Oleh: Setijadi | Chairman Supply Chain Indonesia
Supply Chain Indonesia (SCI) memberikan apresiasi atas penyelenggaraan transportasi mudik dan balik dalam masa Idul Fitri tahun 2018 yang secara umum lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya.
Berdasarkan analisis SCI, kelancaran transportasi tersebut terjadi terutama karena dua faktor penting, yaitu hasil pembangunan infrastruktur, khususnya Tol Trans Jawa, dan koordinasi antar kementerian dan instansi pemerintah yang baik.
Namun demikian, kelancaran tersebut juga diperoleh dengan pembatasan operasional armada barang melalui beberapa peraturan.
Pertama, Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. PM 34 Tahun 2018 tentang Pengaturan Lalu Lintas pada Masa Angkutan Lebaran Tahun 2018. Permenhub yang ditetapkan pada tanggal 20 April dan diundangkan pada 26 April 2018 itu itu menetapkan pengaturan lalu lintas, melalui pembatasan operasional mobil barang dan penutupan Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB).
Pembatasan operasional mobil barang tersebut meliputi: [a] mobil barang dengan Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) lebih dari 14.000 kg, mobil barang dengan sumbu 3 atau lebih, dan mobil barang dengan kereta tempelan atau kereta gandengan; dan [b] mobil barang yang digunakan untuk pengangkutan bahan galian, bahan tambang, dan bahan bangunan meliputi: besi, semen, dan kayu.
Pembatasan operasional tidak berlaku bagi mobil barang pengangkut: Bahan Bakar Minyak (BBM) atau Bahan Bakar Gas (BBG), ternak, hantaran pos dan uang, pangan pokok (beras, terigu, jagung, gula, sayur dan buah-buahan, daging, ikan, minyak sayur, susu, telur, garam, kedelai, bawang merah, cabe, dan daging ayam ras), dan sepeda motor dalam rangka mudik dan balik gratis angkutan lebaran.
Pembatasan operasional mobil barang tersebut berlaku di ruas jalan tol dan ruas jalan nasional pada 12 Juni pkl. 00.00 WIB s.d. 14 Juni 2018 pkl. 24.00 WIB dan 22 Juni pkl. 00.00 WIB s.d. 24 Juni 2018 pkl. 24.00 WIB.
Ruas jalan tol yang dimaksud meliputi: Jakarta-Merak; Jakarta-Cikampek-Palimanan-Kanci-Pejagan-Pemalang-Batang-Semarang; Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi); Semarang Seksi A (Krapyak -Jatingaleh), Seksi B (Jatingaleh – Srondol), dan Seksi C (Jatingaleh – Muktiharjo); Semarang-Salatiga; Prof. Soedyatmo; Surabaya-Mojokerto; Jakarta Outer Ring Road (JORR); dan Jakarta-Bogor-Ciawi-Cigombong.
Ruas jalan nasional yang dimaksud meliputi: Pandaan-Malang, Probolinggo-Lumajang, Denpasar-Gilimanuk, dan Jombang-Caruban.
Kedua, surat Menteri Perhubungan No. AJ.201/1/24 PHB 2018 tanggal 5 Juni 2018 perihal Antisipasi Peningkatan Volume Lalu Lintas di Ruas Jalan Tol tanggal 8-9 Juni 2018.
Surat itu dikeluarkan berkaitan dengan pergeseran prediksi puncak arus mudik menjadi tanggal 8-9 Juni 2018. Transporter (pengemudi mobil angkutan barang) dihimbau untuk tidak melintasi ruas jalan Tol Jakarta-Cikampek (dua arah) dan Tol Jakarta-Merak (dua arah) pada 8 Juni 2018 pukul 18.00 WIB s.d. 9 Juni 2018 pukul 24.00 WIB dan dapat melintasi ruas jalan arteri nasional.
Ketiga, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan mengeluarkan surat No. AJ.201/2/15/DRJD/2018 tanggal 15 Juni 2018 perihal Antisipasi Peningkatan Volume Lalu Lintas di Ruas Jalan Tol tanggal 19-20 Juni 2018.
