Oleh: Bambang S. Gunawan
Ketua Kompartemen Maritim
DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI)
Terkait besaran angkutan 15.000 ton atau kapal 15.000 dwt, praktisi dan pelaku yang menggeluti angkutan laut curah/bulk melihat hal ini sepertinya tidak akan berlaku untuk komoditas batu bara. Sasaran oleh angkutan laut nasional pada Permendag ini adalah CPO, beras, gula, dan komoditas angkutan pemerintah lainnya. Freight batu bara dengan besaran 15.000 ton dapat dikatakan bahwa freight-nya tidak akan masuk, jika dipaksakan, maka freight-nya akan menjadi tinggi sehingga para eksportir tidak akan bisa bekerja. Jadi, eksportir batubara bisa bernafas lega terlebih dahulu untuk sementara, karena bisa menghindar dari aturan Permendag ini. Jika diperhatikan, rata-rata ekspor batu bara ke luar negeri tidak menggunakan kapal-kapal berukuran 15.000 dwt.
Permendag No. 40 Tahun 2020 ini akan diberlakukan efektif mulai bulan Mei 2020. Pada tanggal 20 April 2020 lalu, telah dilakukan pertemuan sosialisasi via zoom dengan mengundang para stakeholder, namun hal ini terkesan bersifat confidential. Undangan ke asosiasi-asosiasi terkait dibatasi jumlahnya.
Sebelumnya, pada Permendag No. 82 Tahun 2017, undangan sosialisasi dilakukan terbuka dan ditujukan ke asosiasi-asosiasi terkait. Pada awal pertemuan, para stakeholder yang diundang cukup banyak jumlahnya yaitu mencapai lebih 20 orang. Namun, semakin mencuatnya silang pendapat dan banyaknya masukan, Permendag yang menggagas mandatori angkutan laut nasional ini semakin terdengar samar-samar, kemudian berujung terjadi penundaan. Pada kurun waktu tersebut, tentu ada pergantian pejabat di lingkungan Kemendag dan akhirnya pada tahun 2020, Permendag yang tadinya tertunda muncul kembali.
Permendag ini terkesan eksklusif. Bagaimanapun, masukan dari para stakeholder yang berkaitan dengan angkutan laut nasional sangat dibutuhkan, seperti yang diketahui bahwa peraturan dibuat agar implementasinya mudah dilaksanakan, berjalan dengan baik sesuai dengan harapan, dapat bermanfaat, dan dinikmati oleh masyarakat. Pelaku dan praktisi logistik angkutan laut tentu melihat fenomena ini mengundang berbagai tanda tanya, mengapa undangan dari asosiasi terkait dibatasi?
Berikutnya, pandangan terhadap mandatori penggunaan angkutan laut nasional dari sisi implikasi yang lebih luas terhadap negara-negara lain yang sebelumnya melakukan kesepakatan antara kapalnya dengan trader negara yang bersangkutan. Namun, dengan adanya Permendag ini, harus terjadi kesepakatan kapal dengan perusahaan angkutan laut nasional, tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi mereka.
Cepat atau lambat dunia akhirnya tahu bahwa telah terjadi mandatori penggunaan angkutan laut nasional dari Pemerintah Indonesia. Perlu diingat mengenai logistik angkutan laut yaitu “cross border export/import” karena secara umum dunia ini bagaikan “borderless”. Seharusnya yang diatur itu bukan mandatori moda angkutan lautnya yang wajib menggunakan angkutan laut nasional, melainkan aturan perdagangannya itu sendiri.
Normatifnya, memang yang diatur itu adalah terms of trade baik untuk ekspor maupun impor. Jika aturan dibuat menguntungkan, maka trader akan melakukan CIF/CNF untuk ekspor dan FOB untuk impor. Dengan demikian, akan terjadi mandatori secara alami untuk penggunaan angkutan laut nasional. Rekomendasi terkait hal ini adalah untuk dibuat sejenis Permendag yang mudah dilaksanakan oleh para eksportir maupun importir. Misalnya dengan pemberian relaksasi pajak dan kemudahan dokumentasi agar mereka mau menjual komoditas batu bara dan CPO dengan CIF/CNF. Jika mereka adalah importir, maka sebaiknya dibuat aturan yang memudahkan sehingga kiprah pengusaha angkutan laut nasional semakin terangkat.
Pepatah pengusaha angkutan laut mengatakan bahwa “Ship Follow the Trade”, ini bermakna “trade first, ship will follow”. Pengusaha angkutan laut patuh dengan kontrak dalam perdagangan, bukan memaksa dengan wajib kepada para eksportir atau importir untuk menggunakan jasa angkutan mereka. Pengusaha angkutan laut (pemilik kapal) mengikuti yang tercantum pada terms of trade, jika CIF/CNF yang dilakukan, maka mereka melakukan negosiasi kapal kepada penjual. Sebaliknya, jika FOB yang dilakukan, maka negosiasi kapal dilakukan kepada pembeli.
Informasi yang didapatkan sebaiknya utuh. Selain itu, apakah ada aturan sejenis di luar negeri yang memberlakukan eksportir untuk wajib menggunakan angkutan laut nasional di negara mereka?
Pada asas “cabotage”, memang aturan tersebut ada dan berlaku di beberapa negara, seperti Amerika, Jepang, China, dan lain sebagainya. Namun kewajiban menggunakan angkutan laut nasional untuk ekspor dan impor di negara-negara lain belum pernah terdengar. Dikhawatirkan negara-negara yang merasa dirugikan akan memberi balasan kepada Indonesia seperti embargo komoditas yang mereka jual ke Indonesia, pembatasan impor ke negara mereka, dan lain sebagainya. Seperti sebelumnya, Indonesia sering tidak diuntungkan dalam lobying perdagangan internasional yang berujung merugikan. Oleh sebab itu, Permendag No. 40 Tahun 2020 ini perlu disikapi dengan bijaksana.
25 April 2020
Referensi:
- Peraturan Menteri Perdagangan No. 40 Tahun 2020 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut Nasional dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.
- https://www.cnbcindonesia.com/market/20190625120405-17-80452/ekspor-batu-bara- ri-turun-14-tahun-esdm-fokus-domestik diakses pada 24 April 2020 pukul 17.30 WIB.
- https://industri.kontan.co.id/news/sepanjang-2019-gapki-catat-volume-ekspor-produk- sawit-sebesar-357-juta-ton?page=all diakses pada 24 April 2020 pukul 17.35 WIB.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia
Download artikel ini:
SCI - Artikel Ulasan atas Permendag No. 40 Tahun 2020 (Bagian 3 dari 3 Tulisan) (530.2 KiB, 139 hits)