Oleh : Bambang Setia Gunawan
Director PT Prima Guna Dwitama
Penduduk Indonesia yang diperkirakan berjumlah 250 juta adalah pasar. Baik pasar bagi produk domestik, dan yang kita prihatin justru jumlah penduduk Indonesia yang besar itu adalah pasar bagi produk-produk luar negeri. Bagi produsen luar negeri Indonesia adalah surga produk-produk mereka dan sampai detik ini kita belum punya “filter” dan “awareness” bahwa kita perlu men-”support” produk-produk lokal. Paling tidak – jika kita punya produk yang “sejenis” dengan produk import maka produk Nusantara mesti didahulukan. Produk luar negeri yang membanjiri negeri kita inilah yang membuat “devisa” negara menipis, karena belanja akan produk-produk luar untuk konsumsi lokal sungguh sangat besar.
Pada tulisan ini, kita tidak akan membahas seluk beluk import produk asing dan loyalitas kita terhadap produk lokal. Penulis di sini hanya menggambarkan bahwa Indonesia memiliki potensi pasar yang besar, oleh karena gaya hidup penduduk Indonesia, serta daya serap konsumsi bangsa yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Bahasan kita kali ini adalah mengapa Eksportir tidak melakukan C&F/CIF ketika eksport dan Importir tidak melakukan FOB ketika import. Sesederhana itu, dan jawabannya pun sederhana – Karena ketidakpahaman warga Indonesia berkenaan dengan “Shipping”.
Begitu pentingnya ilmu tentang “Shipping” sehingga ketidakpahaman bangsa Indonesia berkenaan dengan itu seakan menjadi dibiarkan, dan kita sebagai bangsa besar seakan tak mampu mengelola industri ini. Di awal kita sebutkan 250 jiwa penduduk Indonesia adalah “pasar besar” tentu pasti membutuhkan banyak komoditi, di mana transaski import mau pun eksport di era sekarang sudah pasti tidak terbendung dan tidak mampu untuk dihindarkan.
Oleh karena itu pasar penduduk Indonesia yang besar ini justru merupakan “keunggulan” bagi bangsa kita, jika kita bisa meramu maka bangsa kita mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari jumlah penduduk yang 250 jiwa tersebut. Salah satunya dari pemahaman kita tentang ilmu “Shipping” itu tadi. Jika bangsa kita tetap tidak paham bisnis “Shipping” maka ke depan kita tidak punya daya saing dari sisi logistik. Sehngga untuk logistik Kemaritiman – kita lebih banyak menjadi penonton sehingga terus menerus bangsa Indonesia menjadi pemakai jasa dan produk asing lebih dominan. Kondisi ini sungguh memprihatinkan kondisi menjadi “penonton” dari waktu ke waktu seakan “dikondisikan”, namun sesungguhnya “peluang” terbuka lebar di sektor ini yang justru bisa menjadi pemasukan devisa yang besar bagi bangsa dan negara kita.
Akan tetapi “Shipping” kan bukan pekerjaan yang mudah…? Menghidupkan industri ini membutuhkan investasi besar. Pembelian satu unit kapal laut bisa mencapai juta-an us dollar. Apalagi di jaman seperti ini yang mana US dollarnya cendrung menguat.
Orang bijak warga negara Jepang pernah mengatakan bahwa “Sumber daya alam negara kami minim sekali, dan ketahuilah bahwa seluruh kekayaan dari luar negeri bisa kami datangkan ke negeri kami dan sumber daya alam luar negeri itu bisa menjadi milik kami, kuncinya adalah sumber daya manusia yang unggul…”
Jadi harus ada kebangkitan PEMIKIRAN. Perlu ada kebangkitan “pemahaman” untuk bangsa Indonesia. Memang kalau isunya harus membeli kapal, tentu harganya mahal, investasinya pun tentu sangat besar. Pemerintah kita di sisi lain belum memberikan fasilitas kredit “istimewa” kepada pelaku di sektor maritim. Untuk mendapatkan fasilitas kredit pembelian armada kapal laut, perbankan masih memberlakukan ketentuan yang berlaku umum yakni harus ada “own capital” kisaran sebesar 30% yang berlaku bagi siapa saja yang menggunakan fasilitas kredit dari bank.
Namun industri “Shipping” kita tidak serta merta harus melakukan pembelian kapal.
