Oleh: Putu Franciska Fajarini S.Log., M.S.M.
Junior Consultant Supply Chain Indonesia
Rantai pasok selalu identik dengan produksi, distribusi, transportasi, dan penyimpanan. Namun, sangat jarang pelaku logistik dan rantai pasok yang peduli dengan pentingnya standar kemasan dan pengemasan dalam rantai pasok. Menurut Verghese (2015), pelaku logistik masih memiliki pandangan tradisional terhadap kemasan. Kebanyakan dari para pelaku logistik dan rantai pasok masih beranggapan bahwa kemasan hanya berfungsi sebagai pelindung produk, padahal kemasan memiliki fungsi yang jauh lebih beragam dari sekedar melindungi suatu produk.
Kemasan dan pengemasan produk yang baik dapat meningkatkan nilai saing perusahaan. Dalam konteks ini, kemasan muncul sebagai elemen kunci yang dapat mendukung implementasi efisiensi dan strategi berorientasi keberlanjutan di bidang logistik dan rantai pasok. Merujuk pada hal tersebut, kemasan yang efisien harus mendukung baik aspek logistik seperti transportasi, penyimpanan dan penanganan material. Sebagai tambahan, hal itu juga harus mendukung aspek lingkungan seperti pengurangan kemasan dan bahan baku konsumsi; misalnya menggunakan kembali, mendaur ulang dan/atau pemulihan limbah dari kemasan (García-Arca, Garrido, & Prado-Prado, 2016).
Di sisi lain, penelitian dari Saghir & Jönson (2001), García-Arca & Prado-Prado (2008), dan Bramklev (2009) mengidentifikasi tiga fungsi utama dalam kemasan yaitu fungsi komersial, fungsi logistik, dan fungsi lingkungan. Untuk menempatkan fungsi-fungsi ini, dalam praktiknya kemasan terbagi atas tiga tingkatan yaitu kemasan primer atau konsumen, sekunder, dan tersier.
Kemasan primer adalah kemasan yang bersentuhan langsung dengan produk yang memungkinkan produk untuk dijual secara eceran kepada konsumen. Kemasan sekunder merupakan kemasan yang tidak bersentuhan langsung dengan produk dan bertujuan untuk melindungi kemasan primernya. Kemasan sekunder biasanya tidak berpengaruh pada stabilitas produk karena tidak bersentuhan langsung. Kemasan tersier merupakan kemasan yang berfungsi untuk melindungi kemasan produk, kemasan primer, dan juga kemasan sekunder. Herudiyanto (2008) menyebutkan bahwa kemasan sekunder digunakan sebagai pelindung selama pengangkutan.
Kemasan yang digunakan dalam pengiriman baik primer, sekunder, maupun tersier dapat memiliki banyak biaya tersembunyi yaitu biaya yang tidak terkait dengan biaya bahan kemasan itu sendiri. Hal tersebut karena pengiriman produk dari satu titik ke titik berikutnya melibatkan banyak proses dan bisa menjadi salah satu bagian paling mahal dalam rantai pasokan. Oleh karena itu, desain suatu kemasan mempengaruhi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung adalah biaya yang berkaitan secara langsung dalam proses produksi kemasan seperti pembelian bahan kemasan dan pengelolaan limbah, sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya turunan yang ditimbulkan dari penggunaan kemasan seperti pengepakan, penanganan, penyimpanan, pengangkutan, dan kehilangan.
Biaya tidak langsung biasanya lebih sering diabaikan oleh pelaku logistik dan rantai pasok yang pada akhirnya menimbulkan biaya yang lebih besar. Sebuah studi yang dilakukan oleh P&G menemukan antara 2% s.d. 10% produk berakhir rusak pada rantai pasokan. Berdasarkan analisis pertama yang dilakukan, penyebab kerusakan ini adalah prosedur gudang, metode transportasi, dan penanganan toko yang tidak baik. Namun, analisis lebih lanjut menyebutkan bahwa penyebab kerusakan produk ini adalah karena pemilihan kemasan yang tidak memenuhi standar (Van Hoek & Chapman, 2006).
