Oleh: Achmad Ridwan TE., Drs., M.H.
Peneliti, Penulis, dan Pengamat Masyarakat Hukum Kepelabuhanan
Perhatian terhadap Politik Hukum Sektor Logistik
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang independen untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja bagi tenaga kerja, baik yang berasal dari lulusan pelatihan kerja dan/atau tenaga kerja yang telah berpengalaman. BNSP sangat diperlukan sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dan menjadi rujukan dalam penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Dengan demikian, akan dapat dibangun suatu sistem sertifikasi kompetensi kerja nasional yang diakui oleh semua pihak.
Eksistensi BNSP sangat penting dalam kaitannya dengan penyiapan tenaga kerja Indonesia yang kompetitif menghadapi persaingan di pasar kerja global. Di samping itu, keberadaan BNSP akan memudahkan kerja sama dengan institusi-institusi sejenis di negara-negara lain dalam rangka membangun saling pengakuan (mutual recognition) terhadap kompetensi tenaga kerja masing-masing negara.
Sertifikasi kompetensi diperlukan untuk mewujudkan ‘The right man with the right competencies’ dalam pemenuhan tugas dan tanggung jawab pada bidang pekerjaan atau profesi tertentu sesuai dengan tuntutan perusahaan dan lingkungan bisnis. Kondisi ini semakin diperlukan untuk menghadapi persaingan global. Misalnya, dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), profesional asing bebas masuk ke Indonesia dan menduduki posisi/jabatan tertentu yang terbatas dan bersifat skilled. Sertifikasi kompetensi kerja merupakan proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja nasional maupun internasional.
Jika ditafsirkan secara pragmatis, ketentuan yang tertuang di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi, Negara Indonesia telah membentuk BNSP. BNSP merupakan badan independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki kewenangan sebagai otoritas sertifikasi personil dan bertugas melaksanakan sertifikasi kompetensi profesi bagi tenaga kerja.
Pembentukan BNSP merupakan bagian integral dari pengembangan paradigma baru dalam sistem penyiapan tenaga kerja yang berkualitas. Berbeda dengan paradigma lama yang berjalan selama ini, sistem penyiapan tenaga kerja dalam format paradigma baru memiliki dua prinsip yang menjadi dasar, di antaranya:
- Penyiapan tenaga kerja didasarkan atas kebutuhan pengguna (demand driven)
- Proses diklat sebagai wahana penyiapan tenaga kerja dilakukan dengan menggunakan pendekatan pelatihan berbasis kompetensi (Competency Based Training/CBT)
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) merupakan rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan. Hal tersebut ditetapkan sesuai dengan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan PP No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.
Untuk bidang logistik, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (KKBP) dan BNSP telah menetapkan Skema Sertifikasi Kompetensi Profesi Okupasi Nasional Indonesia Sektor Logistik mencakup: Warehouse Operator, Logistics Administrative Officer, Warehouse Supervisor, Freight Forwarder, Supply Chain Manager, dan Truck Driver (Driving Operation). Penetapan tersebut bertujuan untuk memberikan sertifikasi kualifikasi kompetensi sektor transportasi dan logistik yang mengacu kepada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan ASEAN Qualification Referencing Framework (AQRF). Subjek dari penetapan tersebut yaitu tenaga kerja yang memenuhi persyaratan dan pemeliharaan kompetensi profesi.
Sisi Lain Kompetensi Sertifikasi Sistem Logistik: Peran Politik Hukum
Supply Chain Indonesia (SCI) tengah mengembangkan program pelatihan persiapan sertifikasi kompetensi profesi Supply Chain (SC) Manager. Pelatihan akan menggunakan materi-materi konseptual dan praktis yang perlu dikuasai untuk posisi/jabatan SC Manager berdasarkan skema SKKNI Bidang Logistik. Sertifikasi kompetensi ini memastikan bahwa pemegang sertifikat tersebut terjamin akan kredibilitasnya dalam melakukan suatu pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang logistik, termasuk sebagai SC Manager. Jabatan atau posisi SC Manager merupakan salah satu posisi yang bersifat skilled, sehingga perlu mendapatkan perhatian dalam era globalisasi, termasuk dalam MEA. Sertifikasi SC Manager ini merupakan sertifikasi yang diakui secara nasional karena akan dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi-Logistik Insan Prima (LSP-LIP) yang telah terlisensi oleh BNSP.
