
Oleh: Setijadi, S.T., M.T., I.P.U., ASEAN Eng., CSCM.
CEO
Supply Chain Indonesia
Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal sebagai bagian dari strategi “Liberation Day” yang menandai penataan ulang sistem perdagangan global. Kebijakan ini bukan hanya sebagai bentuk reaksi terhadap ketidakseimbangan perdagangan, melainkan bagian dari doktrin geopolitik yang lebih besar untuk mengaitkan akses pasar Amerika Serikat (AS) dengan komitmen terhadap pertahanan, reformasi ekonomi, dan revaluasi mata uang.
Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan tarif resiprokal tinggi (32%), menempati peringkat ke-15 dalam daftar mitra dagang dengan defisit neraca perdagangan tertinggi terhadap AS yaitu sebesar USD 17,883 juta pada 2024 (DEN, 2025). Meskipun Indonesia tidak dikategorikan sebagai “lawan strategis” seperti China atau Rusia, dengan posisi sebagai “conditional swing state”, kebijakan ekonomi Indonesia kini berada dalam radar Washington.
Komoditas ekspor utama Indonesia yang terkena tarif tinggi meliputi:
- Produk tekstil dan pakaian jadi (HS 6110, 62, 64)
- Karet dan produk turunannya (HS 4001, 4011)
- Elektronik rendah dan alat komunikasi (HS 8517, 8543)
- Kelapa sawit dan produk olahannya (HS 1511)
- Produk perikanan seperti udang (HS 0306, 1605)
Ekspor produk-produk tersebut ke AS mencapai sekitar USD 6,5 miliar atau lebih dari 20% dari total ekspor Indonesia ke AS (Dewan Ekonomi Nasional (DEN), 2025). Tarif yang tinggi pada komoditas padat karya ini berpotensi menekan kinerja industri domestik, menurunkan utilisasi pelabuhan, dan memperbesar risiko PHK.
Selain itu, berdasarkan data dari Biro Sensus AS, total perdagangan barang antara AS dan Indonesia pada tahun 2024 mencapai USD 38,3 miliar. Ekspor AS ke Indonesia sebesar USD 10,2 miliar, sementara impor dari Indonesia mencapai $28,1 miliar, menghasilkan defisit perdagangan bagi AS sebesar USD 17,9 miliar (U.S. Census Bureau, 2025).
Perbandingan Tarif dan Hambatan Non-Tarif
Data dari DEN tahun 2025 menunjukkan adanya ketimpangan dalam perlakuan tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat. Tarif rata-rata berbobot (weighted average) yang dikenakan Indonesia terhadap produk asal AS tercatat sebesar 4,18%, jauh lebih rendah dibandingkan tarif yang diberlakukan AS terhadap produk asal Indonesia yang mencapai 8,56%. Ketimpangan ini menjadi salah satu dasar penetapan tarif resiprokal oleh AS, yang menuntut adanya “kesetaraan” dalam perlakuan perdagangan antar negara mitra.
Namun, penilaian AS tidak berhenti pada tarif semata. Dalam formulasi kebijakan tarif resiprokal terbaru, Washington juga memperhitungkan berbagai hambatan non-tarif (Non-Tariff Measures/NTMs) yang diberlakukan di negara mitra dagangnya. Dalam konteks Indonesia, terdapat sejumlah NTM yang dianggap memberatkan dan menjadi perhatian utama Pemerintah AS, seperti:
- Perizinan impor (lartas): Prosedur yang kompleks dan kuota terbatas untuk berbagai produk, termasuk komoditas utama ekspor AS ke Indonesia.
- Kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN): Membatasi ruang masuk bagi produk asing, terutama pada sektor teknologi, alat kesehatan, dan energi.
- Ketentuan devisa hasil ekspor (DHE): Kewajiban repatriasi yang dianggap mengganggu arus kas perusahaan multinasional.
Sebagai dampaknya, skor prevalensi NTMs Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Berdasarkan pemeringkatan oleh Dezan (2025), Indonesia menempati posisi ke-4 tertinggi dalam indeks prevalensi hambatan non-tarif di kawasan, hanya di bawah Kamboja, India, dan Vietnam.
Ketimpangan antara tarif dan NTM ini memperkuat persepsi di kalangan pembuat kebijakan AS bahwa Indonesia memberikan perlakuan yang tidak setara bagi produk dan pelaku usaha asal Amerika. Hal ini secara langsung berkontribusi terhadap keputusan untuk menetapkan tarif tambahan terhadap ekspor Indonesia sebagai bagian dari kebijakan “tarif resiprokal” yang dicanangkan Presiden Trump. Oleh karena itu, jika Indonesia ingin meredam tekanan dari kebijakan tersebut, reformasi terhadap hambatan non-tarif menjadi salah satu langkah strategis yang perlu segera diprioritaskan.
Risiko dan Dampak pada Sektor Logistik dan Investasi
Penerapan tarif tinggi oleh AS diperkirakan akan memberikan dampak signifikan pada rantai pasok global dan mendorong perusahaan multinasional untuk mengevaluasi ulang lokasi produksi mereka. Negara-negara seperti Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Malaysia, yang sebelumnya menjadi tujuan utama relokasi manufaktur dari China, kini menghadapi tarif tambahan yang substansial dari AS. Sebagai contoh, Vietnam dikenakan tarif sebesar 46%, sementara Thailand menghadapi tarif 37% (Guarascio & Sriring, 2025).
