Oleh: Ahmad Sugiono
Senior Consultant
Supply Chain Indonesia
Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terus melakukan upaya-upaya agar kondisi perekonomian Indonesia terus membaik, terutama sepanjang pandemi Covid-19 yang menjadi isu besar tantangan perekonomian dibanyak negara. Pandemi yang mengharuskan untuk tertib dalam protokol kesehatan berakibat pada perilaku sosial termasuk didalamnya adalah perilaku untuk tidak melakukan kerumunan sehingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sampai tulisan ini dibuat masih diberlakukan.
Dari sisi pelaku usaha, khususnya yang bergerak dalam kegiatan logistik ekspor impor, pandemi Covid-19 juga memberikan efek yang bervariasi. Perusahaan yang bergerak dalam jasa logistik e-commerce, jasa angkutan barang kiriman (courier service), jasa pergudangan bahan pokok dan retail, serta jasa layanan logistik berkaitan dengan transaksi business to consumer (B to C) dan consumer to consumer (C to C) merupakan jenis usaha yang mampu bertahan bahkan cenderung meningkat kinerjanya.
Akan tetapi, tak sedikit pula yang mendapatkan fakta bahwa pandemi memberikan efek buruk terhadap penurunan kinerja bahkan pemutusan hubungan kerja. Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) pernah melakukan survei terhadap anggotanya yang mencapai 3.412 perusahaan logistik, menurut survei tersebut 29 persen di antaranya merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dan selebihnya adalah perusahaan nasional. Dari 1.256 perusahaan yang mengikuti survei, 95,6 persen di antaranya mengalami penurunan pendapatan. Sementara hanya 4,4 persen saja yang pendapatan usahanya mengalami kenaikan atau juga tetap.
Meskipun data tersebut diambil pada pada tahun 2020 dan belum ada data terbaru yang ditemukan oleh penulis, hasil survei tersebut semestinya menyadarkan semua pihak baik pemerintah, asosiasi, akademisi, dan tentunya pelaku usaha untuk bergandengan tangan bahu membahu agar dapat keluar dari kesulitan akibat pandemi Covid-19 ini.
Pemerintah sendiri telah banyak memberikan kemudahan dan fasilitas yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat maupun dunia usaha. Fasilitas yang diberikan pemerintah mulai dari perlindungan sosial, kesehatan, keringanan pajak, hingga fasilitas kepabeanan dan cukai. Relaksasi, simplifikasi, integrasi, dan penyesuaian standar kerja adalah beberapa langkah nyata yang telah dilakukan oleh Direktorat Bea dan Cukai dalam merespon dan tentunya mendapatkan apresiasi dari pelaku usaha.
Direktorat Bea dan Cukai juga memiliki fungsi untuk melaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan, serta optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai. Upaya tersebut antara lain melakukan monitoring dan evaluasi bagi pelaku usaha yang terkait dengan Kepabeanan antara lain kepada pelaku Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK).
Public hearing rancangan peraturan Dirjen Bea dan Cukai tentang Monitoring dan Evaluasi PPJK dilaksanakan pada hari Jumat, 8 Oktober 2021 oleh Direktur Teknis Kepabeanan. Sayangnya, Public hearing kali ini hanya berlaku terbatas untuk 100 peserta Zoom sehingga banyak calon peserta dari seluruh Indonesia yang antri hanya bisa gigit jari, termasuk penulis yang harus menerima untuk di remove dari acara tersebut yang sebelumnya sudah berhasil masuk ke ruang meeting Zoom.
Tidak diketahui pasti alasan membatasi jumlah peserta tapi mari kita tetap berfikir positif terhadap hal ini. Informasi yang penulis dapatkan, rancangan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai ini bertujuan untuk penertiban dan profiling usaha PPJK termasuk didalamnya terkait Ahli Kepabeanan. Laporan hasil monitoring periodik PPJK dilakukan dengan penelitian data di mana komponen dan bobot tambahan akan meliputi nama perusahaan, NPWP perusahaan, kesesuaian alamat perusahaan, keanggotan asosiasi, kesesuaian nama penanggung jawab, NPWP penanggung jawab, keabsahan ahli kepabeanan, penggunaan pembukuan, jumlah dokumen, jumlah client, dan status pemblokiran akses kepabeanan sampai pada nilai total SPTNP dan SPSA.
