Oleh: Dr. Zaroni, CISCP., CFMP.
Head of Consulting Division | Supply Chain Indonesia
Inventory berperan penting dalam hampir semua jenis organisasi. Pada perusahaan jasa, Inventory berupa material dan supplies yang diperlukan untuk memberikan layanan kepada pelanggan. Pada perusahaan dagang, Inventory berupa barang dagangan (merchandise Inventory) yang dibeli dari pemasok untuk selanjutnya dijual kembali ke pembeli, tanpa mengubah fisik barang.
Berbeda dengan perusahaan jasa dan perusahaan dagang, pada perusahaan manufaktur Inventory berupa material yang selanjutnya dikonversi menjadi barang jadi (finished goods). Pada perusahaan manufaktur, jenis Inventory terdiri dari: material, barang dalam proses (work-in process), dan barang jadi. Proses konversi dari material menjadi barang jadi memerlukan sumber daya tenaga kerja dan overhead pabrik (factory overhead).
Dalam konteks supply chain, pengelolaan Inventory menjadi penting untuk mencapai tingkat Inventory yang optimal. Sebab, perusahaan yang mengalami kelebihan (surplus) Inventory, akan menanggung banyak modal kerja, biaya penyimpanan, pajak, asuransi, dan risiko kerusakan dan kehilangan Inventory. Sementara perusahaan yang mengalami kekurangan (shortage), perusahaan akan kehilangan kesempatan untuk memenuhi order penjualan, dan kekurangan material untuk proses produksi, sehingga dapat menurunkan daya saing perusahaan.
Manajemen Inventory mencakup perencanaan dan pengendalian Inventory untuk memenuhi prioritas perusahaan dalam memertahankan daya saingnya di pasar. Dalam logistik dan supply chain, Inventory menjadi salah satu aliran penting yang dikelola, selain aliran informasi dan aliran uang.
Trade-off
Pertanyaan mendasar yang umumnya diajukan dalam mengelola Inventory adalah berapa banyak Inventory yang sebaiknya dimiliki perusahaan. Jawaban atas pertanyaan ini merupakan trade-off antara kelebihan dan kekurangan dalam menyimpan Inventory. Tergantung situasinya, ada beberapa tekanan yang mendorong mengapa perusahaan menyimpan Inventory dalam jumlah sedikit atau banyak.
Inventory merupakan salah satu jenis aset lancar. Menyimpan Inventory memerlukan pendanaan modal kerja, untuk pembelian Inventory dalam jumlah dan harga tertentu. Pendanaan modal kerja diperhitungkan sebagai biaya modal (cost of capital). Umumnya cost of capital ini dihitung dengan menggunakan weighted average cost of capital (WACC), rata-rata biaya modal atas komposisi modal ekuitas dan pinjaman.
Biaya modal yang diperhitungkan dalam investasi modal kerja di Inventory merupakan opportunity cost. Besarnya investasi modal kerja di Inventory yang diperhitungkan dengan biaya modal inilah yang menjadi pertimbangan mengapa perusahaan hanya perlu menyimpan Inventory dalam jumlah kecil.
Umumnya, pertimbangan perusahaan memegang Inventory dalam jumlah kecil karena alasan biaya modal, biaya simpan dan handling, biaya pajak, biaya asuransi, serta risiko kehilangan dan kerusakan Inventory.
Sementara itu, perusahaan yang menyimpan Inventory dalam jumlah besar umumnya didasari pertimbangan untuk menjaga dan meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, mengurangi biaya pemesanan (ordering cost), biaya set-up, utilisasi tenaga kerja dan mesin-mesin, mengurangi biaya transportasi, dan memeroleh pengurangan harga pembelian Inventory dari pemasok karena membeli dalam jumlah besar.
Trade-off antara menyimpan Inventory dalam jumlah kecil dan besar menjadi keputusan penting bagi manajemen untuk mengelola Inventory secara efektif dengan biaya yang paling efisien.
Klasifikasi Inventory
Perusahaan membedakan jenis Inventory dari berbagai perspektif. Dari perspektif akuntansi, Inventory dibedakan dalam jenis Inventory: persedian bahan baku (raw material), persediaan barang dalam proses (work-in process), dan persediaan barang jadi (finished goods).
Bahan baku merupakan barang jadi dari pemasok. Bahan baku menjadi input faktor produksi bagi manufaktur untuk selanjutnya dikonversi menjadi barang dalam proses dan barang jadi. Barang jadi selanjutnya dijual perusahaan ke konsumen.
Pembedaan Inventory bisa dilihat dari perspektif kebutuhan permintaan pasar. Inventory yang tergantung dengan kondisi permintaan pasar merupakan Inventory kategori independent demand items, yaitu keputusan penentuan stok Inventory dipengaruhi oleh permintaan pasar. Perusahaan tidak dapat mengendalikan berapa stok Inventory kategori ini. Contoh Inventory kategori independent demand items ini adalah:
- Inventory di pedagang besar dan ritel.
