Oleh: Prof. Togar M. Simatupang, Ph.D.
Guru Besar Sains Manajemen | Institut Teknologi Bandung
Program tol laut mengangkat logistik maritim dalam mewujudkan pembangunan inklusif. Implementasi tol laut mengalami evolusi seiring dengan tantangan di lapangan dan telah memberikan tanda-tanda keberhasilkan memperkecil disparitas harga. Keberhasilan program tol laut mempunyai batas ketika perhatian terfragmentasi hanya pada segmen laut.
Potensi keberhasilan tol laut dalam menggerakkan roda perekonomian yang efisien dan merata tergantung pada cara pandang yang dianut dalam pengembangan tol laut. Cara pandang saat ini pada RPJMN 2015-2019 memandang angkutan laut sebagai kendala yang menimbulkan disparitas harga. Penyediaan tol laut sebagai lintasan adalah solusi alamiah yang dikenal dengan pendekatan trayek.
Pendekatan trayek
Gagasan awal tol laut adalah membangun transportasi laut dengan kapal atau sistem logistik kelautan, yang melayani rute bolak-balik tanpa henti dari Aceh hingga Papua. Konektivitas melalui kapal yang berlayar secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia diasumsikan membuat biaya logistik menjadi murah dan harga-harga yang berkaitan dengan kebutuhan pokok juga turun.
Keterbatasan faktor penunjang seperti kesiapan pelabuhan laut dan sarana kapal membuat Kementerian Perhubungan mengambil langkah pragmatis dengan pendekatan trayek yang merupakan lintasan yang menghubungkan pelabuhan pangkal maupun singgah yang dapat menciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok. Skenario yang berkembang adalah mengoptimalkan pengelolaan tol laut dengan mencari penghematan di seputar rangkaian kegiatan tol laut. Instrumen yang digunakan meliputi diskon tarif, subsidi, infrastruktur pelabuhan, pengadaan kapal tol laut, optimasi jaringan trayek pelayaran, harmonisasi perizinan, ataupun perbaikan arus masuk dan keluar barang di pelabuhan.
Ada tiga trayek yang dioperasikan pada tahun 2015. Kemudian dilakukan penambahan trayek menjadi 6 rute dan pelabuhan singgah menjadi 31 pelabuhan pada tahun 2016 dengan subsidi Rp218,9 miliar. Pada 2017 trayek tol laut bertambah menjadi 13 trayek dan subsidi naik menjadi Rp355 miliar. Jumlah trayek meningkat lagi menjadi 18 trayek aktif tahun 2018 yang dioptimalkan menggunakan skema pengumpul dan pengumpan (hub and spoke) dengan besaran subsidi senilai Rp447,6 miliar. Jumlah lintasan tahun 2019 tetap sebanyak 18 trayek tol laut, 14 di antaranya merupakan trayek jarak jauh (direct call), sedangkan 4 sisanya trayek penghubung (feeder). Subsidi 2019 sebesar Rp222 miliar.
Tren pencapaian tol laut menunjukkan peningkatan realisasi muatan dan penurunan harga di wilayah timur Indonesia. Merujuk data Kementerian Perhubungan, realisasi muatan tol laut 2017 sebesar 41,2 persen atau mencapai 212.865 ton dari target 517.200 ton. Sementara realisasi muatan baliknya sebanyak 20.274 ton. Tol laut juga dilaporkan mampu menekan disparitas harga 10-15%.
Pandangan lintasan laut mengabaikan adanya peluang perbaikan di luar tol laut pada rangkaian besar dari simpul asal barang sampai pada barang tersebut diterima oleh pelanggan dan muatan balik. Tol laut adalah satu segmen yang dianggap kendala untuk mengurangi biaya tol laut padahal masih ada segmen moda angkutan lainnya dari dan ke pelabuhan. Anggapan yang keliru adalah reduksi ongkos angkutan laut serta merta mengurangi harga barang yang sampai di tangan konsumen. Beberapa faktor yang menentukan ongkos angkutan laut di luar pengaruh penentu kebijakan, seperti posisi geografis, harga bahan bakar, dan ketidakseimbangan perdagangan. Sistem pendulum muatan dua arah sulit terjadi. Juga tidak ada insentif untuk melakukan investasi jangka panjang karena ketidakpastian keberlanjutan sistem trayek.
