Oleh: Zulfi Mutiara Nagita, S.T.
Mahasiswi Program Magister
Teknik dan Manajemen Industri
Institut Teknologi Bandung
Pelabuhan merupakan tempat pemberhentian (terminal) kapal setelah melakukan pelayaran dan sebuah simpul penting dalam lalu lintas yang menghubungkan antara daratan dan lautan. Selain itu, pelabuhan juga berperan dalam berbagai macam arus muatan perdagagnan (Triatmodjo, 2009). Menurut Lasse (2014), pelabuhan dapat diartikan sebagai tempat kapal berlabuh (anchorage), mengolah gerak (maneuver), dan bertambat (berthing) untuk melakukan kegiatan menaik dan atau menurunkan penumpang dan barang secara aman (securely) dan selamat (safe).
Hal tersebut diperkuat oleh International Maritime Organization (IMO) yang menyatakan lebih dari 90% perdagangan dunia secara fisik dikirim lewat jalur laut dengan melibatkan pelabuhan sebagai prasarana logistik. Menurut Raa et al. (2011) yang dikutip dari laporan Drewry Shipping Consultants (2007, 2008) dikatakan bahwa pengiriman barang menggunakan petikemas pada tahun 2000 sebesar 69,9 juta TEUs dan tahun 2007 mencapai 141,2 juta TEUs atau mengalami peningkatan sebesar dua kali lipat (Raa et al., 2011).
Peningkatan pengiriman barang tersebut berpengaruh langsung terhadap peningkatan penggunaan petikemas (Budipriyanto, 2018). Berdasarkan data dari (UNCTAD, 2015) penggunaan petikemastahun 2014 mencapai 171 juta TEUS. Penggunaan petikemastahun 2007-2014 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 9% per tahun (UNCTAD, 2015). Tingginya jumlah barang yang dikirim melalui transportasi laut menunjukkan bahwa peran pelabuhan bukan lagi hanya sebagai komponen integral dari sistem transportasi, tetapi juga merupakan sub-sistem utama dari sistem produksi dan logistik (Budipriyanto, 2018).
Pentingnya jasa transportasi tercermin pada sarana dan prasarana dalam menunjang distribusi sehingga dapat memperlancar arus barang. Pengembangan infrastruktur pelabuhan merupakan salah satu faktor yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Untuk meningkatkan daya saing tersebut dapat dilakukan salah satunya adalah dengan menyediakan dan meningkatkan fasilitas yang ada di pelabuhan.
Terminal petikemas adalah salah satu fasilitas yang dapat menunjang kegiatan distribusi barang di pelabuhan dan memegang peranan yang sangat penting untuk menunjang kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan, penanganan bongkar muat barang merupakan tolak ukur dari produktifitas kerja pada perusahaan bongkar muat dan juga menunjukkan tinggi rendahnya pendapatan dari kegiatan bongkar muat itu sendiri. Terminal petikemas memiliki fungsi dan peran sebagai konsolidator antar moda transportasi (Song & Panayides, 2008).
Menurut Supriyono (2010), terminal petikemas merupakan pertemuan antara angkutan laut dan angkutan darat yang menganut sistem utilisasi (Unition of Cargo System), dan petikemas sebagai wadah atau gudang, alat angkut yang dilayani oleh terminal atau pelabuhan petikemas. Lebih lanjut dijelaskan oleh Zhang dkk (2003) bahwa pelabuhan secara umum, begitu juga dengan terminal petikemas, secara spesifik, melibatkan kegiatan pengelolaan operasional baik pada quayside atau seaside (sisi laut; contoh: dermaga) dan landside (sisi darat; contoh: lapangan penumpukan) terkait dengan transportasi atau pemindahan barang. Menurut Danendra (2020) Umumnya, kedua permasalahan tersebut saling berhubungan pada perencanaan operasional seaside di sebuah terminal. Pada sisi landside, terminal mempunyai lapangan penumpukan yang diperuntukkan sebagai tempat penyimpanan sementara untuk peti kemas kapal baik yang bersifat ekspor maupun impor. Oleh karena itu, pelabuhan dituntut untuk meningkatkan efektifitas pelayanan kapal dan penanganan petikemas.
