK yang berkesinambungan khususnya pasca pandemi COVID-19.
8. Penerimaan negara menurun
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Pendapatan Negara terkumpul sebesar Rp1.777 triliun per Agustus 2024, atau 63,4% dari target APBN 2024 senilai Rp2.802,3 triliun. Pencapaian tersebut lebih rendah atau terkontraksi 2,5% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya (yoy). Turunnya penerimaan pajak dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas dan lifting minyak bumi. Hal ini terutama terlihat dari penerimaan PPh Non-migas dan penurunan PPh migas. Hal ini tentunya berdampak pada rencana-rencana program stimulus serta program bantuan tunai yang akan dilakukan pemerintah, baik di tahun 2024 ini maupun di tahun 2025 yang akan datang.
2025 – CHANGE OR DIE
Mendekati akhir tahun 2024, adalah waktunya bagi seluruh pelaku usaha dalam menyusun budget tahun 2025. Berbagai informasi awal dan asumsi tentunya sudah dikum-pulkan dan diolah agar seluruh pemangku ke-putusan dapat memulai penyusunan budget yang dibutuhkan di tahun depan berikut dengan strategi inisiatif yang akan dilakukan. Beberapa langkah dan analisa yang harus mendapat perhatian dari seluruh pelaku usaha dalam menghadapi ketidakpastian usaha pada tahun 2025 adalah:
1. Stop asumsi pertumbuhan pasar, daya beli masyarakat masih terus menurun
Sekalipun peralihan kepemimpinan nasional pada tanggal 20 Oktober 2024, daya beli masyarakat Indonesia pada tahun 2025, tidak berubah signifikan dan cenderung kembali turun. Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12%, kenaikan cukai rokok serta pengenaan cukai untuk produk minuman berpemanis dalam kemasan, akan berpotensi memicu laju PHK semakin membesar. Laju pengganguran nasional juga yang semakin tinggi juga dibarengi dengan 10 juta para pencari kerja baru pertahun yang berjuang mencari lapangan pekerjaan yang semakin sedikit.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur dan program stimulus pemerintah terhadap dunia usaha tidak mampu untuk membangkitkan kembali dunia usaha. Sama seperti tahuntahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di dorong oleh aktivitas pembangunan infrastruktur serta belanja konsumsi masyarakat khususnya aparatur sipil negara (ASN), yang masih menikmati kepastian bekerja dan kenaikan gaji. Sehingga, sesungguhnya secara realita sejak tahun 2019, tidak ada pertumbuhan pasar yang signifikan (fake growth). Pertumbuhan hanya terjadi pada dunia usaha, yang terus berupaya untuk menurunkan biaya produksi dengan meningkatkan jumlah produksi (Menggapai Asa Menata Langkah – Bortiandy, 2023). Terkait hal ini, maka seluruh pelaku usaha harus mencari strategi lain, untuk menurunkan biaya produksi yang selama ini dilakukan melalui peningkatan kapasitas produksi.
Pun, jika pada tahun 2025 ada bisnis yang bertumbuh untuk pasar lokal, itu dapat terjadi karena ada pelaku usaha lain yang harus berhenti beroperasi atau disebabkan pelanggan yang berpindah, karena secara total angka kebutuhan tidak mengalami pertumbuhan. Seluruh pelaku usaha harus mampu mempertahankan pelanggan dan seiring masih melemahnya daya beli, jumlah konsumen akhir berkurang yang juga berdampak pada industri hulu. Di tahun 2025, ekspor merupakan salah satu opsi yang yang dapat digunakan oleh pelaku usaha untuk mempertahankan kapasitas produksinya. Namun hal ini sangat bergantung pada kemampuan pelaku usaha dalam melakukan cost reduction.
