Oleh: Bambang S Gunawan | Ketua Kompartemen Maritim DPP ALFI/ILFA
Penguasaan Pasar Jika CIF atau CNF
Sebelumnya (pada bagian #1) telah digambarkan mengenai CIF/CNF dan FOB. Melalui hal tersebut, kita dapat melihat di tangan siapa kapal itu dikontrol. Di sisi lain, penguasaan pasar ketika CNF/CIF dan FOB dapat dipaparkan dengan asumsi sebagai berikut:
Suatu komoditas, misalnya batubara, negara mana yang mengatur harga komoditas ini? Siapa yang mangatur naik/turunnya harga batubara? Itu baru satu komoditas, bagaimana dengan komoditas-komoditas lainnya yang merupakan komoditas ekspor Indonesia?
Bukan rahasia umum jika yang mengatur naik/turunnya harga komoditas dari Indonesia bukan pihak Indonesia. Padahal terdapat ratusan juta ton batubara sebagai potensi ekspor kita ke luar negeri. Dari ratusan juta ton ekspor batubara Indonesia, seberapa besar dikapalkan oleh pihak Indonesia? Siapakah yang mengontrol atau yang selalu menominasikan kapalnya? Penjualnya di Indonesia atau pembelinya di luar negeri? Kita semua tahu jawabannya. Artinya, jika Indonesia tidak dapat mengontrol kapalnya, maka mustahil kita dapat mengontrol harga pasarnya.
Tidak hanya ekspor, Indonesia dengan kisaran penduduk lebih dari 250 juta jiwa ini juga perlu komoditas impor. Dengan demikian, kita memerlukan pemikiran lebih, karena naik-turun harga komoditas ekspor pun tidak dapat dikontrol, apalagi komoditas impor. Oleh karena itu, kita perlu membuat list komoditas bulky ekspor dan impor, agar potensi nilai tambahnya perlu dipertimbangkan dalam rangka penguatan industri maritim nasional.
Sebelumnya telah kita garis bawahi bahwa trading tanpa transporter, maka tidak ada transaksi. Demikian juga halnya ekspor batubara tidak akan menjadi devisa jika tidak ada kapalnya. Lantas, siapakah yang akan mengontrol pengapalan ratusan juta ton batubara dari Indonesia? Permasalahannya, kita belum memiliki bargaining position atas komoditas ekspor. Baik itu bargaining position atas komoditasnya itu sendiri maupun bargaining position terhadap kapalnya.
Indonesia belum menguasai pasar di wilayah tertentu di luar negeri, misalnya menguasai pasar-pasar Thailand, Malaysia, Vietnam, atau bahkan pasar di ASEAN. Malah sebaliknya, Indonesia justru menjadi target pasar dari negara-negara lain. Indonesia sebagai pasar yang empuk, pasar yang potensial, pasar yang menjanjikan serta pasar yang diperebutkan oleh hampir seluruh negara di dunia ini.
Dengan demikian, mulai saat ini kita perlu menanamkan filosofi bahwa komoditas tanpa transporter (logistik) maka ekspor atau impor tidak akan pernah terjadi sama sekali. Tentunya, tanpa transporter tidak pernah akan terjadi transaksi, tanpa transaksi maka tidak akan terjadi pemasukan (revenue), dan tanpa pemasukan maka tidak akan devisa bagi perusahaan maupun bagi negara.
Bicara mengenai logistik atau transporter, maka kita bicara siapa yang mengontrolnya. Jika penjualnya (eksportir) di Indonesia namun yang mengontrol kapalnya adalah pembeli di luar negeri, maka mereka yang mengontrol pasarnya, karena mereka yang membeli komoditas itu dan mereka juga yang menundukkan kapalnya. Pembeli yang menentukan mau dibawa ke mana. Harus kita akui bahwa transporter untuk mayoritas komoditas bulky bukan bangsa kita yang kuasai, tapi pihak luar negeri. Selama bangsa kita belum mampu melakukan trading dengan kita yang mengontrol kapalnya (transporter-nya), maka sejauh itu pula kita tidak menguasai pasarnya. Oleh sebab itu, diperlukan penguasaan terhadap transportasi sebelum menguasai pasarnya.