Efisiensi dalam penanganan petikemas di terminal merupakan hal penting untuk mereduksi biaya transportasi dan menjaga jadwal pengiriman barang (Zhang dkk, 2003). Biaya distribusi yang lebih rendah akan meningkatkan permintaan, memperluas jangkauan, bahkan sebagai daya tarik pasar sehingga mampu bersaing di pasar global. Menurut Souza et al. (2003) agar sukses dalam memainkan peran dalam global supply chain diperlukan kerjasama (kolaborasi) antar seluruh elemen yang terlibat dalam operasi di pelabuhan.
Produktivitas terminal petikemas ditentukan oleh interaksi sejumlah proses. Kolaborasi dalam supply chain didefinisikan sebagai kolaborasi dari dua atau lebih entitas yang bekerja bersama dalam merencanakan dan mengimplementasikan operasi supply chain untuk menciptakan competitive advantage dan mencapai keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan apabila bekerja sendiri (Simatupang & Sridharan, 2005). Kolaborasi dapat dikonseptualisasikan sebagai hubungan internal antar individu dan antar departemen serta hubungan eksternal antar perusahaan (Wiengarten et al. 2012).
Menurut Valentina dan Marcella (2003), kolaborasi di pelabuhan bertujuan untuk menciptakan sinergi untuk mengkonversi kepentingan diantara stakeholder pelabuhan dalam menjamin keandalan (reliability) dan keberlanjutan (sustainability) pelayanan. Menurut Cousins dan Menguc (2013), kolaborasi dalam supply chain memiliki tujuan untuk menurunkan biaya dan meningkatkan utilitas sumber daya melalui pemanfaatan sumber daya secara bersama-sama (resources sharing).
Kerja sama dalam bentuk pemanfaatan sarana dan prasarana pada terminal petikemas ini dapat meminimalisir antrian penumpukan kendaraan internal truck maupun external truck yang melakukan kegiatan di terminal petikemas tersebut di mana kendaraan didominasi oleh turk angkutan barang yang menuju maupun angkutan barang yang keluar dari terminal. Hal yang umum jika terjadi penumpukan kendaraan akibat kendaraan yang menunggu untuk dilayani akan menyebabkan antrian panjang dan berdampak pada kemacetan lalu lintas di lingkungan sekitar terminal peti kemas. Situasi ini berpengaruh terhadap aktivitas perekonominan dan transportasi para pengguna jalan.
Solusi jangka panjang seperti pembangunan jalur khusus untuk kendaraan angkutan barang yang menuju maupun keluar dari terminal dan juga akses jalan langsung menuju maupun keluar terminal sudah dirancang, akan tetapi pemerintah dihadapkan dengan nilai investasi yang sangat besar sehingga solusi tersebut belum di implementasikan secara maksimal, sedangkan operator terminal dan juga otoritas terminal dituntut untuk bisa bertanggung jawab atas kelancaran arus barang dan logistik di pelabuhan. Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan yang dapat dilakukan oleh operator terminal saat ini salah satunya dengan melakukan kolaborasi ataupun kerjasama dalam bentuk pemanfaatan sarana dan prasarana dengan terminal terdekatnya. Hal tersebut selain dapat membantu mengurai kemacetan lalu lintas pada daerah sekitar terminal namun juga bisa mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh terminal.
Sumber daya yang dimiliki terminal merupakan faktor penentu dalam memberikan pelayanan kepada shipping lines. Sumber daya utama terdiri dari dermaga, quay crane, RTG (rubber tire gantry), straddle carrier atau internal transport vehicle, container yard, serta peralatan pendukung lainnya. Indikator yang digunakan untuk menilai efektivitas dan efisiensi pelayanan kapal diantaranya ditentukan oleh waktu yang dibutuhkan kapal berada di pelabuhan untuk melakukan proses bongkar muat (waktu handling, waktu delay atau idle, dan waktu menunggu)(Budipriyanto, 2018).