Kita di sini lebih merujuk kepada keuntungan dan keunggulan bernegosiasi kapal kepada shipowner langsung – jika kita menjual komoditi Indonesia ke luar negeri dengan C&F/CIF. Dan atau pun sebaliknya – jika kita membeli komoditi dari luar negeri dengan FOB. Pertanyaan bagaimana cara bernegosiasi dengan kapal breakbulk?
Nah pembahasan kita sekarang sudah mengkerucut, kita bicara skill bernegosiasi kapal, bukan pembelian kapal. Jadi “Shipping” yang kami maksud di sini adalah “seni bernegosiasi” itulah yang dilakukan jika kita sebagai Trader, Eksportir atau Importir. Seni yang kami maksud adalah seni bernegosiasi dengan pemilik kapal. Khususnya kapal-kapal yang berbendera asing. Kami katakan “seni” karena dinamika pengapalan yang berjalan dari waktu ke waktu tidak pernah sama. Selalu saja ada yang berbeda, itulah yang membuat orang-orang yang melakukan negosiasi kapal ini menyukai (mencintai) pekerjaan ini, karena tidak “monoton” meski kita mengontrol kapal-kapalnya di belakang meja, alias di dalam kantor masing-masing.
Pertanyaan berikutnya, apa sih keuntungan jika kita yang bernegosiasi langsung dengan pemilik kapal? Mengapa bukan Buyer / Pembeli saja yang bernegosiasi, karena kita (Trader / Ekportir / Importir) tidak “pusing” memikirkan harus membayar freight, “pusing” siapa ya yang mesti kita hubungi?, dan “pusing” pula bagaimana kalau ada penalti “demmurrage”?, intinya “pusing” urusan bayar-membayar sana sini, dan menambah banyak pekerjaan. Dan yang ada di pikiran para Trader/Eksportir/Importir adalah, bukan keuntungan yang didapat, malah buntung.
Aha.., di sini letak ketidakpahaman pelaku trading di tanah air. Banyak diantara kita berfikir “pendek” misalnya kalau hanya jualan komoditi, keuntungan sudah jelas di depan mata. Jual saja FOB, ambil dokumen B/L menukarkan ke bank dan jadi uang. Itulah yang dipikirkan sebagian besar pelaku perdagangan di Indonesia.
Nah di sinilah tantangannya dan kita diasah untuk menjalani“seni”-nya bernegosiasi dengan pihak ketiga. Oh ya selain bernegosiasi dengan pemilik kapal kita juga harus pintar bernegosiasi dengan Pembeli sebagai pihak kedua. Jadi Buyer/Pembeli adalah pihak kedua, Shipowner/Pemilik kapal kita sebut pihak ketiga. Yang terus menerus diasah adalah “skill” atau keahlian serta kejelian kita “meramu” negosiasi kapalnya sehingga hasil akhirnya trading selalu mendapat untung dari 2 (dua) kantong.
Kantong pertama untung yang didapat dari pihak Pembeli (Buyer), kemudian keuntungan dari kantong kedua didapat dari negosiasi dengan Shipowner/kapal laut. Sehingga sama sekali kita tidak bicara merugi, tapi kita bicara untung happy ending. Atau paling tidak hasil akhirnya jika memang kerugian itu mesti terjadi, kita bisa mengurangi kerugian.
Bicara keuntungan tentunya banyak keuntungannya, sehingga dapat kami rangkum keuntungan yang didapat dari bernegosiasi dengan pemilik kapal antara lain sbb:
- Jika sering melakukan C&F/CIF perusahaan kita akan semakin terkenal terutama oleh para pelaku bisnis pelayaran luar negeri. Jika satu perusahaan sering menggunakan kapal-kapal asing maka pada masa-masa mendatang perusahaan tersebut sudah punya “track record” Artinya mereka tahu Perusahaan tersebut memang pemain di Industri ini, khususnya dalam melakukan trading, eksport dan import. Begitu mereka (shipowner) tahu yang akan menyewa kapal mereka adalah Perusahaan kita, mereka tidak “rewel” lagi dan banyak tanya dengan berbagai macam hal. Tentunya jika Perusahaan sebagai “pemain baru” masuk di Industri ini, bahkan ada shipowner yang minta laporan keuangan, copy Bills of Lading dari pengapalan yang sebelumnya, bahkan ada yang meminta “down payment” pembayaran freight yang besarnya mencapai 20% s-d 30% sebelum kapal tiba. Down Payment yang dibayarkan sebelum kapal tiba di pelabuhan muat ini berisiko, karena jika kapal belum tiba, namun freight sudah dibayar, maka bisa saja uang tersebut “dilarikan” dan kapal tidak pernah muncul di pelabuhan muat. Ini sering terjadi. Kalau Perusahaan kita sering bernegosiasi langsung kepada pemilik kapal, tentu Perusahaan menjadi populer di mata para shipowner. Ini tentunya memberikan nilai “plus” dan ada efek “trust” di Pasar Kapal (shipowner market) dan ini nilainya secara komersil lebih dari sekedar uang. Nama Perusashaan akan berkibar di Industri Pelayaran Internasional. Pembeli (Buyer) pun akan senang karena kita bisa langsung mengontrol kapal, di sisi lain Shipowner sebagai pihak ketiga pun senang karena Perusahaan kita bukan “kacangan”. Hal ini disebabkan Perusahaan beserta para staff yang menangani kapal tahu betul konsekuensi dari mengapalkan sendiri komoditi yang dijual/dibeli.