Surat itu dikeluarkan berkaitan dengan pergeseran prediksi puncak arus balik menjadi tanggal 19-20 Juni 2018. Transporter (pengemudi mobil angkutan barang) dihimbau untuk tidak melintasi ruas jalan Tol Jakarta-Cikampek (dua arah) dan Tol Jakarta-Merak (dua arah) pada 19 Juni 2018 pukul 12.00 WIB s.d. 20 Juni 2018 pukul 24.00 WIB dan dapat melintasi ruas jalan arteri nasional.
Khusus untuk Provinsi Jawa Barat, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat (Dishub Jabar) pada 28 Mei 2018 mengeluarkan surat No. 551.6/959/Perkeretaapian perihal Penghentian Pengoperasian Kendaraan Angkutan Barang pada saat Libur Panjang Hari Raya Idul Fitri Tahun 2018/1439H. Surat ditujukan kepada Para Kepala Dinas Perhubungan/LLAJ Kabupaten dan Kota se-Jawa Barat dan DPD Organda Jawa Barat.
Dishub Jabar mengeluarkan kebijakan yang berbeda dengan pertimbangan kondisi wilayah Jabar yang merupakan perlintasan dan tujuan arus mudik dan balik angkutan lebaran. Melalui surat itu, dihimbau penghentian pengoperasian angkutan barang dari 8 Juni (H-7) pkl. 00.00 WIB s.d. 23 Juni 2018 (H+7) pkl. 24.00 WIB.
Selain mempertimbangkan perkiraan waktu puncak arus mudik, kebijakan juga dengan pertimbangan terjadi kemacetan di sejumlah titik lokasi ruas jalan karena banyaknya pergerakan kendaraan angkutan barang di atas sumbu 2 dengan kecepatan sangat rendah.
Selain peraturan dari Kementerian Perhubungan, kebijakan tambahan dari Dishub Jabar berpotensi mengganggu kegiatan pengiriman domestik maupun ekspor dan impor nasional, karena sebagian besar volume ekspor dan impor dari Pelabuhan Tanjung Priok adalah untuk industri di wilayah Jawa Barat.
Berdasarkan data Supply Chain Indonesia (SCI), sekitar 79% volume ekspor dan 84% volume impor dari Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 2016 dari Jawa Barat. Sebaran volume ekspor Jabar adalah: Bogor (4%), Bekasi (32%), Karawang (29%), Purwakarta (8%), dan Bandung (6%). Sementara, sebaran volume impor Jawa Barat dari: Bogor (10%), Bekasi (23%), Karawang (36%), Purwakarta (9%), dan Bandung (6%).
Jika armada tidak bisa beroperasi, program pelayanan pelabuhan yang tetap buka dalam masa libur Idul Fitri pun menjadi percuma.
Persoalan lain muncul karena implementasi di lapangan yang berbeda dari peraturannya. Pada 8 Juni 2018, misalnya, polisi mengandangkan belasan armada pengangkut barang yang melalui jalur mudik selatan Kabupaten Garut, Jawa Barat, dengan pertimbangan untuk menjaga kelancaran lalu lintas.
Selain itu, peraturan atau surat edaran yang bersifat himbauan bisa menimbulkan perbedaan pendapat. Di samping dengan perusahaan transportasi dan para sopir, perbedaan pendapat bisa terjadi antara petugas Kementerian Perhubungan atau Dinas Perhubungan setempat dan aparat Kepolisian di lapangan.
Armada barang bersumbu tiga atau lebih yang dilarang melalui jalan tol memang masih bisa dan disarankan melalui jalan arteri. Namun, perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah atau kawasan industri yang aksesnya terbatas hanya melalui jalan tol tentu terkendala.
Selain itu, kondisi jalan arteri nasional juga kurang mendukung untuk dilalui truk-truk besar. Kemacetan di jalan itu sering kali terjadi, termasuk karena keberadaan pasar-pasar tradisional/tumpah.
