Oleh: Ahmad Sugiono
Wakil Ketua Umum Bidang Logistik dan Pergudangan
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) – DKI Jakarta
Awalnya, freight forwarder adalah organisasi yang bekerja atas kuasa eksportir/importir seperti bongkar muat barang, penyimpanan barang, mengatur transportasi lokal, kemudian mendapatkan pembayaran dari para pelanggannya. Namun, seiring dengan perluasan perdagangan internasional dan berkembangannya moda transportasi maka cakupan usahanya pun semakin luas.
Saat ini, perusahaan freight forwarder memainkan peran penting dalam perdagangan dan transportasi, baik nasional maupun internasional. Layanan yang diberikan oleh perusahaan freight forwarding bukan hanya sebatas wakil dari importir dan importir, tetapi melakukan evolusi yang lebih luas terkait dengan jasa layanan logistik yang terintegrasi sampai pada kolaborasi eksternal dan internal yang kita kenal saat ini dengan istilah supply chain.
Definisi freight forwarder banyak ditemukan baik rujukan secara internasional maupun nasional, terkait lingkup kerja sampai pada tanggung jawab yang harus dilakukan. Misalnya, untuk definisi nasional tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 49 tahun 2017 atau freight forwarder yang bertindak sebagai pengangkut kontraktual tertuang dalam PMK 158/PMK.04/2017 yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi dan momok menakutkan bagi pelaku bisnis tersebut terkait dengan aturan sanksi yang dikenakan.
Akibat dari PMK tersebut banyak pihak meminta dan menyuarakan agar aturan ini diatur lebih lanjut, lebih detail, dan disesuaikan dengan proses bisnis contracting carrier, bahkan menuntut untuk dicabut. Merujuk pada buku yang telah distandardisasi oleh UNESCAP, peran freight forwarder terbagi menjadi dua yaitu sebagai principal dan sebagai agent. Peran freight forwarder sebagai agent yang menjadi salah satu penyebab timbulnya sanksi administrasi oleh otoritas Bea dan Cukai terkait dengan pelaporan kedatangan dan keberangkatan sarana pengangkut.
Tulisan ini mencoba mengulas dampak dari Peraturan Menteri Keuangan No. 158/PMK.04/2017 terhadap perusahaan freight forwarding yang bertindak sebagai Non Vessel Operating Common Carrier (NVOCC).
Sebelum diterbitkannya PMK 158/PMK.04/2017, beberapa pihak memiliki keinginan agar perusahaan NVOCC memiliki pengakuan sebagai pengangkut dengan tetap membedakan tugas dan fungsinya sebagai contracting carrier. Pengakuan tersebut diharapkan mampu menaikkan posisi tawar perusahaan NVOCC dan mampu menurunkan biaya logistik yang selama ini cukup tinggi. Impian tersebut akhirnya terwujud melalui PMK ini yaitu pengakuan sebagai pengangkut.
Dalam PMK tersebut, definisi pengangkut kontraktual (non vessel operator common carrier) adalah badan usaha jasa pengurusan transportasi yang melakukan negosiasi kontrak dan kegiatan lain yang diperlukan untuk terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut, dan udara, dan mengkonsolidasikan muatan.
Dampak positif dari aturan PMK tersebut adalah pemberitahuan manifest sejak pemberlakuan aturan ini diterapkan, maka dapat langsung dilakukan oleh contracting carrier atau biasa disebut NVOCC dan proses redress menjadi lebih singkat dan tanpa biaya. Berbeda dengan sebelum terbitnya PMK ini, hal yang paling dihindari adalah proses redress yang membutuhkan biaya mahal dan waktu lama karena tidak adanya janji layanan yang cepat bahkan beberapa harus menunggu sampai 14 hari kerja. Tentu untuk pengiriman menggunakan moda udara waktu tersebut termasuk cukup lama dan menimbulkan biaya penumpukan yang mahal mengingat perhitungan biaya penumpukan dihitung per kilogram per hari.