2. Total Cost Reduction
Selain kenaikan upah tenaga kerja (UMK) dan bahan baku serta material pendukung, di tahun 2025 pelaku usaha akan dibayangi oleh kenaikan PPN, cukai, BBM dan juga rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dalam kondisi ketidakpastian ekonomi dan pelemahan daya beli masyarakat, maka beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengantisipasi kenaikan biaya biaya produksi/operasional ini adalah:
- Optimisasi Tenaga Kerja (Workforce Optimization) – Requisite Organization
Optimisasi Tenaga Kerja yang juga bermuara pada headcount reduction, bukanlah strategi utama dalam melakukan cost reduction. Akan tetapi dalam setiap organisasi, secara alami, setiap individu akan berusaha untuk mempertahankan posisinya masingmasing dan melakukan berbagai tindakan (termasuk pengajuan penambahan sumber daya lainnya) sebagai salah satu cara memberi kontribusi terhadap perubahan. Sehingga organisasi harus mampu melakukan analisa dan evaluasi terhadap kompleksitas pekerjaan, akuntabilitas, otoritas dan output yang dihasilkan. “Penyakit kritis dari setiap bisnis adalah struktur organisasi yang dimiliki, dimana secara alamiah, setiap individu akan berusaha untuk mempertahankan posisinya dengan berbagai cara” – Bortiandy Tobing (Keep Simple and Flexible (2), Membangun Struktur Organisasi yang Dinamis dan berdaya saing – Bortiandy, 2023). Di sisi lain, kemajuan teknologi terutama teknologi tepat guna serta Artificial Intelligence merupakan suatu keniscayaan dan peluang untuk meningkatkan produktivitas. Sehingga optimalisasi tenaga kerja merupakan indikator dari pelaku usaha dalam beradaptasi terhadap perubahan teknologi. (Baca juga: Keep Simple and Flexible (2), Membangun Struktur Organisasi yang Dinamis dan berdaya saing – Bortiandy, 2023). - Efisiensi Operasional (Lean Operational)
Strategi insiatif yang lazim dan selalu menjadi acuan dalam efisiensi operasional (Lean Operational) adalah eliminasi delapan pemborosan atau 8 (eight) wastes – disingkat dengan istilah downtime, yaitu: defects, overproduction, waiting, non-utilized talent, transportation, inventory, motion, extra-processing. Implementasi lean operational pada seluruh lini operasional (input – process – output/delivery), akan memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan biaya produksi. Konsep lean operational (lean management) bukanlah hal yang baru dan telah diterapkan oleh banyak organisasi bisnis. Dan seiring dengan perubahan teknologi dan kondisi ekonomi, proses lean operational harus terus dijalankan secara berkesinambungan, sebab pada hakikatnya, kedelapan jenis pemborosan juga dapat ditemui pada seluruh lini organisasi bisnis. - Optimasi Produk dan Desain
Dalam kondisi perubahan dan ketidakpastian ekonomi serta daya beli yang terus menurun, maka seluruh pelaku usaha harus mampu melakukan perencanaan yang baik (excellence production planning), terutama untuk produk musiman (hari besar agama), produk baru serta permintaan khusus pelanggan. Dalam situasi daya beli masyarakat yang rendah, variasi produk tidak akan dapat menaikkan angka penjualan, namun hanya memindahkan pilihan konsumen dari beberapa jenis pilihan produk. Dalam kasus nyata, salah satu produsen sabun cair yang melakukan inovasi untuk varian baru, berupa sabun cair dalam bentuk concentrate, yang dengan 1 tube sabun concentrate 100 ml setara dengan sabun cari normal sebanyak 300ml. Varian produk 7 baru ini justru berpotensi untuk menurunkan utilisasi mesin dan kapasitas pabrik, sehingga penjualan dan iklan varian baru ini dikendalikan (diturunkan). Di sisi lain, penjualan dalam pasar yang stagnan dan daya beli cenderung menurun, merupakan ancaman serius bagi pelaku usaha. Berbagai program promosi (diskon, banded, dsb), tidak akan dapat meningkatkan omset usaha secara signifikan. Dengan melakukan promo pasta gigi beli 2 dapat 3, tidak akan merubah perilaku konsumen untuk sikat gigi dari 2 kali sehari menjadi 3 kali sehari. Yang terjadi justu perubahan pola belanja konsumen yang menjadi lebih panjang, karena memiliki persediaan yang lebih banyak. - Kolaborasi adalah kekuatan – collaboration is power
Sejak teknologi informasi bertumbuh dan berkembang, keterbukaan sudah menjadi keniscayaan. Dalam era Internet of Things (IoT) saat ini, duplikasi proses dan model bisnis bukanlah hal yang sulit, sehingga suka atau tidak, yang selama ini merupakan informasi bersifat rahasia, telah berubah menjadi informasi publik informasi bisnis, telah tersedia di internet. Dengan keterbukaan informasi ini, maka setiap pelaku usaha harus mampu memanfaatkan era IoT ini, untuk berkolaborasi tidak hanya antar sektor usaha yang berbeda tetapi juga untuk sektor usaha yang sejenis, seperti pada sektor logistik yang dari setiap tahun harus berjuang terhadap biaya logistik yang tinggi. Beberapa keunggulan dunia usaha dalam melakukan kolaborasi adalah mengatasi keterbatasan sumber daya, memperluas jangkauan pasar, mitigasi resiko dan efisiensi operasional.