Data- data tersebut akan dapat diperoleh baik secara internal (DIT IKC,DIT P2, Kanwil, KPU, KPBC) maupun meminta langsung data kepada PPJK. Sayangnya, penulis tidak mendapatkan informasi terkait fenomena atau pernyataan masalah yang melatarbelakangi serta data pendukung sebelum masuk kedalam tujuan rancangan Peraturan Dirjen ini. Harapan penulis tentunya diperlukan public hearing lanjutan sebelum Peraturan Dirjen ini disahkan dan di implementasikan.
Ada beberapa catatan yang penulis highlight dalam tulisan ini antara lain: pertama, kesiapan PPJK. Ditengah tantangan digitalisasi logistik dan supply chain termasuk didalamnya adalah digitalisasi sistem kepabeanan, perusahaan logistik utamanya yang hanya mengandalkan kegiatannya pada pengurusan jasa kepabeanan (EMKL,EMKU) dengan NIK sebagai PPJK memerlukan inovasi dan adaptasi berusaha.
Digitalisasi yang berefek kepada makin tereduksinya peran pihak ketiga seperti PPJK membutuhkan adaptasi dan inovasi dalam pola bisnis dan upgrade sumber daya manusianya. Pihak klien sebagai end user akan mampu menjangkau langsung pihak pertama melalui sistem informasi dan teknologi tanpa melibatkan lagi pihak ketiga. Hilangkah semua peran pihak ketiga dalam hal ini PPJK? Penulis meyakini bisnis ini akan tetap ada minimal untuk jangka pendek dan menengah, karena selain harus mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) internal, switching cost, dan juga cashflow masih menjadi alasan end user untuk tetap menggunakan jasa PPJK.
Dilapangan kita sering mengenal PPJK dalam idiom lain yaitu Perusahaan Penalangan Jasa Kepabeanan bukan? Kesiapan sumberdaya PPJK dalam hal ini Ahli Kepabeanan juga perlu mendapatkan perhatian serius. Dengan adanya rancangan peraturan terkait monitoring dan evaluasi ini, maka Ahli Kepabeanan yang namanya dicantumkan dalam registrasi NIK harus bersiap untuk membuktikan kapabilitas dan bukti otentik terkait sertifikat ahli kepabeanan. Memastikan bahwa sertifikat tersebut adalah valid dan tidak dipergunakan di perusahaan yang berbeda.
Sertifikasi ulang yang menjadi isu dan kekhawatiran saat ini sebaiknya juga mampu diakomodir oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai dengan melakukan terobosan lain agar perusahaan PPJK yang hanya memiliki satu SDM Ahli Kepabeanan, sudah berusia lanjut dan dalam kondisi ekonomi dan penurunan kinerja masih dapat melanjutkan usaha PPJK nya. Data base sertifikat ahli kepabeanan yang diterbitkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementrian Keuangan selayaknya telah dikumpulkan dan diperbaharui secara berkala serta dapat dilakukan pertukaran data secara elektronik dengan data ahli kepabeanan yang ada pada pusat data registrasi kepabeanan untuk menghindari tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Perusahaan PPJK juga harus secepatnya melakukan upgrade pengetahuan dan keterampilan terutama terkait digitalisasi sistem kepabeanan seperti CEISA 4.0, National Logistics Ecosystem (NLE), dan lainnya, melakukan konsolidasi internal, mengecek dan melakukan inventarisasi kesesuaian data yang dimiliki agar terus terupdate di sistem kepabeanan. Komponen penilaian dan bobot yang telah di uraikan diatas yang menjadi acuan Direktorat Bea dan Cukai dalam rancangan monitoring dan evaluasi PPJK dapat dipersiapkan sejak dini.
