Oleh: Dr. (Cand). Drs. Achmad Ridwan Tentowi., S.H., M.H.
Ketua Bidang Maritim APDHI
Pemerhati dan Pengamat Masalah Maritim dan Logistik
Dugaan Korupsi Sektor Logistik
Walaupun United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 2006, ketentuan tentang korupsi di sektor swasta belum sepenuhnya dicantumkan dalam RUU tindak pidana korupsi di Indonesia. Peraturan tentang korupsi di sektor swasta juga belum ada, padahal dalam melaksanakan bisnis diperlukan adanya kepatuhan, etika, dan kepercayaan di sektor swasta. Indonesia menganggap penting untuk meratifikasi UNCAC 2003 karena hal tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menegakkan good governance dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Biaya logistik di Indonesia yang tinggi tidak hanya disebabkan oleh biaya transportasi darat dan laut yang tinggi, tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti regulasi, sumber daya manusia (SDM), proses dan manajemen logistik yang belum efisien, serta kurangnya profesionalisme pelaku dan penyedia jasa logistik, sehingga menyebabkan perusahan jasa pengiriman barang dalam negeri yang belum efisien.
Skema tentang korupsi dan penyuapan di sektor logistik mempunyai magnitude dan dampak yang jauh lebih besar dan meluas ketimbang hal yang sama di sektor Pemerintah. Implikasinya langsung kepada perekonomian masyarakat dan hak warga negara dalam memperoleh kesejahteraan ekonomi yang terjangkau dan memadai. Asumsi atas magnitude dan implikasi yang besar serta meluas inilah, sehingga pembahasan korupsi dan penyuapan dalam logistik ini menjadi penting.
Pentingnya sektor logistik dalam rangka peningkatan daya saing suatu entitas (perusahaan atau negara) dapat dilihat dari tingginya persentase (%) biaya logistik perusahaan dibandingkan dengan harga barang dari berbagai industri yang berbeda dan porsi biaya logistik nasional dibandingkan dengan GDP dari negara yang bersangkutan. Secara rata-rata, porsi biaya logistik terhadap harga barang sekitar 20% lebih, sedangkan biaya logistik negara di dunia memiliki besaran mulai dari sekitar 10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (di Amerika/negara maju) sampai dengan kisaran 15%-25% untuk negara-negara berkembang. Biaya logistik nasional Indonesia mencapai lebih dari 25% PDB.
Penggelembungan anggaran sering terjadi karena beberapa hal, misalnya kolusi, suap, dan kickbacks dalam pengadaan barang dan jasa logistik di sektor kesehatan atau sebaliknya menyebabkan logistik obat dan perbekalan kesehatan yang diprogramkan tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Di pihak lain, seringkali perencanaan dan investasi infrastruktur di lingkungan rumah sakit menghabiskan dana yang sangat besar dan peralatan medis berteknologi tinggi yang rawan korupsi.
Berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah dari Paket Kebijakan Ekonomi I sampai XVI belum mampu menurunkan biaya logistik secara signifikan. Target pemerintah menurunkan biaya hingga 19%, tetapi pada kenyataannya tetap berada pada posisi 24%. Apakah selama ini sektor swasta tidak tersentuh pengawasan, hukum, sementara kebijakan terbesar itu yang ‘bermain’ dalam sektor logistik adalah sektor swasta? Misalnya pada tender angkutan, tidak pernah dilakukan secara terbuka sehingga penentuan biaya angkut dilakukan secara sepihak dan yang akhirnya menanggung beban adalah konsumen atau masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan sektor swasta dapat sewenang-wenang dalam menentukan tarif atau bahkan menekan setingi-tingginya.
Kita lihat saja sebagai salah satu contoh nyata dalam pelaksanaan dan penyediaan angkutan biasanya diurus juga oleh broker, sehingga selain mengurus dokumen importasi, broker juga menyediakan angkutan untuk mengangkut barang ke gudang dalam suatu paket pengangkutan dengan harga yang sangat kompetitif. Sebagai gambaran, paket pengurusan dokumen dan angkutan truk dari pelabuhan Tanjung Priok ke Cikarang, biaya yang ditagihkan oleh broker adalah berkisar antara Rp 2.000.000,00 s.d. Rp 2.500.000,00 untuk satu container 20’ atau kalau dikurskan dalam USD menjadi USD 150 s.d. USD 188. Biaya tersebut sangat jauh berbeda dengan perhitungan Bank Dunia yang menyebutkan biaya pengangkutan dari Tanjung Priok ke Cikarang adalah sebesar USD 750. Selisih yang sangat besar ini perlu ditelusuri sehingga menjadi terang karena hal ini memberikan kontribusi yang sangat besar di dalam perhitungan biaya logistik.