Pemilihan “kemasan terbaik” sendiri biasanya terkait dengan pertimbangan yang melibatkan pengurangan biaya (cost reduction) untuk keseluruhan proses logistik dan rantai pasok. Pengurangan biaya ini meliputi: Pengurangan biaya administrasi dengan mengurangi jumlah pemasok dan vendor yang digunakan dalam proses pengiriman untuk mengurangi kerugian biaya administrasi. Pengurangan biaya penanganan dengan merancang kemasan sedemikian rupa sehingga waktu pengepakan untuk paket tertentu dapat diminimalkan. Karyawan dapat mengemas barang lebih cepat dan efisien, yang berarti lebih sedikit uang yang dihabiskan untuk menangani produk dan pengemasannya serta meminimalkan biaya kerusakan produk dengan melindungi produk secara lebih efisien melalui pertimbangan faktor lingkungan dan produk untuk meminimalkan kemungkinan kerusakan produk selama pengiriman.
Sebagai contoh, pengiriman porselen halus akan membutuhkan perlindungan lebih dari pengiriman mug plastik dengan menyesuaikan tingkat perlindungan untuk memenuhi kebutuhan produk. Pendekatan tersebut meminimalkan kerusakan sekaligus mengurangi limbah yang dihasilkan dari penggunaan terlalu banyak kemasan untuk barang-barang yang tidak membutuhkan pengamanan yang bertingkat dan mengurangi biaya pembelian kemasan baru dengan memanfaatkan kemasan yang dapat dikembalikan (returnable packaging) jika memungkinkan. Faktor signifikan dalam biaya pengiriman produk adalah biaya bahan yang digunakan untuk mengirimkan produk. Ketika pengguna akhir tidak memanfaatkan kemasan material dan hanya membuangnya saja, bisnis pengiriman harus membeli kembali material pengiriman untuk pengiriman berikutnya.
Sebuah studi menunjukkan lebih dari 300 perusahaan dalam pasokan rantai industri makanan Spanyol, menghabiskan sekitar 40% (14% langsung dan 26% tidak langsung), untuk biaya pengemasan produk mereka (García-Arca & Prado-Prado, 2008b). Returnable packaging akan mengurangi jumlah kemasan per unit yang perlu dibeli oleh bisnis tertentu. Selanjutnya, ini akan mengurangi biaya lingkungan dengan mengurangi jumlah per unit limbah yang dikirim ke tempat pembuangan akhir.
Salah satu perusahaan yang telah sukses mengoptimalkan metode pengemasannya adalah IKEA, sebuah perusahaan peritel perabot rumah dan furnitur kantor dari Swedia. Perusahaan ini berhasil menciptakan keunggulan kompetitif untuk bisnisnya dan menghemat 1,2 euro juta setiap tahunnya karena berhasil menemukan cara memecah sofa Ektorp menjadi beberapa bagian dan mengurangi ukuran kemasannya hingga 50% sehingga masih banyak ruang yang tersisa untuk produk lainnya (Nilsson, 2007). Tidak hanya IKEA, pemerintah Indonesia melalui BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) menciptakan inovasi kemasan tersier melalui Chip Block Pallet (CBP), sebuah produk kemasan kayu inovatif yang terbuat dari limbah kayu. CBP merupakan salah satu contoh produk berbasis riset yang ramah lingkungan, mengurangi limbah, dan siap untuk dikomersialkan (Ayuni, 2022).
