Oleh: Ricky Martono
Trainer, Lecturer, Consultant | PPM Manajemen
Peringkat kemudahan berinvestasi (Ease of Doing Business, EODB, oleh Bank Dunia[1]) Indonesia dari tahun 2015 ke 2017 naik dari peringkat 109 ke 72. Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo A. Chaves, memuji tekad Pemerintah untuk memperbaiki iklim usaha di Indonesia. Indonesia terus mempercepat laju reformasi agar mencapai target peringkat 40 besar di tahun 2019[2].
Beberapa perbaikan yang telah dilakukan adalah: menurunkan biaya usaha dari 19,4% ke 10,9%; proses administrasi perdagangan lintas negara berkurang dari 133 jam menjadi 119 jam; pengurangan pajak properti dari 10,8% menjadi 8,3% dari nilai propertinya; dan durasi memulai usaha dari 181 hari menjadi 22 hari[3].
Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa akses ke pasar internasional semakin besar dan akan meningkatkan pendapatan Indonesia. Menurut Frank dan Romer (1999[4]), negara yang semakin dekat dengan pasar internasional (dalam hal akses, kemudahan birokrasi, dan efisiensi transportasi) akan meningkatkan persentase kenaikan pendapatan per kapita dibandingkan negara yang lebih tertutup. Namun demikian, Ekonom the Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebutkan bahwa kenaikan peringkat ini baru akan terasa di 2018[5].
Dengan semakin mudahnya investor asing masuk ke Indonesia, pekerjaan rumah berikutnya adalah memperbaiki sistem transportasi dan logistik dalam negeri sehingga Indonesia memperoleh manfaat dari integrase perdagangannya dengan luar negeri. Bagi sebuah negara yang menjadi lokasi proses manufaktur, Indonesia akan memperoleh dampak keuntungan dari investasi langsung dan penurunan biaya-biaya dalam usaha, yaitu meningkatkan nilai ekspor dari pengolahan bahan mentah. Hummels (1999[6]) memperkirakan bahwa negara pengekspor akan memperoleh kenaikan market share sebesar 5-8% dari pengurangan 1% biaya transportasi laut. Efisiensi biaya ini diperoleh dari penurunan durasi proses administrasi dan biaya pajak.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan infrastruktur transportasi yang mampu mengintegrasikan proses perpindahan barang antar pulau, yaitu transportasi laut. Sayangnya, 53% transportasi masih melalui darat. Ini berarti kebanyakan perdagangan, produksi, dan distribusi masih terpusat di darat, terutama Pulau Jawa.
Untuk itu, perlu upaya untuk meningkatkan kualitas infrastruktur pelabuhan dan konektivitas antar pelabuhan. Kualitas pelabuhan di Indonesia sendiri berada pada peringkat 95 dunia (Morgan Stanley, 1994). Padahal, bagi negara kepulauan, kualitas infrastruktur untuk transportasi laut memegang peranan sebesar 40% dari biaya transportasi (Venables, 2001[7]).
Dengan demikian, langkah Pemerintah Indonesia mengembangkan kapasitas dan kualitas 24 pelabuhan senilai Rp39,5 triliun[8] adalah tepat. Contohnya adalah peningkatan kapasitas dan kualitas berth dan stevedoring di pelabuhan, penggunaan truk kontainer tanpa awak untuk meningkatkan presisi pengelolaan barang dan mengurangi polusi, dan menambah kedalaman laut sehingga pelabuhan dapat disinggahi kapal berukuran besar.
Selain itu, sampai dengan tahun 2017 sudah ada 13 rute yang menghubungkan pelabuhan besar dan kecil di Indonesia[9]. Di antaranya adalah rute Tanjung Priok – Enggano – Mentawai – Enggano – Tanjung Priok untuk melayani ketersediaan barang di Barat Pulau Sumatra; dan rute Makassar – Tidore – Tobelo – Morotai – Maba – Pulau Gebe – Maba – Morotai – Tobelo – Tidore – Makassar untuk meningkatkan konektivitas ke Indonesia bagian Timur.
Di sisi lain, peringkat kualitas pelabuhan yang rendah dapat berarti juga membuka peluang kerjasama dengan negara lain. Tujuannya agar Indonesia mampu belajar mengelola pelabuhan lebih baik karena hal ini membuka peluang pengelolaan pelabuhan dan transportasi laut ke pihak asing berpotensi mengurangi biaya pengiriman sebesar 30% (Fink, 2002[10]). Pihak asing memiliki akses perdagangan internasional, teknologi, dan pengalaman yang lebih luas.
