Oleh: Nova Indah Saragih
Dosen Program Studi Teknik Industri | Universitas Widyatama
Sistem transportasi merupakan suatu bagian penting dalam menunjang berbagai kegiatan di sebuah kota. Hal tersebut karena hampir semua kegiatan manusia tidak terlepas dari proses transportasi, baik dari segi perpindahan orang maupun perpindahan barang.
Saat ini. transportasi barang di Indonesia masih didominasi oleh angkutan jalan, khususnya dengan menggunakan truk. Pemilihan pengiriman barang menggunakan moda truk lebih banyak dipilih oleh perusahaan jasa kurir karena pengiriman barang dapat dilakukan kapan saja serta tidak terikat oleh waktu pengiriman. Hal tersebut menjadikan angkutan truk sebagai pilihan utama untuk pengiriman barang.
Sejumlah wilayah perkotaan mengalami peningkatan jumlah truk dan van yang mengantarkan barang ke pelanggan sekaligus penurunan utilitas kendaraannya. Hal tersebut mengarah pada peningkatan emisi, kebisingan, dan konflik dengan pejalan kaki. Wilayah metropolitan besar memiliki sejumlah pusat ritel dengan outlet yang dilayani secara teratur oleh pedagang grosir.
Sistem distribusi perkotaan biasanya ditandai oleh pemasok yang mengoperasikan armada kendaraan mereka sendiri yakni hanya mendistribusikan barang-barang mereka ke pelanggan secara teratur. Pada sektor-sektor tertentu, terdapat peluang untuk menggabungkan jaringan distribusi perkotaan untuk mengurangi jumlah kendaraan yang dibutuhkan untuk pengiriman serta mengurangi jarak yang ditempuh oleh kendaraan. Hal tersebut dapat menghasilkan penghematan besar dalam ongkos operasi transportasi serta mengurangi emisi dan kebisingan dari kendaraan (Thompson dan Hassall, 2012).
Kegiatan distribusi merupakan salah satu kunci keuntungan yang akan diperoleh perusahaan, karena distribusi secara langsung akan mempengaruhi biaya dari rantai pasok dan kebutuhan konsumen. Selain itu, jaringan distribusi yang tepat dapat digunakan untuk mencapai berbagai macam kebutuhan rantai pasok.
Secara umum, jaringan distribusi perkotaan bagi pemasok hanya untuk mendistribusikan barang-barangnya ke outlet ritel. Hal tersebut melibatkan setiap kendaraan pemasok yang beroperasi untuk membawa masing-masing barang-barang pelanggan dan kendaraan harus mengunjungi setiap outlet ritel secara teratur dari gudang pemasok. Rute dan jadwal dapat dioptimalkan untuk masing-masing pedagang grosir, namun kendaraan umumnya memiliki utilitas yang rendah (Thompson dan Hassall, 2012).
Jaringan distribusi kolaboratif melibatkan pemasok yang berbagi penggunaan kendaraan serta area penyimpanannya. Sistem kolaboratif memungkinkan rute transfer digunakan untuk mentransfer barang antara pemasok, dimana barang dengan tujuan dekat pemasok lain ditransfer ke pemasok ini. Hal tersebut memungkinkan rute pengiriman dari pemasok untuk dirancang dengan utilitas yang lebih tinggi dan jarak perjalanan yang lebih pendek (Thompson dan Hassall, 2012).
Sistem transportasi barang kota kolaboratif terjadi ketika pemangku kepentingan yang berbeda dari logistik perkotaan membuat perjanjian kolaboratif untuk meningkatkan efisiensi dan kemudian mengurangi ongkos keseluruhan dari jaringan kegiatan rantai pasokan global (Pache, 2008 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012). Skema ini umumnya digunakan pada bidang transportasi dan sebagian besarnya dalam bidang logistik. Pada dekade terakhir, beberapa produsen dan/atau pengangkut telah menguraikan rencana strategis bersama yang berfokus pada penggunaan kendaraan transportasi yang lebih baik dengan berbagi (Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012).
Kolaborasi dapat terjadi pada beberapa tahap rantai dan dengan berbagai level interaksi. Level-level ini adalah:
- Kolaborasi transaksional yaitu koordinasi dan standarisasi aktivitas administrasi dan teknik pertukaran.
- Kolaborasi informasi yaitu pertukaran informasi bersama seperti peramalan penjualan, tingkat persediaan, dan tanggal pengiriman. Penting untuk dicatat bahwa kerahasiaan dan proses persaingan dapat menghambat kolaborasi.
- Kolaborasi keputusan, atau kolaborasi di berbagai bidang logistik dan perencanaan transportasi yaitu:
- Perencanaan operasional: tahap perencanaan ini terkait dengan operasi sehari-hari yang dapat dikoordinasikan atau dibagi, seperti transportasi barang atau cross-docking.
- Perencanaan taktis: tahap perencanaan jangka menengah melibatkan beberapa keputusan taktis, seperti peramalan penjualan, pengiriman, persediaan, manajemen produksi, dan kontrol kualitas.
- Perencanaan strategis: tahap kolaborasi tertinggi terkait dengan keputusan perencanaan jangka panjang seperti desain jaringan, lokasi fasilitas, keuangan, dan perencanaan produksi.
Kolaborasi dimungkinkan ketika setidaknya terdapat dua aktor berbagi upaya untuk mencapai tujuan bersama. Pada transportasi barang, kolaborasi ini bisa bersifat bilateral (dibuat oleh dua aktor) atau berdasarkan prinsip-prinsip pertimbangan komunitas. Pertimbangan komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok atau komunitas individu yang terlibat dalam dialog satu sama lain untuk mempertimbangkan suatu tindakan. Anggota individunya mungkin tidak termasuk dalam organisasi yang sama, memiliki nilai-nilai yang sama dan bertujuan untuk hasil yang sama atau memiliki kesamaan, kecuali kebutuhan untuk pertimbangan menuju solusi dari masalah yang sama atau serupa (Gonzalez-Feliu dan Morana, 2011 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012).
Pada transportasi barang perkotaan, kolaboratif komunitas tersebut kecil dan anggotanya dapat dengan mudah diidentifikasi dan ditentukan. Konsep pertimbangan komunitas kecil lebih baik diadaptasi dari pada konsep kemitraan logistik (Lambert dkk., 1996 dalam Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012). Hal ini karena dalam transportasi perkotaan, subkontrak, dan kolaborasi tidak selalu diidentifikasi dan diformalkan dengan kontrak kemitraan atau layanan (Gonzalez-Feliu dan Salanova, 2012).
7 April 2020
Referensi:
- Gonzalez-Feliu, J. dan Salanova, J. (2012): Defining and Evaluating Collaborative Urban Freight Transportation Systems, Procedia – Social and Behavioral Sciences, 39, 172 – 183.
- Thompson, R.G. dan Hassall, K.P. (2012): A Collaborative Urban Distribution Network, Procedia – Social and Behavioral Sciences, 39, 230 – 240.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Sistem Transportasi Barang Kolaboratif untuk Wilayah Perkotaan (Bagian 1 dari 2 tulisan) (725.5 KiB, 257 hits)