Situasi ini membuka peluang bagi negara lain, termasuk Indonesia, untuk menarik investasi yang dialihkan dari negara-negara yang terkena tarif tinggi. Indonesia memiliki beberapa keunggulan kompetitif, seperti biaya tenaga kerja yang relatif rendah, populasi lebih dari 268 juta jiwa, Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari USD 1 triliun, kelas menengah yang berkembang, dan ekonomi yang stabil.
Namun, untuk memanfaatkan peluang ini secara efektif, Indonesia perlu meningkatkan iklim investasinya. Pemerintah telah menetapkan target investasi sebesar IDR 1.905 triliun (sekitar USD 119 miliar) untuk tahun 2025, dengan fokus pada sektor manufaktur, jasa, pariwisata, ekonomi digital, dan energi terbarukan (Deradjat dkk., 2025).
Jika Indonesia gagal mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan daya tarik investasinya, negara ini berisiko kehilangan peluang investasi yang signifikan. Pada periode sebelumnya, Indonesia hanya menerima sebagian kecil dari potensi relokasi global, kalah bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam dan Meksiko yang menawarkan kombinasi insentif fiskal, efisiensi birokrasi, dan perjanjian dagang yang lebih menguntungkan.
Oleh karena itu, diperlukan reformasi struktural yang mencakup penyederhanaan regulasi, peningkatan infrastruktur, dan pemberian insentif fiskal yang menarik untuk memastikan bahwa Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini dan memperkuat posisinya dalam rantai pasok global.
Langkah Antisipatif Pemerintah Indonesia
Sebagai respons terhadap kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, pemerintah Indonesia mengambil sejumlah langkah antisipatif yang bersifat diplomatis sekaligus struktural. Pendekatan ini bertujuan untuk meredam dampak langsung terhadap sektor ekspor dan menjaga hubungan dagang bilateral agar tetap kondusif, sekaligus membuka ruang negosiasi yang dapat mengarah pada pelonggaran tarif.
- Konsesi Perdagangan untuk AS
Pemerintah Indonesia telah mengumumkan paket konsesi perdagangan yang ditujukan secara spesifik untuk merespons kekhawatiran dari pihak AS. Langkah-langkah utama yang diambil antara lain:
a. Penurunan Tarif Impor Produk Strategis dari AS:
Pemerintah menurunkan tarif impor terhadap sejumlah komoditas asal AS, terutama yang memiliki nilai strategis tinggi dalam hubungan perdagangan bilateral. Barang-barang tersebut mencakup:
– Barang elektronik
– Produk baja dan logam industri
– Komoditas pertambangan
– Alat kesehatan dan teknologi medis
Tarif untuk kelompok produk tersebut kini diturunkan ke kisaran 0–5%, dari sebelumnya berada di rentang 5–10%. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan sinyal positif kepada AS bahwa Indonesia bersedia memberikan perlakuan yang lebih setara dalam perdagangan dua arah.
b. Peningkatan Impor Komoditas Energi dan Pertanian dari AS:
Dalam upaya mengurangi defisit neraca perdagangan AS terhadap Indonesia, pemerintah Indonesia juga merencanakan peningkatan impor atas beberapa komoditas utama asal AS, antara lain:
– Gas petroleum cair (LPG)
– Gas alam cair (LNG)
– Kedelai
Komoditas ini dipilih tidak hanya karena nilainya dalam perdagangan, tetapi juga karena relevansinya terhadap kebutuhan dalam negeri dan kestabilan harga pangan dan energi nasional. - Diplomasi Ekonomi Tingkat Tinggi
Sebagai bagian dari strategi negosiasi lanjutan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dijadwalkan memimpin delegasi tingkat tinggi ke Washington, D.C. Pertemuan tersebut dirancang untuk membuka kembali jalur dialog strategis dengan tokoh-tokoh kunci pemerintahan AS.
Fokus utama dari kunjungan diplomatik ini adalah mendorong peninjauan ulang tarif yang dikenakan kepada Indonesia serta menyampaikan langkah-langkah konkret yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk menurunkan hambatan tarif dan non-tarif secara timbal balik.
Penutup
Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh AS menuntut respons strategis dari Indonesia untuk melindungi kepentingan ekonominya. Langkah-langkah seperti penyesuaian tarif impor, peningkatan impor dari AS, dan negosiasi diplomatik merupakan upaya untuk memitigasi dampak negatif dan mencari peluang di tengah tantangan perdagangan global.
Referensi
Dewan Ekonomi Nasional Republik Indonesia (2025). Rekomendasi Antisipasi Pengumuman Resiprokal Tarif AS. Retreived: 2 April 2025
Guarascio, F., & Sriring, O. (2025, April 3). Southeast Asian nations, among hardest-hit by Trump tariffs, seek talks. Reuters. https://www.reuters.com/world/asia-pacific/southeast-asia-nations-hit-particularly-hard-by-us-tariffs-prep-talks-with-trump-2025-04-03/
Deradjat, A. A., Reerink, G., & Dharma, A. (2025, January 16). Investing In… 2025: Indonesia – Trends and Developments. Chambers and Partners. https://practiceguides.chambers.com/practice-guides/investing-in-2025/indonesia/trends-and-developments
U.S. Census Bureau. (2025). Trade in goods with Indonesia. https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c5600.html
*****
14 April 2025
Setijadi
CEO
Supply Chain Indonesia
E-mail: setijadi@SupplyChainIndonesia.com
www.SupplyChainIndonesia.com
Download catatan ini:
Catatan SCI - Dampak Kebijakan Tarif Resiprokal Trump terhadap Ekonomi dan Logistik Indonesia (219.0 KiB, 0 hits)
You must be logged in to post a comment.