Oleh: Bambang S Gunawan | Ketua Kompartemen Maritim DPP ALFI/ILFA
Mengutip perkataan orang bijak pernah berkata: “perbuatan tanpa ilmu, maka hasilnya sia-sia” sehingga dengan semangat itulah kami berbagi. Normatifnya bahwa bicara ekspor berarti kita bicara peran transportasi, meningkatnya nilai tambah (devisa) dan volume ekspor selalu berbanding lurus dengan geliat para pelaku transportasi. Sebaiknya sisi ekspor dan sisi transporter tidak berjalan masing-masing, dengan kata lain peningkatan ekspor di Indonesia tak lepas dari pengetahuan juga kiprah mereka yang bergerak di industri transportasi.
Trading dengan Letter of Credit (L/C)
Kita telah menguak sekilas bahwa benar terdapat benefit bagi mereka yang melakukan trading dengan CNF/CIF, sehingga kontrol pada kapal dilakukan oleh pihak penjual, bukan pembeli. Trading lintas negara yang sering dilakukan saat ini sudah sedemikian maju, sehingga transaksi tidak dilakukan by cash. Model transaksi antara penjual dan pembeli dalam volume relatif kecil (kurang dari 1.000 ton) adakalanya transaksi pembayaran dilakukan T/T (Telegraphic Transfer).
Namun untuk trading komoditas yang volumenya begitu besar yang jumlahnya antara 1.000-100.000 ton, maka kontrak penjualannya tidak memungkinkan dilakukan dengan cash namun dilakukan dengan L/C (Letter of Credit). Pembahasan CNF/CIF dan FOB yang kami paparkan di sini semuanya dalam bentuk curah (bulky) bukan bentuk pengapalan dalam kontainer.
Bisa penulis tambahkan, pengapalan dalam bentuk bulk dapat memberikan pendapatan (pemasukan devisa) yang jauh lebih besar bila kita bandingkan dengan pengapalan dalam bentuk kontainer. Ilustrasinya: katakanlah ada pengapalan batubara sebesar 30.000 ton dan harga jualnya di angka USD58.37 per ton. Misalnya dikapalkan dalam volume 30.000 ton maka revenue-nya 30.000 ton dikali harga USD58.37 = USD1,751,100 (Satu Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Satu Ribu Seratus US Dollar).
Bandingkan dengan transaksi misalnya satu kontainer pupuk dalam karung (bagged fertilizer). Katakanlah harga pupuk tersebut adalah USD250/ton dan dalam satu kontainer 20 feet paling maksimum hanya bisa termuat 27 ton. Maka revenue adalah USD 250x27ton = USD6,750 saja. Jika muatannya dalam 40 feet yang termuat maksimal dikisaran 41 ton, maka revenue-nya adalah USD250 x 41ton = USD10,250 saja. Bandingkan transaksi kontainer ini dengan transaksi bulky di atas sejumlah 30.000 ton. Kita bicara yang umum terjadi yaitu perbandingan antara transaksi bulky dengan transaksi dengan kontainer.
Jika trader/eksportir komoditas bulky lihai*) melakukan negosiasi kapal ketika CNF/CIF, bisa jadi dapat keuntungan sebesar USD1 per ton dari freight. Maka tinggal dikalikan USD1 x 30.000 ton = USD30,000. Belum dari address commission sebesar minimal 1.25% dari total freight, yang nanti akan kami ulas di bagian akhir tulisan ini. Ini adalah satu ilustrasi bahwa selama ini kita melihat shipment (pengapalan) untuk ekspor tidak mesti selalu dengan kontainer, sesungguhnya pengapalan dalam bentuk bulky bisa lebih menguntungkan.
Kembali kita bicara transaksi dengan “Letter of Credit” (L/C), ada sisi uniknya serta nilai plus dari transaksi dengan L/C ini.
Pertama: Peranan bank sangat vital, di mana baik penjual maupun pembeli menunjuk perwakilan bank-nya (kita sering menyebutnya sebagai bank devisa atau bank ekspor/impor).
Pembeli dan penjual menunjuk bank-nya masing-masing, jika pembeli sudah konfirmasi dengan harga beli yang diajukan penjual, maka pembeli melalui bank-nya memasukkan/memberikan deposit atau dana sejumlah harga beli komoditas.
Bank penjual melakukan korespondensi dengan bank pembeli. Apakah deposit (dana) dari pembeli sudah masuk atau tidak, jika bank penjual telah menginformasikan L/C dari pembeli sudah dibuka, berarti dananya sudah ada, sehingga transaksi jual/beli via L/C dapat dikatakan aman. Pencairan L/C (penarikan uang hasil penjualan komoditas) hanya bisa dilakukan apabila telah ada “Dokumen Pengapalan”. Dokumen pengapalan yang dimaksud adalah B/L (Bills of Lading). Inilah yang membuat kontrol kapal sebagai transporter di tangan penjual/pembeli di sisi trading menjadi sangat dominan.
Ada kasus: Katakanlah perusahaan A di Indonesia melakukan trading batubara sebesar 50.000 ton dijual dengan FOB. Kita tahu dengan FOB ini pembelinya yang di luar negeri yang menominasikan kapal. Singkat cerita kapal telah didatangkan, batubara sebesar kisaran 50.000 ton telah dimuat di atas kapal, dan finalisasinya adalah kapal berangkat dari pelabuhan muat di Kalimantan ke pelabuhan bongkar di China. Permulaan waktu pertama pemuatan berjalan lancar hingga kapal berlayar menuju pelabuhan bongkar, kini masuklah giliran penjual (yang di Indonesia) akan mencairkan L/C. Tentu syarat pencairan L/C harus mengambil dokumen pengapalan ke agen kapal terlebih dahulu.