Berikut adalah perencanaan pelabuhan untuk memperbaiki kualitasnya:
- Perencanaan yang matang akan mendukung rencana jangka panjang pelabuhan, termasuk strategi bersaing di tingkat regional dan internasional. Masalah perencanaan sering muncul karena pembagian sistem manajemen yang bersinggungan dan pengambilan keputusan yang lambat antara pihak regulator (Kementerian Perhubungan), operator pelabuhan (Pelindo), penyedia dana (Kementerian Keuangan), pengaturan konsesi lahan, kepentingan pemerintah pusat dan daerah, termasuk juga isu lingkungan hidup sebagai dampak dari pengembangan pelabuhan.
- Penyediaan lahan dan fasilitas yang cukup untuk menampung barang untuk kebutuhan di masa kini dan perkiraan kebutuhan di masa depan. Misalnya dengan otomatisasi crane, dan pengelompokan lokasi gudang menurut jenis komoditas dengan tetap memperhatikan keamanan komoditas itu sendiri dan keselamatan kerja karyawan.
- Peningkatan kapasitas moda transportasi dari pelabuhan menuju konsumen (misalnya moda transportasi kereta menuju lokasi industri dan pergudangan).
- Perbaikan proses kepelabuhanan. Tanggung jawab pelabuhan mencakup perairan sampai beberapa kilometer dari pelabuhan itu sendiri, sehingga jadwal kedatangan kapal dapat dikelola sesuai ketersediaan lahan penyimpanan barang. Efisiensi juga diterapkan dalam mengurus surat ijin ekspor impor barang, di mana surat-surat ini harus sudah dinyatakan tersedia sebelum kapal tiba di pelabuhan. Untuk barang-barang transshipment di Pelabuhan Tanjung Priok, surat ijin sebaiknya sudah dinyatakan tersedia sebelum barang diterima pelabuhan lain di Indonesia. Hal ini akan mengurangi waktu kerja administrasi pelabuhan.
- Peningkatan efisiensi pembayaran pajak, misalnya pembayaran online ketika kapal masih dalam perjalanan. Termasuk pemberitahuan jenis barang yang dikirim.
- Peningkatan kemampuan tenaga kerja. Untuk kemampuan dasar, pelatihan bisa dilakukan secara internal maupun mengundang tenaga ahli untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman di Indonesia.
Meski membuka kesempatan kepada asing, tidak serta-merta investor asing datang dengan sendirinya. Contohnya, dalam Paket Kebijakan Ekonomi X, investasi asing untuk cold storage di seluruh Indonesia dibuka sampai 100%. Investor asing masih dalam posisi wait and see karena kebutuhan jaminan keamanan di perairan Indonesia, kemudahan proses ekspor hasil laut, dan kemudahan mendirikan bangunan.
Dengan demikian, untuk ke depannya Indonesia masih memiliki ruang untuk perbaikan seperti meningkatkan peringkat kemudahan berinvestasi dalam proses perizinan pendirian bangunan (peringkat 108 dunia) dan perdagangan lintas negara (peringkat 112 dunia).
20 November 2017
Referensi:
[1] http://www.doingbusiness.org/rankings
[2] http://www.worldbank.org/in/news/press-release/2017/10/31/indonesia-continues-strong-pace-of-reforms-to-improve-business-climate-doing-business
[3] http://id.beritasatu.com/tajuk/berbisnis-di-ri-makin-mudah/167333
[4] Frankel, J., and D. Romer. (1999). Does trade cause growth? American Economic Review 89(3):379-399.
[5] https://bisnis.tempo.co/read/1025861/indef-prediksi-target-penerimaan-negara-di-rapbn-2018-meleset
[6] Hummels, David. 1999. Towards a Geogrpahy of Trade Costs. Processed. Graduate School of Business, University of Chicago.
[7] Venables, Anthony. Transport Costs and International Trade. University of Oxford and CEPR.
[8] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/2751498/ini-dia-24-pelabuhan-yang-akan-dibangun-jokowi-untuk-program-tol-laut
[9] http://moneter.co.id/53779/tol-laut-sudah-13-rute-ini-rinciannya
[10] Fink, Carsten; Mattoo, Carsten; Neagu, Ileana Cristina. 2002. “Trade in international maritime services: how much does policy matter?”. The World Bank economic review. — Vol. 16, no. 1 (January 2002), pp. 081-108.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulisdan/atau sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, serta tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Perbaikan Kualitas Infrastruktur Untuk Kemudahan Investasi Indonesia (661.5 KiB, 211 hits)