Di balik kemudahan dan dampak positif yang dihadirkan, PMK tersebut juga memiliki dampak negatif dan sangat membahayakan bisnis NVOCC secara keseluruhan. Penerbitan surat panggilan dari KPU tipe C Soekarno Hatta No. S-4235/KPU.03/BD.0406/2020 tertanggal 13 Oktober 2020 terhadap 449 perusahaan NVOCC berpotensi mendapatkan surat pemberitahuan sanksi administrasi yang nilainya cukup besar dan potensi kerugian lainnya.
Kondisi pada saat pandemi Covid-19 yang ditandai dengan situasi persaingan harga yang ketat, menurunnya omset penjualan, dan gencarnya ekspansi asing ditambah dengan potensi sanksi administrasi yang timbul akibat PMK ini, harus menjadi perhatian pemerintah dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.
Beberapa dampak negatif dari PMK 158/PMK.04/2017 tersebut antara lain sebagai berikut:
- Proses kerja actual carrier disamakan dengan contracting carrier. Pada tahap ini apabila dicermati tentu akan sangat berbeda proses kerjanya dimana actual carrier sebagai pemilik armada, misalnya moda udara dengan contracting carrier yang hanya menyewa space/ruangan dari sebagian ruangan pesawat.
Hal yang biasa terjadi adalah bagaimana airline karena pertimbangan sisi bisnisnya bisa memberangkatkan pesawat tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada contracting carrier, sementara contracting carrier hanya berpedoman kepada schedule/jadwal rutin yang diberikan. Hal ini mengakibatkan pesawat telah tiba di tujuan sementara contracting carrier baru mengetahui setelah mendapatkan pemberitahuan/NOA dari airline, disinilah potensi denda tersebut bisa muncul untuk NVOCC karena terlambat menyampaikan manifest kedatangan. - Potensi terjadinya denda karena airline memberangkatkan barang secara sebagian/partial shipment. Pada kondisi tertentu NVOCC sebagai contracting carrier baru mengetahui bahwa shipment tersebut adalah shipment sebagian ketika gagal melakukan rekonsiliasi manifest kedatangan sarkut. Setelah dirunut ternyata airline memberangkatkan sebagian dan tidak memberitahukan kepada NVOCC sementara data di inward manifest Bea dan Cukai mensyaratkan shipment sebagian perlu dibuat aju lain sehingga potensi besar dikenakan denda untuk NVOCC ini juga relatif besar.
- Potensi denda dikarenakan belum dan tidak mendapatkan dokumen transport dari partner di luar negeri. Dalam bisnis modern saat ini, networking dan kolaborasi menjadi tuntutan penting, maka terkadang mitra di luar negeri akan mengirimkan barang kepada NVOCC di tujuan tanpa pemberitahuan sebelumnya dan baru menerima pemberitahuan/NOA dari airline ketika pesawat sudah tiba di tujuan. Hal tersebut berpotensi denda besar meskipun hal itu bukan dari kesalahan dari NVOCC di tujuan.
- Potensi denda karena faktor internal perusahaan. Perkembangan bisnis menuntut etos kerja sumber daya manusia dan sistem kerja serta waktu yang adaptif. Perusahaan harus mampu melakukan prediksi keberangkatan dan kedatangan sarana pengangkut dan mempersiapkan data-data yang diperlukan sebelum batas waktu penyerahan inward dan outward manifest. Keterlambatan dalam melakukan submit data ke sistem modul manifest akan mengakibatkan sanksi administrasi yang telah diatur dalam PMK tersebut.
Berkaitan dengan potensi-potensi denda tersebut sudah sewajarnya PMK 158/PMK.04/2017 dievaluasi. Perlu dilakukan perubahan dengan tetap melihat proses bisnis masing-masing entitas agar ekosistem logistik yang tetap berjalan dengan baik dan mampu menciptakan harapan untuk berkembang, bukan justru membuat para pelaku NVOCC gulung tikar karena ketidaksesuaian antara risiko dan harapan jasa yang diperoleh.
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, perlu menunjukkan perannya bukan hanya sebagai revenue collector tetapi juga perannya sebagai community protector, trade facilitator, dan industrial assistance.
21 Oktober 2020
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Nasib Tragis Freight Forwarder sebagai Pengangkut Kontraktual (837.5 KiB, 306 hits)