Oleh: Kyatmaja Lookman
Chief Executive Officer | PT Lookman Djaja
Tidak lama lagi Pemerintah akan menerapkan kebijakan B20 untuk Solar PSO (Public Service Obligation). Perlu diketahui selama ini campuran Biosolar di pasar tidak konsisten karena ada yang berjenis B5, B10, dan B15. Beberapa hal yang perlu kita ketahui bersama, ketika saya mengikuti rapat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ada beberapa temuan penggunaan Biosolar, yaitu pemakaian Biosolar ini akan meningkatkan penggunaan bahan bakar hingga 2,3%, service interval yang semakin singkat, dan ada temuan filter menelik.
Saya merasa sedikit heran ketika Pemerintah akan menjalankan program ini ketika harga CPO di kisaran Rp 8.000 hingga Rp 9.000 per liter. Bukankah ini akan menambah beban subsidi jika dicampur dengan solar subsidi yang pada saat ini hanya Rp 5.150 per liter?
Program B20 ini akan tetap berjalan walaupun spesifikasi teknis kendaraan yang beredar pada saat ini B7 dan B10. Agen Pemilik Merek (APM) pun hanya berani menjamin untuk kendaraan keluaran 2016 ke atas. Sebagai negara yang menganut sistem kelaikan kendaraan bukan umur kendaraan maka kendaraan yang ada akan menjadi korban dari kebijakan ini khususnya bagi yang belum memiliki spesifikasi yang memadai.
Kendaraan yang tidak FAME/Biodiesel ready itu jumlahnya sangat besar. Menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terdapat 4,3 juta kendaraan yang harus kita pikirkan nasibnya karena implementasi kebijakan ini. Truk adalah konsumen terbesar Biodiesel. Jika sampai kendaraan ini banyak yang bermasalah dengan kebijakan pemerintah maka logistik dan transportasi kita akan sangat terbebani di tengah biaya logistik kita yang mahal.
Pemerintah seharusnya tidak perlu terlalu terburu-buru dalam mengimplementasikan Biodiesel. Contoh yang diambil hanya di daerah Jabotabek-Jabar selama 40.000 km dengan menggunakan kendaraan penumpang kecil. Seharusnya sebagai konsumen terbesar dan yang terdampak langsung dengan kebijakan ini, maka truk dan usianya akan terdampak dijadikan contoh dengan kondisi lingkungan kerja yang jauh lebih ekstrem.
Beberapa uji coba dari APM pun kurang memadai seperti uji hanya dilakukan dengan uji mesin saja dan bukan uji laik jalan serta menggunakan solar yang ada di pasar di mana campuran B20 tidak konsisten. Oleh karena itu, harus kita lakukan kajian sangat mendalam terkait kebijakan ini jangan sampai setelah aturan diterbikan kemudian menjadi masalah lalu dicabut lagi. Seakan tidak bijak dalam mengeluarkan aturan.
Biodiesel memiliki sifat korosif dan asam sehingga jika tertarik dalam ruang bakar maka lama kelamaan mesin menjadi ngempos dan kehilangan tenaga alias rusak. Kendaraan yang lama juga tidak FAME ready dan untuk membuat FAME ready maka karet, hose, dan gasket semua harus diganti dengan melakukan modifikasi mesin. Kedua tanki solar harus dilapisi anti karat karena sifatnya yang korosif dan tambahkan water separator filter.
Kendaraan lama sebaiknya diganti sistem fuel delivery dan tankinya karena sifat FAME yang membersihkan akan mengangkat residu di dalam tanki dan membawa kotoran tersebut ke ruang bakar. Apabila tidak memiliki sitem penyaringan yang baik akibatnya mesin akan mengalami kerusakan terlebih jika Pemerintah mengimplementasikan tanpa sosialisasi ke semua stakeholder.
Dalam implementasinya FAME/CPO ini memiliki sifat mengikat air. Kita tahu bahwa minyak tidak akan pernah menyatu dengan air. Zaman dahulu yang dicampurkan ke solar itu adalah minyak tanah karena harga minyak tanah yang lebih murah. Oleh karena itu, disiasatilah dengan sedimenter filter. Celakanya Biosolar ini memiliki sifat mengikat minyak dan air sehingga ketiganya bisa tercampur. Saat ini disiasati dengan water separator filter untuk mencegah masuknya air ke ruang bakar.
Supply chain solar kita sangat payah. Ada kejadian beberapa waktu lalu di Jakarta entah pemilik POM nya yang nakal atau dari campurannya sehingga kandungan air sangat tinggi dan banyak truk yang rusak pada waktu itu. Sifat Biosolar ini banyak dimanfaatkan POM nakal untuk mencampurkan air agar menambah volume. Contoh B20 harusnya 20% FAME dan 80% solar, bisa jadi 79% solar, 19% FAME, dan 2% air. Lalu siapa yang akan memastikan hal ini?
Pada dasarnya spesifikasi teknis itu susah sekali ditawar kecuali dilakukan modifikasi mesin (upgrade) atau di-scrap truknya. Hanya dengan truk yang FAME ready engine kebijakan ini bisa diimplementasi jika kita ingin terus menjalankan program ini demi tercapai kemandirian energy nasional.
Perlu diingat sekarang ini zaman permainan tariff barrier sudah “tidak zaman” walaupun Donald Trump mulai memainkannya lagi. Non-tariff ini dimainkan oleh Thailand kepada Kamboja di mana Thailand Euro 4 truknya bisa masuk Kamboja akan tetapi Kamboja Euro 2 truknya tidak bisa masuk ke Thailand. Sama hal nya seperti ekspor kita ke Vietnam terhambat karena masalah emisi, itu pernyataan Bapak Presiden saat GIIAS. CPO kita juga dihadang masuk Eropa karena isu lingkungan.
Dengan semakin boros 2,3% maka hitungan target emisi kita semua harus dievaluasi. Negara lain menyatakan akan lebih cepat mencapai target emisi untuk menurunkan barrier masuk ke negara lain, kita malah menambah barrier karena target emisi kita tidak tercapai. Sudah saatnya kita fokus ke penurunan emisi untuk mengurangi barrier. Mesin-mesin yang ada sekarang pun itu standar Euro 4. Tidak mungkin pabrik terus membuat mesin lama karena tidak akan mencapai economies of scale dan akan mengakibatkan biaya tinggi untuk mereka. Anehnya mesin common rail Euro 4 justru di-downgrade ke Euro 2 di Indonesia karena masalah kualitas BBM.
Target emisi kita masih jauh dari yang diharapkan dari target Presiden yaitu 26% di tahun 2030, sementara saat ini hanya tercapai 2,6% saja. Dibutuhkan langkah-langkah yang lebih agresif dan nyata karena jika tidak maka akan lebih banyak ekspor kita yang dinontarifkan, sama dengan negara-negara lain karena isu lingkungan dan pada akhirnya defisit anggaran semakin besar.
17 Agustus 2018
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Penerapan Kebijakan B20 (648.9 KiB, 844 hits)