Oleh: Dr. Zaroni, CISCP., CFMP., CMILT.
Head of Consulting Division
Supply Chain Indonesia
Penilaian persediaan dilakukan untuk menentukan persediaan akhir, beban pokok produksi, dan beban pokok penjualan. Perusahaan mencatat persediaan dengan menggunakan pendekatan perpetual atau periodik.
Dengan pendekatan perpetual, perusahaan mencatat nilai persediaan atas setiap transaksi yang mengakibatkan perubahan nilai persediaan. Transaksi ini adalah pembelian, penjualan, dan pemakaian persediaan.
Metode penilaian persediaan
Tidak seperti pendekatan perpetual, pendekatan periodik hanya mencatat nilai persediaan setiap akhir periodik, yaitu pada saat pelaporan keuangan. Bisa bulanan, triwulan, semesteran, atau tahunan.
Dengan pendekatan periodik, perusahaan melakukan stock opname atas persediaan. Umumnya, kegiatan yang dilakukan pada saat stock opname adalah menghitung, menimbang, atau mengukur setiap jenis persediaan, sesuai dengan karakteristik persediaan.
Dalam penentuan inventory costing, seperti nilai persediaan akhir dan beban pokok penjualan, perusahaan perlu mencatat secara spesifik cost untuk setiap jenis persediaan. Metode pencatatan persediaan untuk setiap jenis persediaan ini dikenal dengan specific identification method.
Dalam praktiknya, beberapa perusahaan mengalami kesulitan untuk menerapkan metode ini. Sebabnya, perusahaan harus mencatat setiap saat atas perubahan unit dan cost dari setiap transaksi pembelian, produksi, penjualan, retur pembelian, dan retur penjualan.
Sebenarnya, upaya pencatatan setiap perubahan persediaan di era digitalisasi sangatlah mudah. Teknologi bar coding, RFID (radio frequency identification), dan electronic product codes, sangat membantu dalam proses pencatatan persediaan sehingga memungkinkan penerapan specific identification method.
Metode specific identification tepat diterapkan untuk produk-produk bernilai tinggi, seperti karya seni, piano, mobil mewah, dan sejenisnya.
Selain metode identifikasi khusus, perusahaan dapat menggunakan cost flow assumption untuk menentukan inventory costing. Dalam akuntansi, ada beberapa cost flow assumption untuk inventory costing:
First-in, first-out (FIFO)
Metode FIFO mengasumsikan bahwa barang yang dijual adalah barang yang pertama kali dibeli. Penggunaan metode FIFO dalam cost flow sejalan dengan aliran fisik barang. Umumnya, perusahaan menjual terlebih dahulu barang-barang yang lama atau yang pertama kali masuk.
Produk-produk yang memiliki tenggat kedaluwarsa, seperti produk makanan, minuman, obat-obatan, dan lain- lain, biasanya, menggunakan FIFO.
Dengan menggunakan FIFO, produk-produk yang dibeli pertama kali, harganya diakui sebagai harga untuk menghitung beban pokok penjualan. Penting untuk diperhatikan bahwa penggunaan asumsi cost flow dalam penghitungan beban pokok penjualan hanyalah asumsi cost, bukan secara fisik unit barang yang dijual mengikuti FIFO. Bisa jadi unit barang yang dijual berbeda dengan asumsi FIFO.
Metode rata-rata (average cost method)
Metode ini mengasumsikan bahwa pengakuan cost atas penjualan barang didasarkan pada rata-rata cost tertimbang (weighted average cost).
Last-in, last-out (LIFO)
Dengan metode ini, pengakuan cost atas penjualan barang didasarkan pada barang yang terakhir dibeli. Dalam praktiknya, metode LIFO jarang diterapkan secara fisik terhadap aliran pembelian dan penjualan barang. Di beberapa produk komoditas, seperti beras, batu bara, dan produk-produk yang disimpan dalam pile (stock pile), penggunaan metode LIFO sesuai dengan aliran barang secara fisik.