Hal ini diduga adanya privat to privat corruption yang patut dipertanyakan karena broker Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) rata-rata adalah merupakan UMKM di bawah naungan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), di mana tarif yang dikenakan sangat murah. Penunjukkan para broker oleh pemilik barang untuk mengurus penyelesaian dokumen dan pengiriman barang ke gudang rata-rata dilakukan oleh bagian ekspor/impor dari perusahaan importir/eksportir melalui sebuah tender tertutup atau bahkan penunjukan langsung. Seharusnya biaya logistik terkait dengan penggunaan broker ini bisa lebih murah karena tingginya persaingan antara broker tersebut.8 Januari 2018.
Apabila digambarkan melalui skema, seharusnya alur transaksi antara broker PPJK dengan consignee adalah seperti berikut:
Dengan skema seperti di atas seharusnya biaya logistik yang dibayarkan sesuai dengan apa yang ditagihkan oleh broker PPJK, di mana notabene biaya tersebut tergolong cukup murah. Hasil akhir dari biaya logistik yang harus ditanggung oleh consignee cukup tinggi, sehingga menggiring paradigma berpikir untuk membuat sebuah perkiraan mengenai alur transaksi biaya logistik antara broker PPJK dengan consignee menjadi seperti ini:
Perkiraan skema seperti di atas ini sangat mungkin terjadi, mengingat order pekerjaan logistik khususnya untuk perusahaan swasta tidak pernah dilakukan melalui tender terbuka bahkan sering kali dengan penunjukan langsung secara personal. Ada beberapa hal yang harus dicermati dalam permasalahan ini, yaitu bahwa dalam pelaksanaan lelang penanganan logistik di sekitar swasta belum ada peraturan per-UU-an yang mengatur mengenai strandardisasi, transparasi, dan akuntabilitas dari lelang pengadaan barang dan jasa disektor swasta pada umumnya dan di bidang logistik pada khususnya. Mungkin ini alasannya mengapa sektor swasta yang ‘bermain’ di sektor logistik bebas melanglang buana, sehingga memperkaya diri sendiri, keluarga, dan golongan yang tidak tersentuh oleh hukum. Akibatnya sektor logistik sebagai muaranya dan sebagai titik kulminasi dari persoalan tingginya harga selama ini.
Laporan World Economic Forum, Indonesia menempati urutan ke 46 dari 142 negara yang disurvei dalam hal daya saing ekonomi. Posisi Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapura (2), Malaysia (21), Brunei (28), dan Thailand (39). Salah satu penyebabnya terkait masalah korupsi dan etik yang menempati urutan ke 69 (skor 3.24). Bandingkan dengan Singapura yang berada di urutan pertama (6.51). Masalah suap dan pembayaran yang tidak wajar di urutan ke 103 (Singapura urutan ke-3). Terlihat bagaimana etika dan korupsi sangat rendah, serta suap dan pembayaran yang seharusnya tidak perlu menjadi masalah jika saja pemerintah serius membuat peraturan terkait korupsi di sektor swasta.
Dugaan sementara, bahwa di sektor logistik inilah banyak terjadi praktek korupsi dalam bentuk “kongkalikong”, “tutup mata tutup mulut”, atau “bermain di bawah meja”. Apakah mungkin Pemerintah membentuk badan independen (badan pengawas) yang berfungsi mengawasi distribusi barang dan jasa untuk menekan biaya logistik dari 23,5% ke 19%? Polemik tentang ini sudah sangat lama, seperti yang dapat kita lihat dalam Lampiran 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Secara umum sistem logistik di Indonesia saat ini belum memiliki kesatuan visi yang mampu mendukung peningkatan daya saing pelaku bisnis dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bahkan pembinaan dan kewenangan terkait kegiatan logistik relatif masih bersifat parsial dan sektoral di masing-masing kementerian atau lembaga (K/L) terkait, sementara koordinasi yang ada belum memadai.
8 Januari 2018
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
Dugaan Korupsi Sektor Swasta dalam Bidang Logistik [Bagian 2 dari 3 tulisan] (666.8 KiB, 636 hits)