- Keuntungan berikutnya, trader / eksportir tidak bergantung kapalnya kepada pihak pembeli. Keberadaan kapal ketika akan eksport komoditi adalah hal yang sangat mutlak. Tanpa ada kapal, maka tidak ada penjualan, tidak ada penjualan maka tidak ada keuntungan, tidak ada keuntungan maka perusahaan mundur dan berujung kepada kebangkrutan. Tentu ini yang tidak kita inginkan. Apa bedanya jika kapal didatangkan dari pembeli dengan kapal didatangkan dari penjual? Bedanya adalah informasi ketibaan kapal yang sering meleset. Dengan pembeli (jualan komoditi dengan FOB), sering terjadi kapalnya tiba telat dari tanggal yang telah disepakati. Padahal stock pile sudah penuh, atau jika pemuatannya dengan “transhipment” dari kapal tongkang ke mother vessel dan kapalnya datang telat, maka penjual terkena demurrage kapal-kapal tongkang. Dan hal ini sering terjadi, karena Pembeli yang mengontrol kapal “mother vessel” nya, bukan Penjual. Jika penjualan komoditi FOB, ketergantungan Penjual akan kapal dari Pembeli, dan keterlambatan mother vessel jika terjadi itu merupakan “cost” dan menganggu skedul stock pile dan skedul logistik pegudangan dsb.
- Keuntungan berikutnya Perusahaan mengerti market kapal. Artinya Perusahaan bisa ambil “gain” atau keuntungan dari freight. Ini tentu hal yang baru. Jadi untung itu tidak semata-mata didapat dari hasil trading (untuk tidak melulu dari hasil jualan), namun untung bisa diambil dari selisih freight, dan yakinlah bahwa keuntungan dari freight bisa didapat. Contohnya – kita anggap harga komoditi A harga per ton-nya usd265. Komoditi ini akan dikirim ke Hochiminh, Vietnam. Market kapal anggaplah kita tahu di angka usd19.00pmt. Tentu sebagai penjual kita buat estimasi harga jual komoditi “mentok”. Sehingga harga jual yang kita sodorkan ke pembeli adalah angka usd19.00pmt. Tentu kita jualannya ke Buyer dengan harga usd265 + usd19.00 = usd284pmt. Kalau kita jualan usd284pmt berarti kita “Break Event Point” kita tidak mungkin jualan di angka itu. Paling tidak harus ambil keuntungan minimal usd1.00. Jadi jual komodi A di angka usd285pm. Jadi sisi trading kita telah dapat untung usd1. Kemudian kita tahu dari freight kita bisa nego kurang dari usd19.00. Katakanlah bisa nego akhir menjadi usd15.00. Dengan demikian kalau kita bisa nego freight dan “fixed” di angka usd15.00 kita sudah dapat keuntungan usd4.00 dari freight Jadi total keuntungan menjadi usd5.00. Di mana usd1.00 dari jualan komoditi ditambah us4.00 dari freight. Jika kuantitinya sebesar 10.000ton, maka keuntungan bisa menjadi usd5.00 X 10.000ton = usd50.000 (tiga puluh ribu us dollar) – wow kok besar ya. Itulah ilustrasi sederhana, dan syaratnya harus jual C&F dan punya skill negosiasi kapal.