Selanjutnya, setelah mendapatkan nilai persediaan, untuk menentukan beban pokok penjualan dihitung sebagai berikut: Cosf of goods sold = Beginning inventory + Purchasing – Ending Inventory.
Beberapa catatan penting dalam perbandingan ketiga metode inventory costing:
- Ketiga metode menghasilkan nilai yang sama terhadap barang yang tersedia untuk dijual (cost of goods available for sale).
- Untuk nilai persediaan akhir dan beban pokok penjualan, ketiga metode menghasilkan nilai yang berbeda.
- Pada kondisi inflasi, saat harga barang cenderung mengalami kenaikan: (a) FIFO menghasilkan laba bersih lebih besar karena beban pokok penjualan lebih kecil. Harga barang yang pertama dibeli lebih rendah dibandingkan dengan harga barang yang dibeli terakhir. (b) LIFO menghasilkan laba bersih lebih kecil karena beban pokok penjualan lebih besar.
- Sebaliknya, pada kondisi deflasi, saat harga barang cenderung mengalami penurunan. FIFO menghasilkan laba bersih lebih kecil, sedangkan LIFO menghasilkan laba bersih lebih besar.
- Tanpa memandang adanya inflasi atau deflasi, metode average-cost menghasilkan laba bersih sebesar laba bersih antara FIFO dan LIFO.
Analisis persediaan
Bagi perusahaan, pengelolaan persediaan sangat penting. Persediaan yang berlebihan akan menyerap kebutuhan modal kerja. Selain itu, persediaan memerlukan tempat penyimpanan berupa gudang, asuransi, dan pemeliharaan. Persediaan yang kurang juga berdampak pada kelancaran produksi atau pemenuhan order penjualan. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengelola persediaan secara efektif.
Analisis persediaan diperlukan untuk menilai efektivitas pengelolaan persediaan. Penggunaan analisis rasio keuangan membantu mengevaluasi pengelolaan persediaan.
- Inventory turnover
Rasio ini dihitung dengan cara membagi beban pokok penjualan dengan rata-rata nilai persediaan. Inventory turnover mengindikasikan likuiditas persediaan, seberapa cepat persediaan dijual dalam satu tahun. Semakin besar inventory turnover, semakin likuid persediaan. Rumus penghitungan, Inventory turnover = Cost of goods sold ÷ Average inventory. - Days in inventory
Rasio ini dihitung dengan cara membagi 365 hari dengan inventory turnover. Hasil perhitungan rasio ini menunjukkan berapa lama dalam hari persediaan terjual. Rumus penghitungan, Days in inventory = 365 ÷ Inventory turnover.
Hasil inventory turnover yang tinggi dan days in inventory yang rendah menunjukkan tingkat inventory stock yang rendah relatif terhadap beban pokok penjualan. Persediaan yang rendah bisa dicapai dengan menerapkan just-in-time system.
Sistem just-in-time hanya memproduksi (JIT production) atau membeli barang (JIT purchasing) pada saat dibutuhkan. Penerapan just-in-time memerlukan beberapa persyaratan dan kondisi (Datar dan Rajan, 2021).
Pertama, aktivitas rantai pasokan direncanakan secara tepat, terkoordinasi, dan terkendali. Kedua, menerapkan vendor-managed inventory (VMI) – manufaktur dan pemasok saling berbagi informasi, perencanaan, dan koordinasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam peramalan penjualan, tingkat persediaan, dan penjualan.
Ketiga, sistem produksi menggunakan manufacturing cells untuk meminimalkan biaya material handling. Keempat, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pekerja sehingga pekerja memiliki multiskilled dan mampu menangani berbagai operasional, termasuk pemeliharaan dan perawatan ringan. Kelima, seleksi pemasok yang mampu memenuhi kebutuhan material secara tepat waktu sesuai kebutuhan.
Referensi:
Srikant M. Datar & Madhav V. Rajan, Hongren’s Cost Accounting: A Managerial Emphasis, 17th edition, 2021. Pearson.
11 Oktober 2022
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Penilaian Persediaan (867.4 KiB, 161 hits)