Oleh: Putu Franciska Fajarini, S.Log., M.S.M.
Junior Consultant
Supply Chain Indonesia
Pandemi Covid-19
Pandemi Covid pada tahun 2019 memberikan pukulan yang hebat, tidak hanya bagi kehidupan sosial tetapi juga perekonomian global. Krisis kesehatan ini menyebabkan perekonomian dunia anjlok sekitar -3,1 persen karena gangguan dari sisi permintaan dan pasokan serta menyebabkan banyak lembaga, perusahaan besar, dan bank memutuskan untuk mengubah proyeksi pertumbuhan keuangan mereka.
Di Indonesia sendiri, pemerintah mengambil beberapa kebijakan yang komprehensif dari sisi fiskal dan moneter untuk mengurangi dampak pandemi ini. Dari sisi fiskal, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yaitu refocusing kegiatan dan relokasi anggaran. Kementerian keuangan merelokasi dana APBN sebesar Rp62,3 triliun untuk penguatan penanganan Covid-19 dengan menyediakan fasilitas dan alat kesehatan, obat-obatan, serta insentif tim medis yang menangani pasien Covid-19 dan kebutuhan lainnya. Kemenkeu juga menerbitkan PMK 23/2020 yang memberikan stimulus pajak untuk karyawan dan dunia usaha yaitu pajak penghasilan karyawan ditangung Pemerintah, pembebasan pajak penghasilan impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25. Disamping itu, pemberian insentif/fasilitas Pajak Pertambahan Nilai yang terdampak Covid-19 (Nainggolan, 2020).
Dari sisi moneter, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan akomodatif yaitu dengan menurunkan suku bunga kebijakan BI7DRR dan melakukan injeksi likuiditas (quantitative easing) guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan memastikan stabilitas sistem keuangan. Dari perspektif makroprudensial, arah kebijakan akomodatif ditempuh melalui pelonggaran sejumlah ketentuan untuk mendorong perbankan dalam pembiayaan dunia usaha dan ekonomi serta menjaga ketahanan sistem keuangan (Bank Indonesia, 2020).
Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Logistik dan Rantai Pasok
Penutupan akses atau lockdown secara nasional yang dilakukan oleh beberapa negara untuk mencegah penularan Covid-19, berdampak pada perlambatan atau bahkan penghentian sementara aliran bahan baku dan produk jadi. Hal tersebut menganggu stabilitas permintaan dan pasokan, meningkatkan uncertainty atau ketidakpastian terhadap rantai pasokan serta menimbulkan disrupsi pada logistik dan rantai pasok.
Dari sisi logistik, total volume peti kemas yang ditangani di pelabuhan Tiongkok, misalnya, turun sebesar 10,1 persen pada bulan-bulan pertama tahun 2020. Penurunan permintaan pengiriman peti kemas ini berdampak pada kekosongan pelayaran pada rute Asia, Eropa, Amerika Serikat, dan Amerika Latin yang pada akhirnya meningkatnya biaya logistik pengiriman. Di sisi lain, volume pengiriman barang menggunakan angkutan udara mengalami penurunan sebesar 19 persen pada Maret 2020 akibat penurunan tajam dari penerbangan penumpang (yang membawa barang sebagai kargo penumpang) dan penurunan pengiriman dari manufaktur di China (Twin, et al., 2020).
Tidak seperti transportasi laut dan udara, transportasi darat umumnya beroperasi tidak jauh dari normal karena aktivitas pengirman melalui darat tetap beroperasi, kecuali di negara-negara yang menerapkan lockdown ketat. Di tengah pandemi, permintaan untuk transportasi darat cenderung stabil dan justru mengalami peningkatan. Hal ini didorong oleh adanya urgensi untuk pengiriman makanan dan pasokan medis. Namun, kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat dari pemerintah membuat ketersediaan karyawan perusahaan angkutan menjadi menjadi berkurang dan kapasitas pengiriman menjadi terbatas. Oleh karenanya, kebanyakan perusahaan menetapkan tarif yang tinggi untuk pengirimannya (Twin, et al., 2020).