3. Menjaga Likuiditas Usaha
Bila pada akhir September Direktur Utama PT Bank Central Asia, Tbk. (BCA) Jahja Setiaatmadja menyatakan bahwa pada tahun 2024, nasabah banyak yang makan tabungan, seiring dengan menurunnya pendapatan korporasi, maka pada tahun 2025 fenomena “makan tabungan” akan marak terjadi pada pelaku usaha untuk berbagai sektor. Untuk itu, dalam kondisi pelemahan ekonomi dan daya beli masyarakat, seluruh pelaku usaha harus mampu menjaga likuiditas perusahaan sehingga organisasi dapat bertahan dan beroperasi.
4. Utilisasi Aset dan Pengendalian Investasi
Dalam kondisi perlambatan ekonomi, aset yang tidak produktif akan menambah beban biaya produksi demikian juga dengan upaya penambahan investasi yang direncanakan untuk menurunkan biaya produksi melalui peningkatan kapasitas dan varian produk atau layanan. Penggunaan strategi aset bersama (shared assets) dalam kolaborasi usaha merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan antar pelaku usaha agar dapat meningkatkan utilisasi aset yang ada. Demikian juga opsi untuk menjual atau menyewakan aset yang tidak produktif merupakan strategi yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha agar dapat menurunkan beban biaya produksi/operasional.
Optimisme merupakan semangat yang harus tetap dipelihara dan dikendalikan oleh setiap manusia, termasuk seluruh pelaku usaha dalam menghadapi berbagai asumsi dan prediksi ekonomi nasional pada tahun 2025. “Hanya orang-orang gila yang mengharapkan hasil yang berbeda tetapi menggunakan cara-cara yang sama.” – Albert Einstein.
2025 – Change or Die!!!
*****
Referensi:
Rizaty, M. A. (2024, October 2). Infografis: Indonesia Deflasi 5 Bulan Beruntun. Data Indonesia: Data Indonesia for Better Decision. Valid, Accurate, Relevant. https://dataindonesia.id/infografis/detail/infografis-indonesia-deflasi-5-bulan-beruntun
Susanto, L. (2024, August 29). INFOGRAFIK: Degradasi Jumlah Kelas Menengah Indonesia. Katadata. https://katadata.co.id/infografik/66cfdafdd198f/infografik-degradasi-jumlah-kelas-menengah-indonesia
Winarko, D. A. (2024, September 24). SINDOgrafis: Bos Bank BCA: 6 Bulan Terakhir Banyak Nasabah Makan Tabungan. SINDOnews Infografis. https://infografis.sindonews.com/photo/30377/bos-bank-bca-6-bulan-terakhir-banyak-nasabah-makan-tabungan-1727053109
Tobing, M. (2023). Menggapai Asa, Menata Langkah: Lampu Kuning Industri Minuman – Supply Chain Indonesia. Supply Chain Indonesia – Research | Consulting l Training. https://supplychainindonesia.com/menggapai-asa-menata-langkah-lampu-kuning-industri-minuman-2023/
Tobing, B. (2023). Keep Simple and Flexible Requisite Organization. www.academia.edu. https://www.academia.edu/97573891/Keep_Simple_and_Flexible_Requisite_Organization
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel (2025 Change or Die) - Ketika Dunia Usaha Berada pada Persimpangan Keberlanjutan Penurunan Daya Beli dan Optimisme APBN 2025 (275.5 KiB, 58 hits)