Oleh: Setijadi
Chairman | Supply Chain Indonesia
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pada Rabu (11/8) mengatakan biaya logistik Indonesia sebelas persen lebih mahal 13 persen dari rata-rata biaya logistik dunia. Biaya logistik Indonesia sebesar 24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) berdampak Indonesia kurang bersaing dengan negara-negara lain.
Erick menyebut biaya logistik Indonesia yang mahal disebabkan oleh fasilitas infrastruktur dalam negeri yang kurang memadai, sehingga infrastruktur BUMN tetap harus diperbaiki meski di tengah pandemi.
Evaluasi atas daya saing dan kondisi infrastruktur Indonesia bisa mengacu terhadap The Global Competitiveness Index yang dikeluarkan World Economic Forum secara berkala. Pada tahun2019, Indonesia berada pada peringkat 50 dari 141 ekonomi. Dengan peringkat itu, Indonesia turun 5 peringkat dari tahun sebelumnya. Di antara negara-negara ASEAN, posisi Indonesia itu di bawah Singapura (peringkat ke-1), Malaysia (27), dan Thailand (40).
Laporan itu terbagi atas 12 pilar penilaian, yaitu Institution, Infrastructure, ICT Adoption, Macroeconomic Stability, Health, Skills, Product Market, Financial System, Market Size, Business Dynamism, dan Innovation Capability. Nilai, skor, dan peringkat Indonesia untuk infrastruktur transportasi pada tahun 2019 ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel Nilai, Skor, dan Peringkat Indonesia
untuk Infrastruktur Transportasi
Sumber: The Global Competitiveness Index 4.0 2019
Infrastruktur Indonesia yang berada pada peringkat 72. Untuk pilar infrastruktur, khususnya konektivitas, peringkat terendah pada konektivitas jalan (peringkat 109), diikuti liner shipping connectivity (36). Penilaian atas airport connectivity Indonesia sangat baik dan menempatkan Indonesia pada peringkat 5 untuk indeks ini.
Selain perlu perbaikan kualitas infrastruktur jalan, Indonesia menghadapi tantangan peningkatan railroad density terkait wilayah yang luas. Efisiensi pelayanan juga perlu ditingkatkan baik untuk transportasi udara maupun pelabuhan.
Perencanaan dan pembangunan infrastruktur berorientasi tidak hanya terhadap output, tetapi juga harus terhadap outcome dan impact. Seperti dalam pembangunan pelabuhan, orientasi seharusnya tidak hanya hasil fisik pelabuhan, namun juga terhadap volume barang yang ditangani, bahkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Pembangunan infrastruktur juga harus terintegrasi dengan program-program terkait lainnya, sehingga membutuhkan kolaborasi dan sinergi antar pihak, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta perusahaan BUMN dan swasta.
Kolaborasi dan sinergi juga melibatkan kementerian terkait produk atau komoditas, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pemerintah Daeraha setempat juga harus terlibat dalam upaya peningkatan daya saing produk/komoditas dan pertumbuhan ekonomi wilayahnya.
Perencanaan pembangunan infrastruktur, terutama logistik, seharusnya dituangkan dalam suatu rencana induk jangka panjang agar bisa menjadi acuan, baik bagi kementerian terkait, pemerintah daerah, dan pelaku usaha.
Bandung, 15 Agustus 2021
Setijadi
Chairman
Supply Chain Indonesia
E-mail : setijadi@SupplyChainIndonesia.com
Download Catatan ini:
Catatan SCI - Analisis dan Rekomendasi Perbaikan Infrastruktur untuk Penurunan Biaya Logistik (1,005.9 KiB, 90 hits)