Oleh: Ricky Virona Martono
PPM Manajemen, Indonesia
Trainer, Lecturer, Consultant
Global Supply Chain dapat didefinisikan sebagai proses distribusi produk dan/atau jasa ke berbagai wilayah di dunia (wilayah global) untuk berbagai tujuan, seperti perdagangan, kemanusiaan (humanitarian), turisme (pariwisata), dan strategi perang.
Sebuah jaringan Supply Chain berorientasi profit berkembang ke seluruh dunia karena semakin masifnya pedagangan dunia, dimana perpindahan dan pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi semakin meluas. Begitu juga dengan inovasi dan penjualan produk dapat dilakukan dimanapun di belahan Bumi ini.
Perdagangan ini mendesain, menghasilkan, membawa, dan menjual produk/barang dari satu lokasi (kota, pulau, negara) ke kota, pulau, dan negara lain. Semua ini membutuhkan proses pengadaan bahan mentah, produksi bahan mentah menjadi barang jadi, lalu mengirim dan mendistribusikan produk ke berbagai lokasi penjualan. Dengan semakin meluas dan kompleksnya Global Supply Chain dan kesadaran bahwa jaringan perdagangan menawarkan value added bagi konsumen dimana pun berada, maka Global Supply Chain berevolusi menjadi Global Value Chain (Rantai Nilai Global).
Menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Global Value Chain (GVC) adalah sebuah kesatuan sistem produksi, perdagangan, dan investasi skala internasional dimana setiap tahap proses produksi sebuah produk dilakukan di berbagai negara.
Rantai sistem ini menciptakan dan menawarkan value added (nilai) bagi pemenuhan kepuasan konsumen. Aktivitas yang menciptakan value added ini tercipta dalam sistem perdagangan dunia dan dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan atau kolaborasi antar berbagai perusahaan menurut bidang keahliannya masing-masing.
Value added yang diciptakan secara global ini turut mendorong aktivitas inovasi, produksi, distribusi, dan penjualan di berbagai negara. Maka dari itu, global value chain (GVC) turut mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan di negara-negara dimana semua aktivitias tadi dijalankan. Dengan demikian, pendapatan masyarakat turut meningkat dan menurunkan kemiskinan.
Contoh dari sebuah GVC adalah sebuah produk elektronik dirakit di Taiwan, supplier komponen beroperasi di Cina, software dirancang di Eropa, bahan mentah berupa logam berasal dari Afrika. Perusahaan yang mengirim produk jadi dari Taiwan ke berbagai negara adalah perusahaan Jepang. Fasilitas gudang di berbagai negara dikelola oleh perusahaan asal Amerika. Produk elektronik ini dijual di jaringan ritel domestik di setiap negara. Melalui semua proses ini, nilai tambah (value added) tercipta dalam satu rangkaian Supply Chain.
Dengan berbagai aktivitas yang saling terhubung antar negara, maka jelaslah bahwa GVC merupakan sebuah sistem yang kompleks, melibatkan berbagai perusahaan, dan otoritas di setiap negara yang terlibat.
Mengapa GVC Menarik Bagi Perdagangan Dunia?
- Mengurangi kemiskinan karena tersedia lapangan pekerjaan yang lebih besar. Akibatnya adalah mendorong kegiatan ekonomi di sektor-sektor pendukungnya (multiplier effect), seperti komponen pendukung dan industri kebutuhan hidup tenaga kerja.
Kelebihan (comptetitive advantage) dan kekurangan di sebuah negara dapat dicari solusinya dengan menempatkan lokasi produksi-distribusi-konsumsi yang tersebar di beberapa negara. Multi lokasi tetap saja menarik karena mengurangi risiko guncangan di salah satu negara dimana perusahaan beroperasi.
Ketika terjadi guncangan di sebuah negara, maka ada proses di supply chain yang terganggu. Maka, kinerja dan keuntungan di negara tersebut menurun. Di sisi lain, perusahaan global sudah mengantisipasi ini dengan cara mengalihkan produksi ke negara lain yang stabil ketika terjadi guncangan di sebuah negara. Sehingga, secara akumulasi global, perusahaan global akan menghasilkan kinerja yang sama baiknya.
- Meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Negara yang terlibat dalam GVC tentunya akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak terlibat, terutama bagi negara berkembang. Produktivitas pun meningkat karena aktivitas ekonomi lebih intensif dan tenaga kerja dilatih untuk bekerja lebih baik sesuai standar global.
Selain itu, untuk meningkatkan produktivitas secara makro (negara) dapat diatasi dengan investasi mesin atau teknologi baru, tranfer pengetahuan dari negara lain, dan spesialisasi produksi. Jika produktivitas ditingkatkan dengan program improvement, maka investasi teknologi dan mesin dapat meningkatkan output secara signifikan.