- Inventory di service support.
- Inventory di product & replacement distribution.
- Inventory di maintenance, repair, and operating (MRO).
Pengelolaan independent demand Inventory memerlukan keakuratan forecast, sebab besarnya Inventory lebih banyak ditentukan oleh permintaan pasar, yang merupakan external factors. Penggunaan teknik forecast seperti linear regression, time-series (simple moving average, weighted moving average, dan exponential smoothing) akan membantu manajer dalam mem-forecast permintaan pasar terhadap independent demand Inventory.
Sebaliknya, Inventory yang lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan internal, seperti kebutuhan bahan baku untuk memenuhi proses produksi, disebut dependent demand items. Penentuan berapa stok dan kebutuhan Inventory kategori ini dilakukan dengan cara menghitung, bukan mem-forecast. Penggunana metode “Efficient Resource Planning” dapat membantu manajer dalam menentukan berapa stok dan kebutuhan dependent demand Inventory dengan akurat.
Pembedaan Inventory berikutnya berdasarkan perspektif operasional. Inventory dari perspektif ini dibedakan menjadi cycle Inventory, safety stock Inventory, anticipation Inventory, dan pipeline Inventory.
Cycle Inventory merupakan proporsi dari Inventory yang bervariasi secara langsung dengan lot size Inventory. Cycle Inventory dihitung dengan cara rata-rata cycle Inventory:
Lot sizing merupakan penentuan berapa kali (frequently) dan dalam jumlah berapa untuk melakukan order pembelian Inventory.
Nilai lot size, Q, berhubungan langsung dengan waktu yang diperlukan (cycle) antaroder pembelian Inventory. Bila waktu antaroder selama 5 minggu, maka rata-rata lot size persediaan harus sama dengan kebutuhan permintaan dalam 5 minggu. Semakin lama waktu yang diperlukan antarorder, maka semakin besar lot size.
Safety stock Inventory merupakan kelebihan Inventory yang diperlukan untuk mengantisipasi ketidakpastian dalam permintaan, lead time, dan perubahan pasokan, baik dari sisi jumlah pasokan stok, kualitas, dan waktu pengiriman barang dari pemasok.
Anticipation Inventory merupakan Inventory yang digunakan untuk meng-absorb tingkat permintaan atau penawaran yang tidak bisa diprediksi dengan tepat.
Pipeline Inventory merupakan Inventory yang dihasilkan manakala order pembelian Inventory telah dilakukan, namun Inventory belum diterima.
Manajer berusaha melakukan pengurangan stok Inventory agar pengelolaan supply chain efisien dan efektif. Beberapa cara yang dilakukan untuk mengurangi stok Inventory:
- Cycle Inventory: mengurangi lot size melalui pengurangan order lead time dan menerapkan repeatability dengan penggunaan spesialisasi dan flexible automation.
- Safety stock Inventory: melakukan order pembelian mendekati dengan perkiraan waktu penerimaan Inventory melalui peningkatan keakuratan demand forecast, dan mengurangi lead time order pembelian.
- Anticipation Inventory: menandingkan sedekat mungkin antara tingkat permintaan dengan produksi.
- Pipeline Inventory: mengurangi lead time order pembelian dengan waktu penerimaan barang.
Analisis Inventory
Umumnya teknik analisis Inventory untuk pengelolaan Inventory yang digunakan adalah ABC analysis dan EOQ (economic order quantity).
ABC Analysis. Analisis ABC merupakan proses membagi Inventory berdasarkan 3 kelas berdasarkan nilai (monetary value) Inventory dan persentase SKUs (stock keeping units). Pengelompokkan kelas Inventory menggunakan Pareto chart. Inventory kelas A, adalah Inventory 20% SKU dengan nilai 80% Inventory total. Sementara Inventory kelas B, merupakan Inventory 30% SKU dengan nilai hanya 15% Inventory total. Inventory kelas C, yaitu Inventory 50% SKU dengan nilai kurang dari 5% Inventory total.
Tujuan dari ABC analysis ini sejatinya membantu manajer dalam mengidentifikasi SKUs Inventory kelas A, sehingga manajer dapat fokus untuk merencanakan dan mengendalikannya.
EOQ (Economic Order Quantity). EOQ merupakan metode penentuan lot size Inventory dengan biaya pengelolaan Inventory paling efisien. EOQ didasari pada asumsi bahwa biaya pengelolaan Inventory terdiri dari biaya penyimpanan (holding cost) dan biaya pemesanan (ordering cost). Rumus menentukan EOQ:
Dimana, D merupakan demand, S adalah order cost, dan H adalah holding cost.
Penggunaan EOQ hanya efektif apabila perusahaan menerapakan strategi “make-to-stock”, permintaan relatif stabil, carrying cost per unit, ordering cost diketahui dan relatif tetap.
Referensi: Krajewski et al. (2016). Operations Management. Process and Supply Chain, 11th edition.
5 Juni 2017
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Mengelola Inventory (1,008.3 KiB, 1,479 hits)