Oleh: Bambang S Gunawan | Ketua Kompartemen Maritim DPP ALFI/ILFA
Melanjutkan pembahasan pada bagian sebelumnya, sebenarnya apa kaitan ekspor mineral dengan CIF/FOB?
Sangat diharapkan apabila pemerintah memberikan challenge. Caranya dengan membolehkan perusahaan pertambangan mineral melakukan ekspor bahan mentah dengan CNF/CIF. Hal itu dilakukan dalam rangka mempertegas lagi “Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia” dengan pihak Indonesia yang mengontrol kapalnya. Jika telah dilegalkan oleh pemerintah, tentunya yang diizinkan untuk melakukan ekspor mineral dengan CNF/CIF adalah para eksportir yang mumpuni. Para eksportir tersebut harus tangguh, baik dari sisi finansial dan kemampuan membayar freight. Selain itu, mereka juga harus siap dengan segala macam risiko yang akan terjadi serta memiliki SDM khusus yang menangani urusan pengapalan.
Melakukan ekspor dengan CNF/CIF tidak mesti dengan kapal berbendera Indonesia. Pembahasan kali ini adalah pengapalan lintas negara dari Indonesia ke luar negeri, bukan pengapalan dalam negeri. Dalam hal ini, asas cabotage tidak berlaku dan tidak mesti memakai kapal berbendera Indonesia. Khusus untuk pengapalan komoditas bulky, kita dapat menggunakan kapal berbendera asing. Kelebihan transaksi dengan CIF/CNF yaitu kapal-kapal berbendera asing tersebut tetap dapat dikontrol oleh pelaku trader-nya di Indonesia.
Sebenarnya, semua dimulai dari perilaku para eksportir. Jika ekspor dilakukan dengan CIF/CNF, maka industri maritim akan ikut tumbuh. Industri maritim nasional bisa bermain lebih cekatan lagi terutama di industri maritim internasional. Bukan tidak mungkin bagi kita untuk mengembalikan kejayaan maritim. Kejayaan maritim yang sesungguhnya dimulai dari para pelaku trader yang sangat terampil melakukan negosiasi kapal dan menjual komoditas dengan CIF/CNF.
Dalam kegiatan yang dilakukan dengan CIF/CNF terdapat komisi sebesar 1,25%. Bagian 1,25% atau kelipatannya (2,5%) merupakan reward bagi eksportir/trader yang melakukan CIF/CNF. Hal itu disebabkan karena mereka berperan sebagai penyewa (charterer) dan mereka pula yang membayar freight. Pembayaran freight dibebankan kepada eksportir karena trading dilakukan dengan CNF/CIF. Dengan demikian, eksportir atau trader yang melakukan CNF/CIF mendapatkan komisi sebesar 1,25% yang biasa dikenal dengan address commission.
Dalam pengapalan breakbulk, pembayaran freight selalu dilakukan setelah kapal menyelesaikan 100% proses muat. Hal tersebut merupakan ketentuan yang telah berlaku secara umum. Jika mereka menjual dengan FOB, tentu mereka tidak terbebani dengan membayar freight-nya. Ketika mereka menyatakan komisi 1,25% sebuah kesalahan, berarti mereka belum memahami filosofi reward dari membayar freight ke shipowner. Oleh sebab itu, tidak ada komisi yang diberikan bagi mereka yang menjual dengan FOB.
Pada dasarnya, dwelling time merupakan hal yang lazim dalam dunia maritim. Namun, hal tersebut tidak berlaku dalam pengapalan breakbulk (non container). Pengapalan dalam bentuk kontainer dengan pengapalan breakbulk merupakan dua hal yang berbeda. Dalam pengapalan breakbulk, dwelling time tidak terdapat pada fixture note (charter party) antara penyewa dan shipowner. Namun, istilah-istilah yang terdapat pada kegiatan tersebut diantaranya: laytime, loading rate, discharging rate, customary quick dispatch (CQD), demmurage, dan dispatch. Istilah-istilah tersebut sangat berkenaan dengan waktu muat, waktu bongkar, dan lamanya kapal berada di pelabuhan.