Dari sisi rantai pasok, industri menghadapi gangguan dari internalitas dan eksternalitas turbulensi pasar, dan ketidakpastian logistik dari pergerakan produk melalui darat, udara, dan laut (TL & OY, 2020) mengakibatkan berkurangnya pemanfaatan kapasitas. Ini menghambat kegiatan utama, seperti pengadaan bahan baku, dan impor/ekspor komponen utama. Pembatasan pergerakan barang, jasa, dan tenaga kerja, dalam beberapa kasus, menghentikan produksi. Masalah lainnya adalah masalah seperti pembatalan penerbangan, yang juga mengakibatkan kenaikan biaya pengiriman dan pengangkutan, dan waktu tunggu yang lebih lama karena terbatasnya transportasi darat dan peningkatan pemeriksaan komoditas (Kapoor dkk., 2021).
Manufaktur yang paling terdampak adalah yang sangat bergantung pada rantai pasokan global, tenaga kerja internasional, dan operasi intensif ekspor. Masalah menjadi lebih buruk bagi produsen yang belum melakukan diversifikasi pemasok mereka dan yang mengandalkan pemasok asing berbiaya rendah untuk menghindari pemasok regional yang mahal. Yang juga terkena dampak adalah produsen yang hanya memperhitungkan pemasok langsung mereka, tanpa memantau status pemasok tingkat bawah mereka. Guncangan sisi penawaran, dengan demikian, menjadi tak terelakkan, menghasilkan gejolak ekonomi yang tidak diinginkan di sisi permintaan, juga tercermin dalam penurunan pendapatan dan tabungan yang dapat dibelanjakan.
Supply Chain Efficiency Vs Supply Chain Resilience
Sebelum pandemic Covid-19 terjadi, banyak perusahaan yang lebih memfokuskan penciptaan keunggulan kompetitif melalui supply chain efficiency, namun mengesampingkan aspek resilience dari perusahannya. Setelah pandemic Covid-19 terjadi, fokus perusahaan bergeser dari efisiensi ke ketahanan atau resilience. Tujuan dari banyak perusahaan saat ini adalah untuk menjadi gesit, fleksibel, kolaboratif, prediktif, dan fokus pada pengembangan jaringan (Deloitte, 2022).
Supply chain efficiency adalah pengukuran seberapa efektif suatu perusahaan dalam mengelola sumber daya untuk proses penciptaan produknya mulai dari pembelian bahan baku, produksi dan pengiriman produk jadi ke tangan konsumen dengan biaya seminimal mungkin. Konsep Supply chain efficiency ini penting bagi perusahaan, karena dapat menciptakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan melalui efisiensi waktu dan sumber daya, yang pada akhirnya lead time pesanan yang lebih singkat, manajemen inventaris yang lebih baik, dan pengiriman yang lebih cepat (Jenkins, 2022). Supply chain Resilience adalah kemampuan suatu rantai pasokan untuk beradaptasi terhadap kejadian yang tidak terduga, yang dapat menimbulkan perubahan pada rantai pasokan, serta untuk merespon dan memulihkan kondisi rantai pasokan ke fase normal (Aguila & ElMaraghy, 2019). Berikut perbedaan antara efficient dan resilient supply chain ditunjukkan pada gambar 1.
Perbedaan antara supply chain efficiency dan supply chain resilience ini penting untuk dipahami pelaku logistik dan rantai pasok. Hal tersebut dapat membantu pemangku logistik dan rantai pasok untuk menentukan visi perusahaannya dan merancang peforma kinerja perusahaan yang tepat sasaran.
Supply Chain Resilience
Ketidakpastian dalam rantai pasokan global akibat faktor-faktor seperti bencana alam, perang, ketidakpastian permintaan dan pasokan serta mikroekonomi dan makroekonomi, mendorong banyak peneliti untuk melakukan studi mengenai bagaimana rantai pasokan dapat lebih efektif beradaptasi dengan perubahan. Hal tersebut yang memicu munculnya istilah “Supply Chain Resilience” yang merupakan pengembangan dari berbagai bidang ilmu, termasuk ekologi, psikologi, sosiologi, manajemen risiko, dan teori jaringan.Istilah ini sebenarnya dikenal jauh sebelum pandemi Covid-19 namun marak dibicarakan pada masa pandemi dan setelah pandemi, karena dianggap sebagai aspek kritis dalam keberlangsungan perusahaan.