Saat penjual meminta dokumen pengapalan ke agen, ternyata pihak pembeli (yang di China) tidak menginstruksikan owner kapal. Instruksi untuk tidak menyerahkan dokumen pengapalan kepada penjual tersebut dapat menimbulkan masalah.
Ketika owner kapal tidak dapat instruksi dari pembeli (yang membayar freight) untuk tidak menyerahkan dokumen kapal ke penjual, maka agen kapal di pelabuhan muat tentunya tidak akan menyerahkannya kepada penjual. Instruksi penyerahan dokumen kapal (berupa Bills of Lading) itu ada pada siapa yang membayar freight. Jika penjualan batubara dilakukan FOB maka yang membayar freight adalah pembeli, maka shipowner tentu akan mendengar apa kata pembeli, bukan penjual.
Permasalahannya yaitu dapat menimbulkan kerugian yang tidak kecil. Kisaran kerugiannya dapat diilustrasikan sebagai berikut (bukan angka yang sebenarnya):
- Kerugian dari nilai batubaranya itu sendiri. Berapa besarnya? Misalkan nilai batubara di harga USD95 pmt. Jika pengapalan 50.000 ton maka dikali USD95 = USD4,750,000 (Empat Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu US Dollar), tentu bukan harga yang sedikit.
- Kerugian dari membayar freight kapal-kapal tongkang untuk muat transhipment (ship to ship). Pemuatan batubara di Kalimantan biasanya dilakukan dengan transhipment ship to ship dengan kapal-kapal tongkang. Rata-rata freight-nya USD4, seringkali harga jual dari penambang sudah termasuk harga penyewaan kapal tongkang, namun jika tidak satu paket dengan harga jual, maka kerugian sewa kapal-kapal tongkang tinggal dikali saja 50.000 ton x USD4 = USD200,000.
Kedua: Keunikan trading menggunakan L/C ini adalah penjual dan pembeli bisa berada di mana saja, tidak mesti sesuai dengan lokasi pembeli dan penjual. Misalnya batubaranya dari Indonesia maka trader-nya ada di Indonesia atau pembelinya dari China, maka pembeli (trader-nya) ada di China.
Selain itu bisa menggunakan jasa perbankan di mana saja, baik itu bank lokal mau pun bank luar negeri. Dapat dikatakan, hampir semua transaksi ekspor/impor selalu menggunakan USDollar, selama kategori bank yang bisa melayani ekspor/impor suatu komoditas dan trader-nya punya rekening di bank yang bersangkutan.
Sebagai contoh, bisa saja batubara dari Indonesia, trader yang membeli orang India, tujuan kargonya ke China. Namun sebelum diterima end user (pihak China), trader yang membeli dari orang India itu adalah orang Thailand. Ilustrasinya seperti di bawah:
Gambar 1 Ilustrasi Menggunakan L/C
Pada kondisi ini, jika CNF/CIF, maka warga India (Trader I) yang menominasikan ke pembeli Thailand (Trader II), demikian pula Trader II ini bisa juga CNF/CIF kepada end user yang di China.
Ada istilah dalam pengapalan “breakbulk” Ship Will Follow the Trade. Belakangan muncul istilah “Port Will Follow the Trade” kok sepertinya kami lihat istilah ini meniru “Ship Will Follow the Trade”, padahal makna yang dimaksud berbeda. Istilah “Ship Will Follow the Trade” ini berkaitan erat dengan terminologi CNF dan FOB. Jika CNF pemilik kapal tentu negosiasi kapal, penagihan, dan pembayaran freight, serta instruksi penyerahan dokumen kapal mengikuti penjual.
Sebaliknya jika komoditas dijual FOB, maka negosiasi kapal, pembayaran freight, dan instruksi penyerahan dokumen mengikuti pembeli. Itulah yang dimaksud “Ship Will Follow the Trade”. Ada benang merahnya yaitu siapa yang membayar freight, ke sanalah kontrol kapal akan diarahkan. Kami lebih menggarisbawahi kontrol akan kapal berkenaan dengan negosiasi Fixture Note (Kontrak Pengapalan).
Adakah Port (Pelabuhan) yang mengikuti alur transaksi perdagangan CNF atau FOB?
Mungkin yang dimaksud “Port Follow the Trade” tingkatkan aktivitas trading terlebih dahulu, ketika geliat tradingnya meningkat baru kemudian dibangun port (pelabuhannya). Jika memang demikian, maka masih kurang tepat, karena sesuatu yang bisa mengikuti itu adalah sesuatu/benda yang bisa bergerak atau digerakkan. Kita tahu pelabuhan (port) adalah diam dan kita pelaku di industri maritim lebih melihat pelabuhan (port) sebagai infrastruktur pendukung aktivitas bongkar/muat kapal. Kami ingin sampaikan bahwa peran CIF dan FOB memiliki arti penting bagi pemilik kapal. Hal yang penting yaitu kepada siapa kontrol haluan (moncong) kapal ini akan diberikan? Kepada pembeli atau penjual? Dari sini kita bisa memahami bahwa kontrol kapal itu memiliki arti yang sangat penting dalam geliat trading di seluruh dunia.
*) lihai: kami maksudkan di sana adalah mereka yang mengerti market kapal, memiliki skill bernegosiasi dengan pemilik kapal dan satu hal lagi eksportir memang sudah populer di kalangan pemilik kapal ASEAN, Far East, dan lain sebagainya.
23 Desember 2016.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan/atau sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, serta tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI- Artikel Mengapa Ekspor Tidak dengan C&F dan Impor Tidak dengan FOB (Bagian #1) (930.5 KiB, 246 hits)