Oleh: Bambang S. Gunawan
Ketua Kompartemen Maritim
DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI)
Implikasi-Implikasi dari Permendag No. 40 Tahun 2020
Pada Undang-Undang Pelayaran No. 17 Tahun 2008, Pasal 31 mengenai usaha jasa terkait pelayaran yang merujuk pada ayat 2 menyebutkan 11 jasa terkait usaha pelayaran. Jika memandang dari sisi besarnya volume komoditas ekspor primadona yaitu batubara dan CPO, selayaknya
pembagian kue ekonominya dapat bersama saling berbagi. Jika merujuk angkutan laut atau logistik laut, tentu berkaitan dengan saling menopang dan berbagi kepada usaha jasa terkait pelayaran yang tercantum pada Undang-Undang Pelayaran No.17 tahun 2008 Pasal 31 tersebut.
UU Pelayaran tersebut merupakan payung hukum di negara Indonesia yang merujuk usaha angkutan laut nasional. Jika suatu aturan hanya merujuk pada komunitas angkutan laut tertentu saja, maka publik pada umumnya dan pelaku logistik nasional khususnya memandang dalam Permendag ini terkesan adanya keberpihakan dan tidak baik untuk pengembangan dan pertumbuhan industri logistik nasional di masa-masa mendatang.
Sepanjang usaha jasa terkait yang dimaksud pada pasal tersebut, masih dikatagorikan sebagai angkutan laut nasional dan mereka bisa berkompetisi serta bisa menyajikan freight yang lebih baik. Namun, masalahnya adalah dalam penerapan di lapangan, apakah angkutan laut nasional di luar perusahaan pelayaran diperbolehkan atau tidak?
Jika peluang itu dibuka yaitu seluruh pelaku logistik angkutan laut nasional dapat ikut berpartisipasi di Permendag ini, maka di satu sisi, eksportir komoditas batu bara atau CPO bisa menikmati ongkos freight yaitu ongkos logistik untuk komoditas ekspor yang paling terjangkau, sehingga ini mengakibatkan harga jual atau harga beli komoditas yang dimaksud dapat lebih menarik. Eksportir dan importir dapat memilih. Namun, jika tidak bisa memilih maka dapat dikatakan sebagai monopoli atau oligopoli yang menjadikan persaingan usaha yang tidak sehat.
Pada sisi lain, yang menikmati hal tersebut tidak hanya perusahaan pelayaran nasional saja, akan tetapi kue ekonominya bisa berbagi secara luas kepada seluruh pelaku logistik yang bersinggungan dengan angkutan laut nasional yang memang mampu memberikan freight atau ongkos logistik yang dapat lebih bersaing dan murah.
Kita percaya, bahwa kue ekonomi yang besar ini tidak akan mampu diserap seutuhnya oleh perusahaan pelayaran nasional saja. Volume ekspor komoditas yang dimaksud Permendag ini begitu besar dan jalan keluarnya adalah keharusan untuk berbagi, serta kue yang dibagi itu jangan sampai terkesan hanya “tetesan” atau “remah-remah” yang seakan-akan Permendag ini ditujukan untuk komunitas logistik tertentu saja dan pelaku logistik angkutan laut nasional lain yang berada di luar perusahaan pelayaran dijadikan penggembira saja.
Pada Permendag No. 40 Tahun 2020, terdapat batasan besaran kapal yaitu hanya 15.000 dwt saja. Namun, jika merujuk pada Permendag No. 82 tahun 2017, tidak tertera batasan 15.000 dwt. Tentu ini memunculkan pertanyaan bagi pelaku logistik tanah air mengenai ketentuan tersebut. Selain itu, apa rujukan untuk besaran kapal 15.000 dwt tersebut? Secara implisit hal ini juga menimbulkan spekulasi bahwa Permendag ini seolah-olah dipakai untuk kepentingan jangka pendek saja. Dugaan lain adalah sepertinya akan ada Permendag revisi yang akan memberikan keluasan kapal yang di atas 15.000 dwt.
