Jakarta, Kompas – Kasus pemalsuan vaksin yang ditangani Badan Reserse Kriminal Polri menunjukan, pemalsuan obat harus dihadapi dengan upaya ekstra oleh pemerintah. Salah satunya adalah memperkuat pengawasan di hulu atau tempat produksi obat. Pihaknya juga merekomendasikan regionalisasi pengawasan produksi dan distribusi obat agar beban pengawasan bisa didistribusikan. Caranya, memakai kode nomor registrasi obat berbeda antarwilayah untuk memudahkan penelurusuran jika ada kecurigaan pemalsuan obat.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan belum ada pembicaraan resmi terkait vaksin palsu. Masalah yang menjadi keresahan publik itu kemungkinan dalam waktu dekat dibahas di rapat terbatas. “Soal ini serius. Sebab, tak banyak orang tahu penyebaran vaksin palsu terjadi bertahun-tahun,” ujarnya.
Dalam rapat di DPR, Komisi IX DPR menilai, Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kurang berperan sehingga pemalsuan vaksin terjadi beberapa kali. Pengawasan juga lemah. Menurut anggota Komisi IX dari Partai Amanat Nasional, Saleh Partaonan Daulay, BPOM tidak bisa menjelaskan kandungan vaksin palsu yang ditemukan.
Di Nusa Dua, Bali, Minggu lalu, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, anak balita yang mendapat vaksin palsu perlu diimunisasi ulang. Sebab, di tubuh mereka tak terbentuk kekebalan. Imunusasi ulang pada anak usia 10 tahun dimungkinkan.
Sejauh ini, Bareskrim Polri menelusuri jaringan distributor vaksin palsu di luar Jakarta. Pada hari Senin, penyidik menangkap dua distributor di Semarang, Jawa Tengah. Hingga kemarin, polisi menetapkan 15 tersangka kasus peredaran vaksin palsu.
Sumber dan berita selengkapnya:
Kompas edisi cetak Selasa, 28 Juni 2016
Salam,
Divisi Informasi