Studi pertama tentang supply chain resilience dimulai di Inggris, setelah gangguan transportasi akibat protes bahan bakar pada tahun 2000 dan wabah Penyakit mulut dan kuku pada awal tahun 2001. Studi ini mengeksplorasi basis pengetahuan industri Inggris tentang kerentanan rantai pasokan dan menemukan bahwa: (1) kerentanan rantai pasokan adalah masalah bisnis yang penting, (2) sedikit penelitian tentang kerentanan rantai pasokan, (3) kesadaran akan subjeknya rendah, dan (4) diperlukan metodologi untuk mengelola kerentanan rantai pasokan. Setelah studi ini dipublikasikan, banyak studi lainnya yang mulai membahas mengenai pentingnya resilience atau ketahanan di bidang rantai pasokan (Pettit dkk., 2010).
Menurut studi dari Pettit dkk. (2010), supply chain resilience terdiri dari dua komponen penting yaitu capabailities dan vulnerabilities. Capabilities adalah atribut yang diperlukan untuk kinerja atau prestasi. Supply capabilities adalah atribut yang memungkinkan perusahaan untuk mengantisipasi dan mengatasi gangguan. Atribut ini dapat mencegah gangguan yang mungkin akan berdampak pada keberlangsungan rantai pasok. Beberapa faktor yang menentukan kapabilitas perusahan yaitu:
- Fleksibilitas pasokan – Kemampuan untuk dengan cepat mengubah input atau mode menerima input.
- Fleksibiltas pemenuhan order – Kemampuan untuk dengan cepat mengubah output atau mode penyampaian output.
- Kapasitas – Ketersediaan aset untuk memungkinkan tingkat produksi yang berkelanjutan.
- Efisiensi – Kemampuan untuk menghasilkan output dengan kebutuhan sumber daya minimum
- Visibilitas – Pengetahuan tentang status aset operasi dan lingkungan
- Adaptibilitas – Kemampuan untuk memodifikasi operasi dalam menanggapi tantangan atau peluang
- Antisipasi – Kemampuan untuk membedakan potensi peristiwa atau situasi di masa depan
- Pemulihan – Kemampuan untuk kembali ke keadaan operasional normal dengan cepat
- Penyebaran – Perluasan distribusi atau desentralisasi aset
- Kolaborasi – Kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan entitas lain untuk saling menguntungkan
- Organisasi – Struktur sumber daya manusia, kebijakan, keterampilan dan budaya
- Posisi pasar – Status perusahaan atau produknya di pasar tertentu
- Keamanan – Pertahanan terhadap penyusupan atau serangan yang disengaja
- Kekuatan finansial – Kapasitas untuk menyerap fluktuasi arus kas
Komponen Vulnerabilities pada supply chain resilience adalah faktor fundamental yang membuat perusahaan rentan terhadap gangguan. Berikut adalah beberapa faktor yang memengaruhi Vulnerabilities (Pettit dkk., 2010):
- Turbulensi – kerentanan yang terjadi karena perubahan faktor eksternal yang sering terjadi di luar kendali akibat dari faktor lingkungan yang berubah-ubah.
- Ancaman yang disengaja – Serangan yang disengaja yang ditujukan untuk mengganggu operasi atau menyebabkan kerugian manusia atau finansial.
- Tekanan eksternal – Pengaruh, tidak secara khusus menargetkan perusahaan, yang menciptakan batasan atau hambatan bisnis.
- Keterbatasan sumber daya – Pembatasan output berdasarkan ketersediaan faktor produksi.
- Sensitivitas – Pentingnya kondisi yang dikontrol dengan hati-hati untuk integritas produk dan proses.
- Konektivitas – Tingkat saling ketergantungan pada entitas luar.
- Disrupsi pemasok/disrupsi – Kerentanan pemasok dan pelanggan terhadap dorongan atau gangguan eksternal.
