Oleh: Achmad Ridwan TE., Drs., M.H.
Peneliti, Penulis, dan Pengamat Masyarakat Hukum Kepelabuhanan
Dari Logistikasi Menuju Kemajuan Perekonomian
Perhatian terhadap sistem, manajemen, dan hukum logistik sangatlah penting dari sebagian besar perusahaan di industri komersil, karena berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan pelanggan (masyarakat). Peran logistik bahkan sangat krusial untuk memastikan kinerja dan kesuksesan perusahaan.
Jika kita melihat sejarahnya, berawal sejak tahun 1950-an, logistik muncul seiring dengan peningkatan kompleksitas bisnis persediaan dan pengiriman barang dalam peningkatan globalisasi persediaan berantai. Dari konsep inilah logistik memperoleh definisi baru, yaitu proses pengelolaan yang strategis terhadap pemindahan dan penyimpanan barang, suku cadang dan barang jadi dari para pemasok kepada para pelanggan, dan menjadi salah satu operasi terpenting di perusahaan.
Istilah “logistik” sendiri berasal dari Bahasa Yunani logos (λόγος) yang berarti “rasio, kata, kalkulasi, alasan, pembicaraan, orasi”. Kata “logistik” juga memiliki asal kata dari Bahasa Perancis loger yaitu untuk menginapkan atau menyediakan. Pada kekaisaran Yunani, Romawi, dan Bizantium kuno, ada perwira militer dengan gelar ‘Logistikas’, yang bertanggung jawab atas distribusi dan pendanaan persediaan perang.
Pada sejarah awalnya, kepentingan terhadap logistik merupakan salah satu kegiatan yang sebenarnya berawal karena adanya kebutuhan militer berupa pasokan barang dan senjata. Dalam perkembangannya, logistik bertransformasi menjadi sebuah disiplin ilmu dari pergerakan, pasokan, dan perawatan dari pasukan militer di lapangan. Perspektif bisnis melihat konsep logistik adalah bagian dari manajemen arus barang di sebuah organisasi dan dari barang mentah menjadi barang jadi. Dengan demikian, logistik merupakan konsep yang berevolusi dari kebutuhan pihak militer untuk memenuhi persediaan mereka ketika mereka beranjak ke medan perang dari markas.
Seiring dengan perkembangan dunia bisnis, pada akhirnya konsepsi logistik dunia militer diadopsi oleh dunia bisnis. Saat ini, jika kita berbicara tentang pilar perekonomian Indonesia yang sangat penting salah satunya adalah sektor perdagangan. Dalam hal ini, peran sektor perdagangan terlihat dari peningkatan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran. Nilai tambah Sektor tersebut selama periode 2005-2008 menunjukkan peningkatan positif dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut dinyatakan dengan besaran Rp 293,9 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 363,3 triliun pada tahun 2008. Peranan sektor ini dalam PDB nasional masih tetap tinggi, yaitu 14% dari PDB nasional pada tahun 2008.
Dalam Rencana Strategis Kementerian Perdagangan 2009-2014, disebutkan bahwa visi dari Kementerian Perdagangan adalah perdagangan sebagai sektor penggerak pertumbuhan daya saing ekonomi serta pencipta kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Dalam mewujudkan visi tersebut, penguatan daya saing produk-produk Indonesia mutlak diperlukan baik di pasar domestik maupun pasar internasional.
Keunggulan Komparatif
Dewasa ini, Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang sangat banyak, antara lain sumber daya alam yang berlimpah dan upah tenaga kerja yang relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Negara kita juga merupakan negara dengan jumlah penduduk besar yang dapat dijadikan pasar potensial bagi produk-produk domestik. Akan tetapi, keunggulan komparatif yang kita miliki tidak diikuti dengan keunggulan kompetitif. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh tujuan negara ini yakni kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Lalu, apa yang akan terjadi jika tidak mengikuti tujuan negara ini atau notabenenya tujuan negara hukum? Besar kemungkinan akan menjadi bentuk penjajahan baru di atas kemakmuran rakyat Indonesia.