Jika melihat politik hukumnya, dalam bidang logistik, KKBP dan BNSP telah menetapkan Skema Sertifikasi Kompetensi Profesi Okupasi Nasional Indonesia Sektor Logistik yang mencakup beberapa bidang. Dengan demikian, SKKNI merupakan rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan.
Peran politik hukum dalam bidang logistik sangat dibutuhkan dalam rangka memajukan daya saing logistik nasional. Hal tersebut dikarenakan kebijakan logistik masih bertumpu kepada Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Dengan demikian, diperlukan kebijakan baru yaitu UU Logistik dan UU Transportasi serta peningkatan koordinasi antara pihak Pemerintah dengan Perbankan (Bank Indonesia). Tujuannya adalah sebagai pelindung kepentingan negara dan kepentingan berbagai pihak lainnya di sektor logistik, menjamin kepastian hukum, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi kegiatan logistik nasional. Kondisi yang ingin dicapai ke depan adalah tersedianya landasan hukum, penegakan hukum (law enforcement), serta implementasi peraturan perundangan yang terkait dengan logistik. Selain itu, penyelarasan dan sinkronisasi antara peraturan perundangan logistik baik antar kementerian/lembaga maupun antar Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan agar terjadi keselarasan peraturan perundangan yang dikeluarkan.
Peranan hukum (peraturan positif) yang cukup sentral adalah untuk merumuskan sertifikasi-kompetensi sektor logistik menjadi terkodifikasi. Dalam hal ini Pemerintah harus mempercepat peraturan secara khusus tentang sertifikasi-kompetensi sektor logistik. Hal tersebut dikarenakan selama ini kegiatan sektor logistik diatur dalam berbagai regulasi yang bersifat parsial di beberapa kementerian. Pada umumnya regulasi tersebut belum sepenuhnya mempertimbangkan perspektif logistik secara menyeluruh.
Beberapa peraturan yang terkait dengan sektor logistik yang ada saat ini, antara lain:
- Undang-undang No. 11 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 Tahun 1962 tentang Perubahan Undang Undang No. 2 Prp Tahun 1960 tentang Pergudangan (Lembaran Negara Tahun 1962 No. 31) menjadi Undang-undang.
- Undang-undang Perposan/Jasa Titipan sesuai dengan tuntutan perkembangannya, Undang-undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos telah direvisi menjadi Undang-undang No. 38 Tahun 2009 tentang Pos. Undang-undang tersebut sampai hari ini menjadi satu-satunya payung hukum tentang kegiatan usaha perposan dan kurir di Indonesia. Walaupun secara numenklatur mengatur tentang “Pos”, tetapi substansi Undang-undang ini juga mencakup pengaturan dan administrasi penyelenggara jasa perposan nasional yang terdiri dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pihak swasta, dan Koperasi.
Permasalahan yang dihadapi dalam regulasi dan kebijakan adalah cakupan aktivitas jasa logistik yang terdiri dari berbagai sektor yang terpisah sehingga pendekatan dalam penyusunan peraturan di sektor logistik masih bersifat sektoral. Di samping itu, dengan adanya otonomi daerah, masih terdapat peraturan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini dapat berpotensi menimbulkan permasalahan dalam pertumbuhan dan kepastian hukum bisnis jasa logistik. Oleh sebab itu, perbaikan yang diperlukan ke depan adalah menyelaraskan peraturan jasa logistik di setiap sektor dan antar pemerintah pusat dan derah, jasa logistik dituntut untuk memberikan layanan yang prima dari hulu ke hilir yang perlu menekankan keterpaduan dalam pengelolaannya.
28 Februari 2017.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan/atau sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, serta tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Politik Hukum Percepatan Sertifikasi-Kompetensi Tenaga Kerja Sektor Logistik Bagian #2 (667.9 KiB, 264 hits)