Oleh: Dr. (Cand.) Drs. Achmad Ridwan Tentowi., S.H., M.H.
Ketua Bidang Maritim APDHI
Pemerhati dan Pengamat Masalah Maritim dan Logistik
Dugaan Korupsi Sektor Swasta Perlu Dimasukkan dalam RRU – Tipikor
Korupsi sudah mulai merambah antara swasta ke swasta, bukan lagi persoalan keuangan negara. Melihat kondisi tersebut, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara bersamaan, terintegrasi, dan berkesinambungan. Salah satu kendala untuk mengaktualisasikan sektor swasta ke dalam korupsi, yaitu dengan pembenahan sektor swasta dalam menindak praktik koruptif yang berpotensi stagnan, karena salah satu unsur dari tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor masih sebatas kerugian keuangan negara (state loss). Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan definisi korupsi yang lebih luas di negara maju seperti Amerika dan Inggris yang juga mencakup praktik korupsi di sektor swasta (private sector corruption).
Ironis mengingat kita telah meratifikasi The United Ndtions Conuention Against Corruption (UNCAC) melalui UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC tahun 2003. Pada Pasal 12 dan 21 UNCAC 2003 jelas diatur mengenai pencegahan korupsi dan suap di sektor swasta. Dengan demikian, saatnya aparat penegak hukum bergerak cepat untuk menindak tegas keterlibatan korporasi dalam perkara korupsi yang selama ini tidak tersentuh.
Regulasi terkait masalah korupsi di sektor swasta merupakan suatu hal yang sangat mendesak dan penting untuk diatur dan perlu di masukan ke dalam RUU Tipikor. Hal ini dilakukan demi kesinambungan perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Sudah saatnya peraturan dibuat agar para pelaku bisnis swasta yang melanggar bisa dihukum sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Ketika sektor swasta melakukan korupsi (penyuapan), maka akan berdampak kepada perkembangan dan kemajuan perekonomian Indonesia.
Ketika sektor swasta dengan swasta ‘bermain’ khususnya di bidang logistik, maka perbuatan yang terindikasi korupsi dalam UNCAC 2003, namun dalam UU Tipikor tidak termasuk kategori korupsi. Sektor swasta dalam hal ini akan bebas untuk bergerak, karena UU atau peraturan hukum yang mengatur masalah ini berlum ada. Dugaan tersebut terjadi karena terdapat kendala azas legilitas Pasal 1 KUHP, di mana sebuah tindak pidana tidak dapat dijerat secara pidana apabila tidak ada UU yang mengaturnya, sehingga pelaku praktik kegiatan tersebut masih leluasa untuk melakukan tindakan tersebut.
Jika kita melihat secara detail tentang RUU Pemberantasan Korupsi versi 2007, Pasal 7 Ayat (1) RUU itu memberi kewenangan KPK untuk mengusut praktik suap di sektor swasta. Mengenai pasal itu, sebetulnya merujuk pada Artikel 21 konvensi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
Pasal tersebut mengatur bahwa tindakan suap yang terjadi di sektor swasta juga digolongkan sebagai tindak pidana korupsi.
Para pembentuk RUU Tipikor versi 2007 sudah berencana untuk memasukkan suap sektor swasta ke dalam kategori korupsi. Namun, untuk mengangkat wacana kerja sama antara sektor publik dan sektor swasta dalam melawan budaya suap belum dapat terealisasikan. Hal tersebut baru sebatas wacana, ke depannya Artikel 12 dan 21 UNCAC 2003 diharapkan sudah terakomodasi sebagai perbuatan korupsi di Indonesia. Suap yang terjadi di kalangan para pengusaha (sektor logistik) sudah membuat keterpurukan perekonomian di Indonesia.
Solusi untuk Menghadapi Dugaan Korupsi Sektor Logistik
Dampak meratifikasi UNCAC 2003 melalui UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC Tahun 2003 sudah jelas akan ada amandemen atau pembaharuan terhadap semua produk hukum yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Amandemen harus dilakukan karena terdapat banyak ketentuan di dalam UNCAC 2003 yang tidak termasuk di dalam hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Sebelumnya, menurut hukum Indonesia korupsi tidak termasuk tindak pidana namun menurut UNCAC 2003 korupsi termasuk tindak pidana.
Karena sistem hukum pidana kita menganut asas legalitas sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang menegaskan: nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, dapat diartikan secara harfiah dalam bahasa Indonesia dengan ”tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Azas legalitas tersebut sudah sangat jelas merupakan kendala utama. Namun, negara ini merupakan negara hukum yang segala sesuatunya diatur oleh hukum.
Sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan ini, maka kita memerlukan sebuah lembaga pengawas yang bertugas untuk mengawasi transaksi biaya logistik sehingga tetap dalam biaya yang wajar. Lembaga pengawas ini tentunya memiliki kekuatan hukum, maka sudah secara otomatis perangkat aturan tentang lembaga pengawas ini harus terlebih dahulu disiapkan oleh pemerintah. Sebagai sebuah benchmark, di Amerika Serikat terdapat sebuah lembaga bernama Federal Maritime Commision (FMC) yang salah satu tugasnya adalah untuk menginvestigasi apabila terdapat transaksi tidak wajar (unfair transaction) terkait dengan perdagangan internasional, di mana biaya freight forwarders termasuk di dalamnya.
Hal penting yang perlu dipikirkan adalah perumusan ratifikasi Artikel 12 dan Artikel 21 dalam UNCAC 2003 ke dalam pembaharuan UU Tipikor atau pembuatan UU yang secara khusus mengatur tentang sistem logistik di Indonesia yang sampai saat ini belum ada. Sebelum melakukan pembahruan dengan memasukan Artikel 12 dan 21 UNCAC 2003, tim pembaharu harus memperhatikan kinerja dari tim ahli PBB yang membuat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis UNCAC 2003.
Kemudian untuk aturan sistem logistik sudah dilakukan oleh negara-negara maju yang notabene memiliki Logistics Performance Index (LPI) yang lebih baik dari Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar LPI Indonesia akan membaik apabila meratifikasi secara penuh UNCAC 2003 tersebut.
Melalui analisis hukum di atas, maka perlunya menata dan merekonstruksi apa yang menjadi kebutuhan saat ini. Kebutuhan tersebut semakin mendesak sektor swasta di bidang logistik untuk dimasukkan ke dalam tindak pidana korupsi secara lebih spesifik, sehingga tatanan hukum yang ada akan mudah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, hukum sebagai alat pembaharuan sosial menjadi titik tolaknya. Hukum harus bisa membangun sedemikian rupa sehingga cita-cita dalam UUD 1945 dapat terwujud dan inilah sebuah aplikasi dari konsep the living law.
9 Januari 2018
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
Dugaan_Korupsi_Sektor_Swasta_dalam_Bidang_Logistik_Bagian_3_dari_3_tulisan.pdf (763.5 KiB, 659 hits)