Melakukan CIF/CNF adalah bentuk pencitraan/kewibawaan atas bangsa Indonesia. Beranjak dari itu pula kita dapat menyebut Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Sangat realistis bahwa dalam trading dan transaksi ekspor dan impor, kontrol akan kapal selalu dilakukan di Indonesia, sehingga lama kelamaan timbul kepercayaan (trust) dari pihak pembeli/penjual atau mitra luar negeri. Mitra luar negeri ini ada dua, yaitu: pembeli komoditas dan shipowner luar negeri. Tentu ibarat kata pepatah “sekali dayung, dua tiga pulau terlewati”, dengan melakukan ekspor CNF/CIF juga kita membentuk capacity building bahwa bangsa kita dapat memainkan peranan pasar internasional dari sisi trading dan pasar kapal. Dengan demikian, mitra di luar negeri memandang bahwa bangsa Indonesia memiliki SDM yang solid, cerdas, dan mumpuni, sehingga setara kemajuannya dengan negara lain.
Kemudian, kepercayaan itu dibangun dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk membayar freight. Artinya, mitra asing melihat bahwa korporat (perusahaan) Indonesia memiliki kemampuan finansial yang selama ini selalu dianggap rendah. Bagi perusahaan-perusahaan lokal, kemampuan dalam membayar freight ini dipandang sebagai suatu lompatan besar oleh stakeholder di luar negeri. Bagaimana tidak, membiayai freight untuk pengapalan atas suatu komoditas jumlah (nilai) uangnya tidak terbilang kecil. Tanpa kemampuan SDM dan finansial niscaya mustahil CNF/CIF bisa dilakukan oleh korporat-korporat lokal di Indonesia.
Berikut ilustrasi biaya membayar freight: Misalnya, 50.000 ton batubara dikapalkan dengan freight sebesar USD12.00/m3. Maka biaya freight yang harus dibayar di depan adalah USD12.00 x 50.000 ton = USD600.000. Jika USD600.000 dikali kurs sekarang, misalnya Rp 13.000, maka biaya freight yang harus dibayar sebesar Rp 7,8 milyar dalam sekali jalan.
Sebaiknya, pemerintah harus cepat tanggap bahwa untuk rangsangan bagi para pelaku ekspor perlu dibuatkan regulasi sejenis Keppres, Kepmen, atau regulasi sejenis itu yang dapat mendukung korporat-korporat lokal untuk melakukan transaksi dalam CNF/CIF.
Sosialisasi mengenai CNF/CIF bukan pekerjaan ringan. Baik Pemerintah maupun para stakeholder harus se-expansive dan se-intensive mungkin melakukan pelatihan, seminar, studi kasus, trial-error, bahkan benchmarking ke negara-negara lain untuk studi banding dan mempelajari cara penerapannya di negara yang bersangkutan, sehingga kita dapat mengaplikasikannya di Indonesia. Melihat pada kekuatan dan kelemahan Indonesia, keduanya bukan untuk menghambat, tetapi tujuannya agar kita dapat lebih maju dalam penerapan CNF/CIF di Indonesia.
Jika para trader/eksportir sudah terbiasa menggunakan trading dengan CNF/CIF, maka kita dapat menyebut “Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia” karena dua faktor utama, yakni:
- Bangsa Indonesia yang dapat mengontrol transporter-nya atau dapat mengontrol kapal-kapal asing.
- Kapal-kapal (asing) dapat ditundukkan oleh bangsa Indonesia.
Realistiskah hal tersebut? Ekspor mineral Indonesia mengalami penyesuaian sejak kewajiban pendirian smelter. Sebenarnya, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah bagi bahan mineral sudah sangat bagus. Ketika mineral yang telah diolah diekspor, dipastikan barang tersebut nilainya menjadi lebih meningkat dan Indonesia tidak hanya dikenal di luar negeri sebagai pengekspor bahan baku, tapi telah memiliki kemampuan mengolahnya. Hanya saja, jika implementasinya tidak sesuai dengan yang diharapkan maka dapat berdampak pengurangan devisa. Dalam hal ini, pemerintah membutuhkan pemasukan devisa untuk membangun negara. Biasanya kekurangan devisa ini bisa ditutupi dengan berhutang, namun tidak ada hutang yang tidak berbunga yang mana akan menjadi beban bagi negara.
Ekspor mineral mentah yang mengalami penurunan ini juga mengakibatkan penurunan dalam penyerapan tenaga kerja. Ini juga memberikan dampak sosial yang membebankan Pemerintah.
Kedua dampak tersebut sangat strategis dan harus dicari secara cepat penyelesaiannya, karena pemerintah telah mengeluarkan UU yang dipastikan telah dikaji dan diuji. Diharapkan, pada masa-masa mendatang UU tersebut dapat menjadi berkah untuk bangsa Indonesia dan kita menjadi negara yang lebih baik.
9 Januari 2017
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan/atau sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, serta tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI- Artikel Mengapa Ekspor Tidak dengan C&F dan Impor Tidak dengan FOB (Bagian #2) (657.4 KiB, 292 hits)