Keterkaitan yang erat antara alokasi tempat berlabuh, penugasan crane dermaga, dan juga alokasi tempat penumpukan sementara pada bagian landside. Berdasarkan sumber daya yang dimiliki oleh terminal dengan mempertimbangkan potensi sumber daya yang dimiliki oleh terminal lain atau terdekatnya untuk meningkatkan kapasitas internalnya melalui kerjasama atau kolaborasi dengan terminal lain. Kolaborasi memungkinkan perusahaan untuk berbagi sumber daya dan kemampuan untuk menciptakan hasil yang saling menguntungkan (Tongzon et al., 2009; Bahinipati & Deshmukh, 2012; Lin et al., 2013).
3 Mei 2023
Referensi:
Bahinipati, B. K., & Deshmukh, S. G., (2012), “Vertical Collaboration in the Semiconductor Industry: A Decision Framework for Supply Chain Relationships Q”, Computers & Industrial Engineering, 62(2), 504–526.
Budipriyanto. (2018). Kerjasama Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Terminal dalam Upaya Mengurangi Waktu Pelayanan Kapal di Terminal Peti Kemas. Surabaya. Indonesia.
Cousins, P. D., & Menguc, B., (2013), “The Implications of Socialization and Integration in Supply Chain Management”, Journal of Operations Management, 24(2006), 604–620.
Hsu, W.-K. K., (2013), “Improving the Service Operations of Container Terminals”, International Journal of Logistics Management, The, 24(1), 101–116.
IMO, 2014, Safety Of Life At Sea (SOLAS) 1974 Consolidated Edition 2014, IMO, United Kingdom.
Kasm, O. A., Diabat, A., & Cheng, T. C. (2019). The Integrated Berth Allocation, Quay Crane Assignment, and Scheduling Problem: Mathematical Formulations and A Case Study. Annals of Operations Research.
Kim, K. H., & Moon, K. C., (2003), “Berth Scheduling by Simulated Annealing”, 37, 541– 560.
Lasse, D.A. (2014). Manajemen Muatan Aktivitas Rantai Pasok di Pelabuhan. Jakarta: Rajawali Pers.
Lee, D.-H., Jin, J. G., & Chen, J. H. (2012). Terminal and yard allocation problem for a container transhipment hub with multiple terminals. Transportation Research Part E: Logistics and Transportation Review 48 (2), 516-528.
Lin, C., Tsai, H., & Wu, J., (2013), “Collaboration Strategy Decision-Making Using the Miles and Snow Typology”, Journal of Business Research.
Meisel, F., & Bierwirth, C. (2013). A framework for integrated berth allocation and crane operations planning in seaport container terminals. Trasnsportation Science, 47(2), 131-147.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut
Raa, B., Dullaert, W., & Schaeren, R. Van, (2011), “An Enriched Model for the Integrated Berth Allocation and Quay Crane Assignment Problem”, Expert Systems With Applications, 38(11), 14136–14147.
Safaei, N., Bazzazi, M., & Assadi, P. (2010). An integrated storage space and berth allocation problem in a container terminal. Int. J. Mathematics in Operational Research, Vol. 2, No.6.
Simatupang, T. M., & Sridharan, R., (2005), “An Integrative Framework for Supply Chain Collaboration”, The International Journal of Logistics Management, 16(2), 257–274.
Song, D.-W., & Panayides, P. M., (2008), “Evaluating the Integration of Seaport Container Terminals in Supply Chains”, International Journal of Physical Distribution & Logistics Management, 38(7), 562–584.
Tongzon, J. L., (2013), “Determinants of Port Performance and Efficiency”, 29(3), 245–252.
UNCTAD, (2015), Trade and Development Report, The Oxford Handbook of The Political Economy of International Trade.
Valentina, C., & Marcella, D., (2003), “The Changing Role of Ports in Supply Chain Management: An Empirical Analysis”, Maritime Policy and Management, 30.
Zhang, C., Liu, J., Wan, Y., Murty, K., & Linn, R. (2003). Storage space allocation in container terminals. Transportation Research Part B, Vol. 37, 883-903.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia
Download artikel ini:
SCI - Artikel Kerja Sama Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Terminal Peti Kemas (296.0 KiB, 119 hits)