Terkait dengan batasan maksimal kapal 15.000 dwt, spekulasi lainnya adalah Permendag ini seakan-akan ditujukan untuk komunitas usaha maritim nasional tertentu yang armada atau kapalnya hanya tersedia pada kisaran maksimal 15.000 dwt ke bawah saja jika merujuk pada pasal 3 Permendag ini. Dapat dikatakan mungkin dengan ukuran tersebut armada atau kapal niaga mereka sudah siap.
Muatan bulk atau curah jika semakin besar kapalnya, maka komoditas yang bisa dimuat pasti lebih besar. Dapat dikatakan bahwa jika volume kargonya besar, maka otomatis freight-nya pun akan lebih murah. Sebagai ilustrasi, komoditas batu bara diangkut dari pelabuhan muat titik A menuju pelabuhan bongkar ke titik B yang dimuat dengan 15.000 ton dibandingkan dengan
- ton, maka akan lebih murah yang memiliki besaran 50.000 mt. Freight yang diajukan oleh shipowner angkanya jauh berbeda, jika bisa dibandingkan, mungkin saja perbedaannya puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu US dollar lebih murah yang kuantitasnya lebih besar dari 15.000 ton.
Jika freight yang memiliki besaran 15.000 mt lebih mahal, maka bagaimana trader/eksportir dapat melakukan transaksi? Jika demikian, pada akhirnya akan kembali lagi bahwa trader menjual atau melakukan ekspor FOB yaitu pembeli yang mencarikan kapalnya. Agar terhindar dari mandatori Permendag ini, terdapat hal yang mudah untuk dilakukan yaitu dengan melakukan kesepakatan dengan pembeli dengan kuantitas di atas 15.000 ton. Jika demikian, Permendag ini seolah memiliki kesan masih “setengah hati” dan belum 100% komprehensif dalam memberi kesempatan kepada pelaku logistik angkutan laut nasional.
Selain itu, bagaimana dengan pajak akan freight? Jika pajak normal freight diberlakukan ke perusahaan angkutan laut nasional untuk mengangkut komoditas yang dimaksud dalam Permendag ini, maka bisa jadi freight atau ongkosnya akan lebih tinggi lagi. Itu pula sebabnya freight atau ongkos logistik kapal berbendera asing lebih menarik daripada freight perusahaan pelayaran nasional yang menggunakan kapal berbendera Indonesia. Pada Permendag ini, tidak disinggung mengenai isu pajak atas freight. Jika diberlakukan pajak atas kapal-kapal berbendera Indonesia, maka sudah tentu menyebabkan freight menjadi lebih tinggi lagi. Lalu, akankah para trader (eksportir) itu masih mau menggunakan jasa perusahaan angkutan laut nasional? Pembatasan kuantitas kargo maksimum 15.000 ton menyebabkan freight lebih tinggi serta ditambah beban pajak atas freight.
Hal tersebut merupakan mandatori, jika kuantitasnya di bawah atau sama dengan 15.000 ton, maka tidak bisa dihindari. Ini merupakan aturan Pemerintah, namun yang menjadi pertanyaan adalah berapa lama bisa bertahan?
Dapatkah kapal-kapal bendera asing itu dikenakan pajak atas freight? Agar lebih adil seharusnya kapal-kapal bendera asing juga ikut dibebankan pajak. Namun, jawabannya sudah tentu tidak bisa, karena kapal-kapal bendera asing itu bukan aset nasional. Selain itu, pemilik kapal-kapal bendera asing tersebut tidak memiliki nomor pokok wajib pajak.
25 April 2020
Referensi:
- Peraturan Menteri Perdagangan No. 40 Tahun 2020 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut Nasional dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.
- https://www.cnbcindonesia.com/market/20190625120405-17-80452/ekspor-batu-bara- ri-turun-14-tahun-esdm-fokus-domestik diakses pada 24 April 2020 pukul 17.30 WIB.
- https://industri.kontan.co.id/news/sepanjang-2019-gapki-catat-volume-ekspor-produk- sawit-sebesar-357-juta-ton?page=all diakses pada 24 April 2020 pukul 17.35 WIB.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia
Download artikel ini:
SCI - Artikel Ulasan atas Permendag No. 40 Tahun 2020 (Bagian 2 dari 3 Tulisan) (530.7 KiB, 128 hits)