Kedua, mendesakkah rancangan Perdirjen terkait monitoring dan evaluasi PPJK ini? Dalam menjawab hal ini tentu harus memahami dari sisi mana kita melihatnya. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Bea dan Cukai tentu memiliki alasan dan latar belakang yang kuat dalam perumusan rancangan peraturan ini misalnya pertama, telah memiliki data seberapa besar porsi PPJK yang tidak sesuai dengan data yang dilaporkan sehingga sangat membahayakan dan mengganggu fungsi pengawasan yang menjadi salah satu tugas pokoknya.
Transparansi dan melakukan publikasi data tentunya hal yang dapat membantu Direktorat Bea dan Cukai dalam menyukseskan rancangan Peraturan Dirjen ini sehingga ketika sosialisasi dan implementasi peraturan tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan seperti penolakan terbuka atau pelaku usaha hanya menerima dengan terpaksa dengan konsekuensi risiko yang harus siap untuk diterima, pasrah. Tagline “ Bea Cukai makin Baik” di uji salah satunya ketika mendengar dan menerima masukan dari pihak lain seperti pelaku usaha dalam merumuskan rancangan peraturan.
Ketiga, program ini telah masuk dalam daftar program strategis dan prioritas serta sudah waktunya untuk di implementasikan meskipun masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Kita tentu berharap bukan program yang dilakukan secara tiba-tiba hanya untuk mengejar target program tahunan tanpa melihat dan memperhatikan kondisi lingkungan makro ekonomi, kondisi perusahaan PPJK yang terdampak pandemi, dan meninggalkan program prioritas lain yang secara dampak lebih besar dalam proses pengawasan maupun tingginya biaya logistik saat ini.
Kehandalan sistem CEISA Kepabeanan, sulitnya mendapatkan akses pelayanan yang beberapa waktu lalu dan sampai saat ini masih mengalami gangguan, serta hambatan yang berakibat barang tertahan lama di pelabuhan dan bandara. Hal tersebut menimbulkan biaya logistik yang cukup besar, berperan aktif bersama Kementrian/Lembaga (K/L) lain dalam integrasi data dan pemecahan masalah terkait sulitnya mendapatkan ruang kapal dan ketersediaan container (shortage container) yang saat ini masih menjadi salah satu isu dalam kegiatan ekspor impor. Tentu, kita semua yakin dan percaya hal tersebut telah secara periodik, simultan, dan berdasarkan skala prioritas dilakukan dan berharap hasil terbaik dari usaha tersebut.
Bagaimana dari sisi pengguna jasa dalam hal ini PPJK? Penulis sendiri menyakini bahwa perusahaan dan pengusaha yang professional akan berusaha mengikuti setiap peraturan yang dibuat. Masalah yang mungkin timbul biasanya pada tenggang waktu dan ketersediaan sumberdaya. Sosialisasi dan memberikan waktu yang cukup kepada PPJK untuk melakukan konsolidasi dan inventarisasi data dapat dilakukan agar program ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah memberikan pemberitahuan awal kepada PPJK apabila ditemukan dan atau indikasi ketidak cocokan data, tidak serta merta langsung memberikan penalty atau sanksi administrasi yang saat ini tentu berat bagi pelaku usaha PPJK ditambah dampak akibat pandemi Covid-19 ini. Perubahan fungsi, misi, dan paradigma dari revenue collector menjadi trade facilitator tentunya sangat dinantikan realisasi dan kontinuitas program tersebut oleh pelaku usaha baik eksportir, importir termasuk PPJK sehingga pelayanan yang bercirikan save time, save cost, safety, dan simple dapat tercapai. Jadi, Monitoring dan Evaluasi PPJK mendesak kah?
13 Oktober 2021
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia
Download artikel ini:
SCI - Artikel Monitoring dan Evaluasi PPJK, Mendesak Kah? (743.6 KiB, 144 hits)