Daya saing produk Indonesia masih sangat lemah apabila dibandingkan dengan produk dari negara lain. Indeks daya saing Indonesia yang dirilis oleh Global Competitiveness Index (GCI) tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat 44 dari 139 negara. Di antara negara anggota ASEAN, Indonesia berada pada urutan ke-5 setelah Singapura (3), Malaysia (26), Brunei (28), dan Thailand (38) serta berada di atas peringkat Vietnam (59), Filipina (85), dan Kamboja (109). Hal ini menunjukkan bahwa dalam kawasan regional yang memiliki produk/komoditas unggulan yang relatif sama Indonesia masih belum mampu bersaing dengan negara-negara tetangga.
Apa yang Harus Dibenahi?
Melihat daya saing yang masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga, salah satu hal mendasar yang perlu dibenahi adalah infrastruktur perdagangan. Masih buruknya infrastruktur perdagangan, seperti kerusakan jalan/sarana transportasi serta kekurangan energi listrik dan gas, masih menjadi penyebab utama tingginya biaya produksi. Sektor perdagangan internasional maupun domestik sangat tergantung pada kinerja logistik. Logistik perdagangan yang baik merupakan prasyarat yang sangat penting bagi suatu negara agar memiliki daya saing yang kuat di pasar internasional. Selain itu, agar pasokan barang dalam pasar domestik dapat terjaga dengan baik.
Terdapat contoh di lapangan, misalnya banyak buah-buah impor yang masuk ke pasar Indonesia. Hal ini disebabkan karena selain biaya produksi di negara asal jauh lebih efisien, hal tersebut didukung dengan adanya kemudahan dan kemurahan dalam mengirim hasil pertanian tersebut ke luar negeri. Biaya untuk mengirimkan kontainer berisi jeruk dari Shanghai, China, ke Jakarta adalah kurang lebih sekitar USD 400, sedangkan untuk mengirimkan kontainer yang sama dari Pontianak ke Jakarta adalah sebesar USD 800.
Pembenahan sektor logistik merupakan hal penting yang menjadi prioritas pemerintah untuk memperlancar arus barang dan jasa. Penelitian Bank Dunia tentang Logistic Performance Index (LPI) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan 75 dari 155 negara yang disurvei. Di antara negara-negara ASEAN, Malaysia menduduki peringkat paling tinggi, yaitu urutan 29, disusul oleh Thailand di peringkat 35, dan Philipina pada peringkat 44. Dalam hal ini, LPI mengukur berbagai aspek yang mencerminkan tingkat efisiensi logistik di suatu negara.
Terdapat enam dimensi yang mengukur kinerja logistik yang dimaksud dalam LPI di antaranya:
- Efisiensi proses “clearance”.
- Kualitas infrastruktur dan transportasi perdagangan.
- Kemudahan memperoleh harga pengiriman yang kompetitif, termasuk kemudahan dalam menyusun jadwal pelayaran.
- Kompetensi logistik dan kualitas jasa logistik, meliputi jasa pergudangan.
- Fasilitas tracking dan tracing (penelusuran dan pencarian).
Fasilitas ini akan sangat membantu untuk membuat perkiraan kedatangan barang di negara tujuan. - Ketepatan waktu.
Sebuah survei oleh Bank Dunia yang diadakan di Jakarta Trade Expo mendapati bahwa pembeli dari luar negeri tidak terlalu memperhatikan harga produk dari Indonesia. Sebaliknya, perhatian terbesar mereka adalah ketepatan waktu (pengiriman) dan keterandalan (standar dan pengendalian kualitas).
24 Februari 2017
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Politik Hukum Percepatan Sertifikasi-Kompetensi Tenaga Kerja Sektor Logistik Bagian #1 (666.6 KiB, 1,664 hits)