Gambaran Proses Kapal Bulky
Secara sederhana, proses ketika kapal bulky tiba di pelabuhan dapat digambarkan sebagai berikut:
Ketika kapal tiba di pelabuhan, kapten kapal merilis Notice of Readiness (NOR). Di sana tertera tanggal dan waktu/jam kedatangan kapal di pelabuhan, baik itu untuk pemuatan maupun pembongkaran. Ketika NOR telah dirilis, klausul yang digunakan bergantung pada klausul dalam fixture note-nya. Terdapat tiga jenis klausul, yaitu Sunday Holiday Included (SHINC), Sunday Holiday Excluded (SHEX), dan CQD.
Dalam kasus ini, digunakan klausul SHINC sebagai contoh. Pada NOR, misalnya, tertera bahwa kapal tiba pada hari Senin pukul 12.00. Keesokan harinya kapal masih belum juga dimuati atau dibongkar hingga pukul 12.00. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa persis satu hari kapal menganggur dan menyebabkan kapal dikenakan demmurage yang bergantung pada negosiasi besarannya. Diumpamakan demmurage untuk kapal ukuran 50.000 ton jatuh pada kisaran USD6,500 per hari berdasarkan market saat itu. Jika kapal menganggur selama tiga hari, berarti demmurage sesuai market saat itu dikali tiga, demikian seterusnya.
Lamanya kapal menganggur di pelabuhan bergantung pada loading rate atau discharging rate-nya per hari. Diumpamakan kemampuan loading rate pada kapal yang akan melakukan proses muat yaitu sebesar 10.000 ton untuk 50.000 ton batubara. Maksimal waktu yang diperlukan ketika kapal melakukan proses muat dapat dihitung dari banyaknya muatan dibagi kemampuan loading rate-nya, berarti 50.000 ton/10.000 ton = 5 hari. Dengan demikian, maksimal waktu yang digunakan untuk melakukan proses muat tersebut yaitu 5 hari. Jika melebihi waktu tersebut, maka akan dikenakan demmurage.
Dengan demikian, dalam gambaran proses kapal bulky ini dapat membuktikan bahwa tidak ada istilah dwelling time pada pengapalan breakbulk.
Siapa yang Harus Dihubungi untuk Mencari Kapal Breakbulk?
Berbicara mengenai pengapalan breakbulk, yang dapat dihubungi untuk pencarian kapal breakbulk adalah shipbroker. Seperti yang terdapat pada UU Pelayaran No. 17 Tahun 2008, salah satu perusahaan pendukung usaha pelayaran adalah shipbroker. Usaha ini dikenal dalam industri maritim di Indonesia. Terdapat beberapa syarat bagi para shipbroker, di antaranya: shipbroker tersebut memang mumpuni, memiliki relasi yang luas terutama kepada para shipowner untuk mendatangkan kapal-kapal asing, dan yang terpenting adalah para shipbroker ini memahami serta dapat menjelaskan klausul-klausul dalam fixture note (charter party).
Selain shipbroker, perusahaan freight forwarder juga dapat dihubungi untuk pencarian kapal-kapal breakbulk. Namun, hal tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan freight forwarder yang memiliki kemampuan sama dengan shipbroker.
Sebelum memutuskan untuk melakukan CNF/CIF, akan lebih baik jika trader mengadakan training yang biasa disebut dengan chartering training. Dengan demikian, para eksportir/trader dapat memahami dampak dari satu klausul ke klausul lainnya pada kontrak pengapalan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak penyewa kapal. Seiring dengan paparan-paparan tersebut, eksportir diharapkan dapat melihat peluang ekspor dengan CIF/CNF yang membuat para pelaku trading Indonesia diperhitungkan di dunia internasional.
Terima kasih.
16 Januari 2017
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan/atau sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, serta tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI- Artikel Mengapa Ekspor Tidak dengan C&F dan Impor Tidak dengan FOB (Bagian #3) (756.3 KiB, 406 hits)