Beberapa peraturan pembatasan operasional armada dikeluarkan kurang dari 2 bulan sebelum masa pemberlakuan. Namun, surat antisipasi arus mudik dan balik masing-masing diterbitkan sangat mendadak, yaitu 3 dan 4 hari sebelumnya.
Penerbitan peraturan yang relatif mendadak akan berdampak signifikan tidak hanya pada perusahaan transportasi yang sudah mengatur jadwal armada, namun juga perusahaan manufaktur, distributor, maupun pengecer.
Industri manufaktur, misalnya, sudah menentukan tingkat persediaan (stok) dengan rencana pengiriman/transportasi bahan baku mengacu peraturan pembatasan operasional armada sebelumnya.
Perusahaan tidak mudah mengubah rencananya, sehingga penundaan penerimaan bahan baku dapat mengganggu proses produksinya.
Selain itu, pengiriman produk jadi juga tertunda, sehingga persediaan produk akan menumpuk dan membutuhkan tambahan gudang. Hal ini sangat menyulitkan perusahaan yang harus melalui tol karena tidak memiliki akses langsung ke jalan arteri.
Peraturan pembatasan operasional armada barang harus ditetapkan jauh hari sebelumnya karena waktu dan jarak perjalanan sebagian armada yang lama.
Perusahaan transportasi termasuk pihak yang paling banyak menanggung kerugian. Dengan pembatasan operasional armada tersebut, perusahaan tidak bisa mengoperasikan armada selama 2 minggu.
Hal ini berarti tidak ada pendapatan selama 2 minggu tersebut, sementara perusahaan tetap harus mengeluarkan biaya-biaya tetap, termasuk biaya cicilan armada.
Rekomendasi Perbaikan
SCI merekomendasikan tujuh upaya perbaikan sebagai berikut:
Pertama, peraturan kebijakan pembatasan operasional armada barang ditetapkan secara pasti jauh hari sebelumnya, yaitu pada awal tahun atau akhir tahun sebelumnya. Sebelumnya, Pemerintah harus menetapkan kalender nasional secara pasti sebagai acuan penetapan waktu-waktu pembatasan operasional, baik untuk masa Idul Fitri, maupun hari libur keagamaan/nasional lainnya.
Kedua, ketegasan sifat peraturan, apakah himbauan atau larangan. Himbauan semestinya bersifat tidak memaksa, sehingga tidak ada sanksi hukumnya. Namun, hal ini menjadi tidak pasti dan berpotensi membuka peluang penyimpangan di lapangan.
Ketiga, sinkronisasi peraturan antara Kemenhub dan Dishub, serta penyelenggara jalan tol.
Keempat, perancangan dan penegakan peraturan yang fokus terhadap batas kecepatan minimal armada, sehingga tidak menyamaratakan ketentuan berdasarkan JBI dan sumbu.
Kelima, revitalisasi jalan arteri (sebagai alternatif selain jalan tol), terutama pada titik-titik kemacetan, termasuk pasar tradisional.
Keenam, pengembangan transportasi multimoda untuk mengurangi ketergantungan terhadap transportasi jalan dan mengalihkan sebagian volume pengiriman barang ke moda transportasi kereta api dan laut.
Diperlukan political will dari pemerintah untuk membangun dan meningkatkan aksesibilitas kereta api ke pelabuhan dan merevitalisasi peranan sejumlah container yard (CY) yang terhubung dengan rel kereta api.
Ketujuh, melanjutkan program mudik yang diselenggarakan oleh berbagai pihak (kementerian dan perusahaan BUMN/swasta). Secara khusus, perlu dilanjutkan keberhasilan Kemenhub dan perusahaan-perusahaan BUMN menyelenggarakan program mudik dengan kapal laut.
Bandung, 24 Juni 2018
Setijadi
Chairman | Supply Chain Indonesia
E-mail : setijadi@SupplyChainIndonesia.com
www.SupplyChainIndonesia.com
Download Catatan ini: Catatan SCI - Catatan & Rekomendasi Pengaturan Transportasi Barang Dalam Masa Idul Fitri (603.2 KiB, 155 hits)