Di sisi lain, salah satu perusahaan kelahiran Indonesia Aqua meluncurkan kemasan botol plastik 100% hasil daur ulang pertama di Indonesia yang juga 100% dapat didaur ulang sebagai bentuk kepeduliannya terhadap lingkungan dan logistik berkelanjutan. PT Unilever Indonesia, Tbk. juga berkomitmen untuk mengurangi setengah dari total penggunaan plastik baru dalam produk-produknya sebelum 2025. Sebagai langkah mewujudkan komitmen tersebut, PT Unilever Indonesia, Tbk. akan mengedepankan inovasi dalam kemasan produk yang mereka jual ke konsumen. Salah satu caranya adalah dengan melakukan desain ulang kemasan produk untuk mengurangi komponen penggunaan plastik.
Sebagai tambahan, pentingnya kemasan sebagai elemen kunci yang dapat menyangga proses logistik dan rantai pasok berkelanjutan, memicu inisiatif pelaku industri untuk menciptakan acara dan penghargaan di bidang inovasi kemasan seperti event U.S. Plastics Pact’s Sustainable Packaging Innovation Award, Paris Packaging Week, dan Wordstar Packaging Award. Indonesia sendiri, brand Cleo dari perusahaan PT Sariguna Primatirta, Tbk. (Tanobel Group) berhasil memperoleh penghargaan “Pertama di Indonesia” dalam kategori Galon Pertama di Indonesia yang Menggunakan Handle serta Bebas Bisphenol-A (BPA Free) pada ajang Penghargaan Pertama di Indonesia (Perdi) yang digagas oleh Tras N Co Indonesia (Barus, 2018). Acara-acara penghargaan di bidang kemasan dan pengemasan ini diharapkan para pelaku usaha dapat menciptakan kemasan yang inovatif dan berkelanjutan.
9 Maret 2023
Referensi:
- Ayuni, S. (2022). Chip Block Pallet, Produk Inovatif dari Limbah Kayu. Jakarta.
- Barus, K. (2018). Inilah Brand-Brand Inovatif Pertama di Indonesia Hasil Riset TRAS N CO Indonesia. Jakarta.
- García-Arca, J., Garrido, A. T.-P., & Prado-Prado, J. C. (2016). “Packaging Logistics” for Improving Performance in Supply Chains: the Role of Meta-Standards Implementation.
- García-Arca, J., & Prado-Prado, J. C. (2008a). Packaging Design Model from a Supply Chain Approach. Supply Chain Management: An International Journal, 13(5), 375-380. http://dx.doi.org/10.1108/13598540810894960.
- García-Arca, J., & Prado-Prado, J. C. (2008b). Packaging as Source of Competitive Advantages. Universia Business Review, 17, 64-79.
- García-Arca, J., Prado-Prado, J. C., & González-Portela Garrido, A. T. (2015). Drivers and stages in “Packaging Logistics”: an Analysis in the Food Sector. In P. Cortès (Ed.), Enhancing synergies in a Collaborative Environment (pp. 51-59). Switzerland: Springer.
- Herudiyanto, M.S. (2008). Pengantar Teknologi Pengolahan Pangan. Bandung: Widya Padjadjaran.
- Nilsson, D. H. (2007). Logistics Driven Packaging Innovation: a Case Study at IKEA. International Journal of Retail and Distribution Management, 638-657.
- Saghir, M., & Jönson, G. (2001). Packaging Handling Evaluation Methods in the Grocery Retail Industry. Packaging Technology and Science, 14(1), 21-29. http://dx.doi.org/10.1002/pts.523.
- Van Hoek, R., & Chapman, P. (2006). From Tinkering Around the Edge to Enhancing Revenue Growth: Supply Chain New Product Development. Supply Chain Management: An International Journal, 11(5), 385-389. http://dx.doi. org/10.1108/13598540610682390.
- Verghese, K., Lewis, H., Lockrey, S., & Williams, H. (2015). Packaging’s Role in Minimizing Food Loss and Waste Across the Supply Chain. Packaging Technology and Science, 28 (7), 603-620. http://dx.doi.org/10.1002/pts.2127.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Kemasan Bagian Penting dari Rantai Pasok yang Sering Terlupakan (386.1 KiB, 211 hits)