- Keuntungan yang berikutnya dari address commission. Nah yang untuk yang ini juga banyak pelaku trader, Eksportir dan Importir yang tidak tahu. Kalau kita menyewa kapal dan sebagai pembayar freight, maka kita bisa mendapatkan “address commission” atau komisi yang kembali kepada penyewa kapal. Itu merupakan hal wajar / lumrah dalam industri shipping. Berapa besarannya? Biasanya 1.25% maksimum 2.5% saja. Sebagai ilustrasi address commission misalnya 50.000ton batubara, dan freight-nya usd15.00 maka address commission-nya di kisaran 50,000ton X usd15.00 X 1.25% = usd9,375 (usd Sembilan Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima), yang nilainya cukup besar.
Keuntungan-keuntungan di atas yang kami catat jika para trader, Eksportir dan Importir yang mengontrol kapal / mereka yang membayar freight kapalnya. Artinya jika Eksport lakukanlah C&F dan jika Import lakukanlah FOB.
Di sisi lain, apa ya kekhawatiran para Eksportir / Importir jika mereka yang kontrol kapalnya?
Tentu dalam hal ini jawabannya sederhana, kekhawatiran itu karena “Mind Set”. Namun terlepas dari itu berikut hal-hal yang paling sering kami jumpai, antara lain :
- Eksportir / Importir harus investasi harus membayar Uang Tambang / Freight di depan. Mungkin yang menjadi keberatan adalah mereka belum lagi menerima pembayaran dari Pembeli / Buyer mereka, namun mereka sudah harus membayar Freight terlebih dahulu. Berapa jumlah freight yang harus mereka bayar? Bergantung hasil negosiasi freight-nya dan bergantung kuantitas kargonya. Ilustrasi jumlah pembayaran freight sbb: kuantitas kargonya 40,000ton dan freight-nya katakanlah usd11.00pmt maka jumlah freight yang harus dibayar ke Shipowner berjumlah 40,000ton X usd11.00 = usd440,000pmt. Nilai yang sangat besar, dan tentunya di Indonesia tidak banyak para trader yang memiliki dana / own capital sebesar itu, apalagi kita kalangan trader / Eksportir baru. Kalau penambang-penambang besar seperti Adaro, Arutmin, KPC, Kideco dsb dana sebesar itu bagi tidaklah seberapa, dan kendala pada mereka bukan pada “Own Capital” pembayaran freight. Namun kendala mereka lebih cenderung melihat dari “kerepotan” sisi logistik handling kargo di pelabuhan muatnya, dan staff “shipping” yang masih belum handal, dan mungkin pula mereka belum menganalisa keuntungan-keuntungan seperti yang kami ilustrasikan di atas yang bisa peroleh jika mereka langsung melakukan negosiasi pengapalan (CNF). Namun di sisi lain ada pula beberapa trader trader / Eksportir yang berani melakukan eksport dengan CNF namun mereka belum memiliki dana untuk membayar freight-nya. Solusinya : Untuk pemain besar, menurut kami ada baiknya mengkaji manfaat-manfaat yang telah kami uraikan di atas. Di satu sisi mereka harus memiliki staff yang handal yang mengetahui seluk-beluk shipping serta ke mana mereka harus berhubungan untuk mencari kapalnya. Karena Own Capital atas pembayaran Freight yang dibayar di depan pada saat kapal berlayar merupakan hal yang mudah bagi mereka. Jika para trader / Eksporter sesering mungkin melakukan CNF Efeknya dalam skala makro industri shipping di Indonesia bisa tumbuh kuat, berkembang dan perekonomian Indonesia dari sisi Pertumbuhan Ekonomi semakin meningkat. Karena prolehan devisa yang kami ilustrasikan di atas. Namun bagi trader, eksporter, pemain-pemain kecil bisa CNF jika meyakinkan Pembeli mereka, bahwa ada “porsi” freight” yang bisa dicairkan bilamana Penjual telah konfirm mendapatkan kapalnya. Jadi klausul L/C (Letter of Credit) bilamana CNF bisa ditambah atau dibuat satu klausul yang isinya : porsi keuangan yang kita sebut “freight” yang bisa dicairkan bilamana kapalnya sudah ada. Dan kita harus tahu betul bahwa L/C itu bisa dibuat “custom”. L/C tidaklah kaku, atau L/C formatnya tidak pernah baku. L/C subject negosiasi antara Penjual dan Pembeli. Klausul- klausul di dalam L/C ditambahkan atau bisa dikurangi oleh pihak Penjual/Pembeli. Agar mereka bisa melakukan CIF / CNF maka komponen pencairan freight bisa dicairkan di awal oleh Penjual, dan tentunya harus dikomunikasikan ke pihak Pembeli/Buyer-nya. Dan justru banyak pihak Buyer / Pembeli yang senang sekali jika mereka membeli komoditi dari Indonesia dengan CNF / CIF, di mana Penjual yang menominasikan kapalnya.