Membangun Supply Chain Resilience
Supply chain resilience dapat diwujudkan melalui beberapa langkah penting yang berkelanjutan yaitu:
- Mengetahui “current state” atau keadaan perusahaan saat ini baik dari aspek pemasaran, operasional, sumber daya, dan keuangan. Analisis ini diperlukan untuk mengidentifikasi kapabilitas dan kerentanan perusahaan. Misalnya, jika seorang manajer mengidentifikasi Konektivitas sebagai kerentanan utama, kemampuan atau kapabilitas apa yang terbaik untuk melindungi perusahaan dari risiko ini? (Petit dkk., 2013)
- Menciptakan diversifikasi. Memiliki jaringan mitra yang beragam meminimasi kerentanan disrupsi rantai pasok karena Ketika satu saluran ditutup, dapat dialihkan ke saluran alternatif lainnya. Contoh penerapan diversifikasi ini adalah diversifikasi pemasok dan diversifikasi jaringan (W2G, 2022)
- Membangun fleksibilitas. Fleksibilitas adalah kunci ketahanan, dan dapat dibangun di setiap mata rantai rantai pasokan. Penciptaan fleksibilitas dapat diterapkan pada aspek fleksibilitas warehouse agreement dan fleksibilitas transportasi. Perjanjian penyimpanan jangka panjang dengan volume terjamin mencipakan dua pilihan: membatasi potensi penjualan berdasarkan ruang penyimpanan atau mengunci tarif pada volume puncak dan mengurangi profitabilitas penjualan. Mitra pergudangan dan pemenuhan yang fleksibel akan memungkinkan dilakukannya pengskalaan ruang gudang dan tenaga kerja berdasarkan permintaan (W2G, 2022).
- Manajemen persediaan yang tepat. Supply chain shortage di awal pandemi menyebabkan banyak retailer beralih dari model pengadaan Just in Time (JIT) ke model Just in Case (JIC). JIC adalah strategi persediaan di mana perusahaan menyimpan persediaan dalam jumlah besar, yang bertujuan untuk meminimalkan kemungkinan produk akan habis terjual. Faktanya, banyak bisnis berakhir dengan persediaan yang melimpah, yang menyebabkan terjadinya diskon besar-besaran dan menurunkan profitabilitas. Untuk menghindari hal tersebut, sekarang banyak perusahaan memprioritaskan kecepatan penjualan dan profitabilitas dalam manajemen persediaan. Hal ini berarti mempersempit katalog SKU dan berfokus pada produk pendorong pendapatan teratas untuk bisnis mereka (W2G, 2022).
7 April 2023
Referensi:
- Jenkins, A. (2022). Supply Chain Efficiency: Definitions, Metrics and Steps to Improve. Retrieved from Oracle NetSuite: https://www.netsuite.com/portal/resource/articles/inventory-management/supply-chain-efficiency.shtml
- Aguila, J. O., & ElMaraghy, W. (2019). Supply Chain Resilience and Structure. Procedia manufacturing, 43-50.
- Deloitte. (2022). Supply Chain Resilience. Denmark: Deloitte Denmark.
- Nainggolan, E. U. (2020). Kebijakan Fiskal dan Moneter Mengahadapi Dampak Covid-19. Retrieved from Kementerian Keuangan Republik Indonesia: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/ artikel/baca/13017/Kebijakan-Fiskal-dan-Moneter-Mengadapi-Dampak-Covid-19.html
- Bank Indonesia. (2020). Laporan Perekonomian Indonesia 2020. Jakarta: Bank Indonesia.
- Twin, I., Qureshi, N., Conde, M. L., Guinea, C. G., Rojas, D. P., Luo, J., & Gupta, H. (2020). The Impact of COVID-19 on Logistics. International Finance Corporation.
- TL, K., & OY, H. (2020). Configure-to-Order (CTO) production through lean initiatives: Manufacturing delivery in COVID-19 pandemic milieu. European Journal of Molecular & Clinical Medicine, 494-505.
- Kapoor, K., Bigdeli, A. Z., Dwivedi, Y. K., & Raman, R. (2021). How is COVID-19 altering the manufacturing landscape? A literature review of imminent challenges and management interventions. PubMed Central, 1-33.
- Prayogo, D., & Sukim. (2021). Determinan Daya Beli Masyarakat Indonesia Selama Pandemi Covid-19 Tahun 2000. Seminar Nasional Official Statistics, 631-640.
- Pettit, T. J., Fiksel, J., & Croxton, K. L. (2010). Ensuring Supply Chain Resilience: Development of A Conceptual Framework. Journal of Business Logistics, 1-20.
- Petit, T. J., Croxton, K. L., & Fiksel, J. (2013). Ensuring Supply Chain Resilience : Development and Implementation of an Assessment Tool. Journal of Business Logistics, 46-76.
- W2G. (2022). Top Four Strategies for Supply Chain Resilience. Retrieved from ware2go: https://ware2go.co/supply-chain-resilience/
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Pelajaran dari Pandemi Covid-19 dan Supply Chain Resilience (1.1 MiB, 362 hits)