Keadaan marginal diperburuk dengan permainan para pelaku. Pendekatan trayek sensitif terhadap naik turunnya tarif yang bisa menggerus penghasilan pengguna tol laut. Masing-masing kelompok pelaku tetap mempertahankan kelakuannya untuk merogoh keuntungan yang maksimum. Disparitas harga tidak turun karena para pegadang cenderung menjual barangnya pada pelabuhan singgah bukan di lokasi pelanggan yang memerlukan barang. Kalaupun sampai di lokasi tujuan pelanggan, pedagang tetap menjual barang dengan harga yang berlaku. Belum lagi termasuk benturan kepentingan antara operator trayek tol laut dan kapal niaga swasta yang melayani trayek yang sama.
Perspektif rantai nilai
Suatu rantai nilai adalah jaringan kegiatan produksi, pedagangan, dan jasa yang mencakup tahapan dari simpul asal sampai pengantaran barang di simpul tujuan. Dengan mengamati pergerakan barang dengan tol laut dari perspektif rantai nilai, muncul pemahaman baru mengenai cara melihat hubungan nilai tambah dan kestabilan harga. Tol laut bukan lagi dipandang sebagai jasa tersendiri tetapi sebagai tanggapan terhadap kondisi permintaan dan penawaran pada hubungan bolak balik antara simpul asal dan simpul tujuan.
Identifikasi posisi hambatan (bottleneck) menjadi transparan dalam upaya mengurangi ongkos produksi, transaksi, transportasi, dan distribusi. Konsep rantai nilai merupakan paradoks karena perbaikan aturan dan teknologi dapat menghemat ongkos transportasi dan transaksi dan sekaligus dapat pula mengurangi pendapatan pelaku yang pendapatannya berasal dari ongkos logistik yang dihemat. Penghematan perlu dialihkan kepada aktor lain terutama pelanggan sehingga bisa mendapatkan barang yang sama dengan harga yang lebih murah.
Tol laut menjadi penghubung aktif dalam menjamin aliran barang barang ke wilayah timur dan aliran muatan balik. Konsep rantai nilai mendorong koordinasi produktif dalam meningkatkan kapasitas pelaku usaha industri dan perdagangan di daerah dan mendukung pemerintah untuk memperbaiki jaringan pelabuhan dan pelayaran. Integrasi simpul ke simpul membuat terbukanya kesempatan mengembangkan industri, memfasilitasi sertifikasi dan standarisasi, dan promosi agar pelaku dapat bersinergi dalam koridor rantai nilai.
Wahana kokreasi
Sasaran jaminan ketersediaan barang dan stabilitas harga bisa tercipta jika para pelaku bekerja sama sepanjang koridor rantai nilai dari asal barang sampai ke tangan konsumen. Tol laut hanyalah salah satu segmen koridor yang mengalirkan barang melalui pelayaran. Para pelaku bersedia berpartisipasi dalam koalisi rantai nilai bila ada kontrak yang menjamin imbalan yang sesuai dengan upaya yang dilakukan. Penyelarasan gerak langkah para pelaku sebagai suatu komunitas yang menciptakan nilai dilakukan melalui wahana kokreasi (co-creation platform).
Wahana kokreasi memfasilitasi diskusi dan pemecahan kendala yang dihadapi oleh para pelaku serta peningkatan kapasitas dalam menjalankan dan memperbaiki kinerja individu termasuk memecahkan kebuntuan terhadap kebijakan yang tidak pasti dan tumpang tindih peraturan. Pencapaian skala ekonomi dan penghilangan pemborosan lebih mudah dilakukan karena sistem semakin terintegrasi. Subsidi bukan lagi tarif tol laut tetapi sebagai pendanaan inkubasi yang mendorong suatu koridor rantai nilai menjadi mandiri secara bertahap.
Digitalisasi wahana kokreasi menjadi basis dalam berbagi data logistik, memantau kinerja anggota rantai pasok, dan mengendalikan aliran barang yang efisien. Kerjasama untuk lebih efisienlah yang membuat harga yang diterima konsumen di daerah tujuan akan menjadi terjangkau dan stabil. Dengan demikian program tol laut menjadi pengungkit yang bernilai dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Pengoptimalan Program Tol Laut (707.1 KiB, 675 hits)