- Pencairan L/C atas penjualan komoditi yang tidak bisa 100% jika menjual CIF/CNF. Ada beberapa penjual komoditi katakanlah Batubara yang ketika melakukan CIF / CNF lantas bilamana kapal selesai bongkar di pelabuhan yang dituju, pemcairan L/C tidak bisa dilakukan 100%. Hanya 95% saja bisa dicairkan, sehubungan karena klaim-klaim dari Sementara 5% dari harga komoditi bilangannya cukup besar. Dan kebanyakan klaim yang berupa penurunan kualitas kargo. Karena kontrol kualitas kargo bilamana CNF/CIF itu tanggung jawabnya hingga kargo tiba di pelabuhan bongkar. Jika mereka jual FOB maka tanggung jawab kualitas komoditinya hanya sampai di pelabuhan muat saja. Jika FOB ketika selesai muat dan original Bills of Lading dapat diambil, maka penjualan komoditi tersebut bisa dicairkan di bank. Ini ada benarnya, namun efek yang seperti ini sifatnya perdagangan “instant” dan Perusahaan tidak pernah melakukan “improvement” / pembelajaran yang lebih luas lagi di mana sesungguhnya perusahaan berpeluang bisa mengambil “profit” dari pengapalan. Banyak para trader, eksportir yang belum tahu ketika CIF/CNF sesungguhnya perusahaan dapat menarik keuntungan dari pengapalan, tidak hanya untung dari sisi trading. Solusinya: Bahwa kekhawatiran ketika melakukan CNF/CIF bisa saja mencairkan L/C hingga mencapai 100% dari penjualan. Hal ini jika dan hanya jika Penjual / Eksportir memiliki skill negosiasi yang kuat. Sekali lagi kami sampaikan bahwa klausul pada L/C bukanlah kaku. Bangsa kita harus pintar bernegosiasi, dan memiliki keyakinan yang utuh bahwa Pembeli / Buyer betul-betul membutuhkan komoditi dari Indonesia. Kita harus tahu jika komoditi tersebut tidak didapat dari Indonesia, maka mereka (Buyer) mendapatkan dari tempat lain yang lebih jelek kualitasnya, dan lebih mahal harganya. Contohnya batubara, biasanya yang membutuhkan komoditi ini adalah “Power Plant” atau Pembangkit Listrik. Bisa dibayangkan jika tidak ada batubara, maka listrik akan mati, jika listrik mati, industri pun mati, jika industri mati maka ekonomi terpuruk. Buyer batubara bisa saja kalah dari sisi pembayaran freight jika membeli dari negara lain, hal ini karena jarak negara peng-eksport jika mereka import dari tempat lain saling berjauhan. Di samping itu Perusahaan eksportir harus “rajin” update kondisi kargo dan kapalnya selama proses pemuatan dan pembongkaran. Artinya harus kirim orang / staff-nya baik di pelabuhan muat mau pun di pelabuhan bongkar. Dan staff yang dikirim itu betul-betul melihat proses pemuatan atau pembongkarannya. Tidak hanya sekedar dikirim kemudian cuma sebagai saksi, namun harus “rewel” dan proaktif serta protes jika ada pihak-pihak yang menghambat proses pemuatan dan pembongkaran. Sehingga klaim-klaim dari pihak Buyer berkenaan dengan kualitas tidak dibuat-buat hanya untuk mengurangi harga jual Eksportir.