Di sisi lain,New Trade Theory oleh Paul Krugman menunjukkan bahwa meskipun perbedaan tingkat produktivitas antar dua negara diabaikan (in the absence of productivity differences between two countries), kedua negara tersebut tetap menikmati perdagangan diantara mereka. Teori ini menekankan peran economy of scale dan manfaat perdagangan berupa biaya produksi yang turun akibat spesialisasi produksi. Di sisi lain, konsumen tetap dapat membeli beragam jenis produk karena perdagangan dengan negara lain sehingga, hambatan produktivitas dapat diantisipasi dan pertumbuhan ekonomi tetap dapat tercapai dengan adanya perdagangan antar negara.
- Kolaborasi jangka panjang antar perusahaan di dalam jaringan Supply Chain menjamin perdagangan, keuntungan, serta kerja sama mengurangi biaya dan lead time. Jika lokasi bahan mentah dan lokasi penjualan barang jadi ada di negara yang berbeda, maka lokasi proses transformasi bisa di salah satu negara tersebut sesuai dengan strategi perusahaan, pertimbangan efisiensi biaya dan risiko (misalnya: biaya investasi, biaya operasional, biaya pengiriman, dan pajak).
Dunia yang semakin terintegrasi ini memacu kegiatan perekonomian untuk dapat terus berjalan tanpa mengenal perbedaan zona waktu, kemudian memperluas pasar yang belum terjangkau, dan peluang transfer knowledge dan teknologi dari negara innovator kepada negara produsen. Dengan transfer pengetahuan ini, muncul potensi pengembangan produk inovatif yang baru.
- Perkembangan Teknologi yang seakan-akan tidak ada batasnya mendorong negara dan perusahaan menanamkan investasi yang besar untuk inovasi. Globalisasi artinya membuka peluang kepada setiap orang untuk turut serta dalam perkembangan teknologi. Perusahaan pun memiliki beberapa alternatif untuk lokasi pengembangan teknologi di berbagai negara. Peluang bagi negara berkembang adalah pembelajaran mengenai sistem GVC dan transfer teknologi dari perusahaan-perusahaan dari negara yang melakukan investasi di negara berkembang. Contohnya dapat dilihat dari investasi di industri elektronik dan otomotif.
- Menyebarkan risiko bisnis pada banyak lokasi (misalnya: ke banyak negara), sehingga guncangan (disruption) di satu negara bisa diantisipasi dari kegiatan di negara lain. Misalnya, jika kondisi ekonomi di suatu negara berkembang baik, maka ada potensi penjualan di negara tersebut naik. Sebaliknya, jika kondisi ekonomi negara lain turun, maka bisa saja proses transformasi atau target konsumen dipindahkan sebagian ke negara lain yang ekonominya naik. Selain itu, perbedaan tingkat pajak yang bisa menguntungkan, misalnya membuka usaha pada lokasi free trade area.
Beberapa isu lain yang dipertimbangkan dalam membuat rencana mitigasi risiko adalah: fluktuasi exchange rate, bea cukai, regional trade regulation, kebijakan Pemerintah mewajibkan penggunaan komponen dalam negeri, kemampuan memenuhi standar (misalnya: ISO) di negara-negara berkembang.
Apakah Tantangan Dari GVC?
Karena GVC menarik, maka banyak negara dan perusahaan berlomba untuk berperan di dalam jaringan Global Value Chain dan menimbulkan kompetisi maupun tantangan (seperti tuntutan standarisasi proses) di setiap negara di dalam jaringan GVC. Tantangan tersebut misalnya:
- Risiko Intellectual Property, dimana produk asing dapat ditiru dan dijual dengan harga lebih murah tanpa dapat dikontrol sepenuhnya oleh perusahaan dan negara bersangkutan.
- Standar keterampilan tenaga kerja di negara berkembang tidak selalu mudah untuk ditingkatkan, seringkali butuh waktu lama. Padahal, di setiap lokasi dimana perusahaan beroperasi, karyawan dituntut mencapai standar kualitas proses yang setara.
- Mengelola perbedaan budaya kerja.
- Infrastruktur transportasi untuk distribusi produk di negara berkembang belum setara dengan di negara maju, sehingga terkadang butuh tambahan proses penanganan.
- Semakin masifnya ekspansi perusahaan global berpoensi mengancam industri dalam negeri, maka muncul proteksi terhadap industri dalam negeri, dengan memberi tariff dan kewajiban sertifikasi bagi perusahaan asing.
- Meskipun ada impor teknologi, namun tidak menjamin transfer teknologi. Keunggulan perusahaan tidak pernah dioutsource atau diketahui pihak lain, sulit menjamin sepenuhnya transfer pengetahuan terkait teknologi. Akibatnya, sehingga gap keunggulan negara maju dengan negara berkembang akan tetap ada, bahkan melebar.
- Tuntutan terhadap dampak lingkungan karena semakin banyaknya proses manufaktur di seluruh dunia.
20 Desember 2022
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Manfaat dan Tantangan Global Value Chain (839.7 KiB, 131 hits)