Oleh: Dr. Dhanang Widijawan, S.H., M.H. | Senior Consultant at Supply Chain Indonesia
Pemerintah berencana merevisi Perpres No. 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Revisi Perpres bertujuan mengawal Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X, yang digulirkan pekan lalu (11/2). Cakupan revisi Perpres, terutama, terkait dengan perubahan Daftar Negatif Investasi (DNI).
Rencana Perubahan Daftar Negatif Investasi (DNI, Perpres 39/2014), memberi peluang bagi kepemilikan asing untuk menjadi mayoritas, bahkan hingga 100%. Indikasi peluang ini menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku usaha lokal, khususnya yang berskala Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK).
Para pelaku UMKMK di bidang jasa distribusi, pergudangan, dan cold storage, misalnya, sangat beralasan dengan kekhawatiran tersebut. Dengan kepemilikan modal yang terbatas, tentu sulit bersaing dengan investor asing dengan komposisi modal mayoritas, atau bahkan hingga 100%.
Disadari bahwa Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X merupakan konsekuensi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC). Namun, perlu pula dicermati bahwa perlindungan bagi pelaku UMKMK, juga merupakan amanat Konstitusi.
Revisi Perpres DNI perlu memberikan kepastian hukum tentang cakupan skema kerja sama antara investor asing dan pelaku UMKMK sesuai konstitusi dan regulasi nasional.
Merujuk UUD 1945 Pasal 33 Ayat (4), Tap MPR No. XVI/MPR/1998, UU Penanaman Modal (No. 25/2007), UU Pemerintahan Daerah (No. 32/2004), UU Perseroan Terbatas (No. 40/2007), UU UMKM (No. 20/2008), dan UU Perkoperasian (No. 17/2012).
Konstitusi dan regulasi-regulasi nasional secara tegas menyatakan bahwa Politik Ekonomi dibangun dan dikembangkan dalam rangka Demokrasi Ekonomi Nasional. Artinya, keberpihakan politik ekonomi diwujudkan melalui kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi rakyat (UMKMK) sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Kepastian hukum terkait dengan terminologi yuridis “kepemilikan asing” (mayoritas 100%, rencana Revisi DNI, dan Perpres 39/2014), terlebih dahulu harus merujuk pada norma-norma hukum dalam UU UMKM (No. 20/2008): Pasal 1 Ayat (4), Pasal 21 Ayat (3), dan Pasal 32. Ketentuan-ketentuan ini mengatur tentang usaha besar, pinjaman, penjaminan, hibah, pembiayaan, dan modal patungan. Keselarasan terminologi dan rujukan yuridis, selanjutnya dirumuskan dalam skema kerja sama antara “kepemilikan asing” dan Ruang Lingkup UMKMK.
Penyelarasan terminologi yuridis tersebut inline dengan UU Penanaman Modal (No. 25/2007) Pasal 13 Ayat (1). Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha UMKMK dan bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar. Syaratnya, harus bekerja sama dengan UMKMK. Penyelarasan-penyelarasan ini berlaku pula terhadap UU Perkoperasian (No. 17/2012: Pasal 74).
Harmonisasi dan sinkronisasi regulasi-regulasi penanaman modal dan UMKMK, secara hirarki-filosofis, merupakan manifestasi dari “Ruh” Politik dan Demokrasi Ekonomi (UUD 1945 Pasal 33 Ayat (4) dan Tap MPR No. XVI/MPR/1998). Manifestasi yang diakselerasi oleh Visi Nawacita melalui Paket-paket Kebijakan Ekonomi.
Pada sisi lain, berdasarkan hirarki perundang-undangan, maka, produk hukum Revisi DNI (Perpres 39/2014) harus dalam bentuk Perpres pula. Hal ini sesuai atribusi UU Penanaman Modal (No. 25/2007) Pasal 12 Ayat (3) dan Ayat (4). Kecuali, apabila Pasal ini akan diubah, sehingga atribusinya menyatakan dalam bentuk PP.