- Takut terkena Entah mengapa para trader / Eksportir merasa sangat gentar dengan hantu pengapalan bernama “demurrage”. Padahal sebenarnya demurrage (penalti) pengapalan itu bisa dihindari, sepanjang kargonya siap dan seluruh fasilitas muat dan bongkarnya juga siap sedia. Solusinya: Di pelabuhan muat, seperti yang sebelumnya, seluruh logistik yang berkenaan atas pengapalan serta kargonya sudah harus siap, apakah pemuatan model transhipment (dari tongkang ke mother vessel), juga model pemuatan di mana mother vessel-nya sandar di pelabuhan. Dan pencapaian jumlah kecepatan muat kargonya masuk ke lambung kapal harus sesuai dengan kontrak, misalnya pada kontrak disepakati kecepatan muat sebesar 8,000ton per hari, maka harus tercapai 8,000ton. Angka 8,000ton parameternya adalah standar kerja buruh PBM di pelabuhan tempat muat. Begitu pula di pelabuhan bongkar, harus diketahui secara persis dari pihak Buyer (Pembeli) berapa aktual kecepatan pembongkaran di pelabuhan bongkar yang dimaksud. Bilamana perlu kirim orang untuk survey sebelum transaksi penjualan dilakukan, karena kita kan ingin hubungan bisnis panjang, sehingga mengirim orang dianggap sangat perlu. Dan di setiap pembongkaran wajib hukumnya mengirimkankan staff / orang yang mewakili Perusahaan khusus untuk terus mengamati proses muat atau bongkar dan stay (tinggal) sementara di pelabuhan muat. Jika kapal bongkar maka staff tersebut juga stay (tinggal) di pelabuhan bongkar selama proses pemuatan dan/atau proses pembongkaran berlangsung. Sehingga Perusahaan tahu betul kendala apa yang terjadi di lapangan. Orang yang di lapangan tersebut memberikan update berupa informasi yang akurat dan yang terpenting staff yang berada di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar tidak hanya “menonton” atau pun sekedar “survey” saja, tanpa berbuat apa pun, melainkan bergerak pro aktif untuk : 1. melakukan percepatan kapal sandar dan kemudian 2. berupaya semaksimal mungkin muat dan / atau bongkar kargonya sesuai dengan kontrak. Bilamana diperlukan harus mengeluarkan biaya agar kedua hal di atas bisa lebih dipercepat dan agar tidak terkena demurrage yang biasanya penalti-nya / jumlah uangnya lebih besar. Khusus di pelabuhan bongkar, jika terjadi demurrage maka bisa diberlakukan “back to back” artinya jika kita di-klaim oleh shipowner, maka trader / eksportir bisa mengklaim balik kepada pembeli.
Jadi ketiga hal tersebut di atas yang paling sering terjadi, karena itu merupakan “cost” atau biaya yang akan dikeluarkan pihak trader / eksportir.
Kesimpuan yang dapat diambil antara lain:
- Bahwa dengan melakukan eksport CIF / CNF ternyata dapat menghasilkan keuntungan di luar keuntungan dari sisi trading-nya. Keuntungan ini dapat diambil dengan memiliki skill posisi negoasiasi yang kuat, serta memahami pasar kapal. Ada tools-nya agar memiliki skill negosiasi dan pasar kapal, salah satunya dengan memahami “weekly report” harga sewa kapal juga “weekly report” harga komoditinya yang selalu ter-update. Atau ketika nego, merasakan turun / naiknya harga freight sehingga terlihat secara kontras kapan waktunya “owners’ market” atau / dan “charterers’ market”. Sehingga eksportir / trader bisa mendapatkan keuntungan dari 2 (dua) kantong, kantong pertama dari jualan komoditi kargo, kantong kedua keuntungan dari selisih freight dengan pihak shipowner. Keutungan ketiga didapat dari “address commission” sebesar 1.25% dari total freight.
- Posisi bernegosiasi Perusahaan semakin kuat di industri Pelayaran Internasional, dan di kalangan pemilik kapal – perusahaan yang mengontrol kapal selalu mendapat perhatian yang khusus di kalangan pemilik kapal, dan mereka berlomba-lomba memperebutkan agar mengangkut kargo dari Perusahaan yang sering melakukan CIF/CNF.
- Secara makro, jika para trader/eksportir melakukan CIF/CNF tentu di masa-masa mendatang industri maritim di tanah air menjadi kuat, serta pemasukan devisa negara semakin bertambah. Keuntungan makro lainnya pertama terjadi “improvement” bagi bangsa kita dari sisi perdagangan Internasional, kedua sektor maritim pelayaran niaga akan maju di masa-masa mendatang. Tidak menutup kemungkinan sisi trading dan maritim inilah yang justru menjadi primadona pemasukan devisa dan trigger pertumbuhan ekonomi di era mendatang.
Hal-hal yang menjadi “ketakutan” dari trader/Eksportir itu bisa ditepis dengan kondisi di mana komitmen kita melakukan CIF/CNF dengan terus menerus melatih staff yang berdedikasi tinggi, dan terus melakukan pelatihan.
Download Artikel ini:
Mengapa Eksportir Eksport Tidak Melakukan CF dan Importir Ketika Import Tidak FOB Bagian I (522.1 KiB, 644 hits)