Oleh: Setijadi | Chairman at Supply Chain Indonesia
Sebagian pelaku usaha di sektor logistik masih menganggap penerapan logistik yang ramah lingkungan (green logistics) sebagai sesuatu yang mahal dan bertentangan dengan prinsip bisnis yang berorientasi terhadap pencapaian keuntungan (profit).
Penerapan green logistics tidak selalu berarti investasi peralatan baru yang mahal. Penerapan green logistics bisa dilakukan melalui praktik-praktik operasional yang efisien dan ramah lingkungan. Eco-driving, misalnya, bisa menjadi salah satu contoh penerapan green logistics melalui teknik atau cara mengemudi truk yang baik.
Jika memang perlu dilakukan investasi peralatan atau armada baru untuk dapat mengadopsi green logistics, efisiensi yang diperoleh dalam jangka panjang dapat diharapkan akan melebihi nilai investasi yang dikeluarkan. Perusahaan-perusahaan harus membuat strategi investasi yang tepat untuk mendapatkan daya saing yang berkelanjutan.
Hal ini bisa dilihat dari keberhasilan suatu perusahaan transportasi ternama yang secara berkala melakukan penggantian armada pengangkutan penumpangnya dengan umur armada maksimum 5 tahun. Di samping biaya perawatan yang menjadi mahal, tingkat konsumsi BBM armada berumur lebih dari 5 tahun itu juga menjadi tinggi.
Dalam implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, negara-negara ASEAN tidak bisa lagi menerapkan berbagai barrier untuk menghambat arus barang maupun jasa, termasuk jasa logistik. Namun, negara-negara ASEAN masih bisa “menghambat” arus masuk jasa logistik dari negara-negara ASEAN lainnya melalui isu green logistics.
Sebagai contoh, sebuah negara ASEAN bisa menetapkan batasan emisi tertentu sebagai syarat/izin armada transportasi (truk) yang akan masuk ke negaranya. Tentu saja, truk-truk dari Indonesia dan negara-negara lainnya yang tingkat emisinya melebihi batas tidak akan bisa masuk ke negara tersebut.
Perusahaan pemilik barang (manufaktur, pengecer) dan perusahaan logistik global juga bisa menetapkan pemenuhan “green logistics”, sebagai salah satu syarat kemitraan bisnis. Dengan demikian, implementasi green logistics bisa menjadi faktor penentu daya saing, baik dalam MEA 2015 maupun praktik logistik global.
Salah satu bentuk implementasi green logistics di Indonesia adalah Terminal Teluk Lamong yang merupakan green port pertama di Indonesia dan Asia. Selain menggunakan sistem penerangan berkonsumsi energi rendah, Terminal juga mengoperasikan truk-truk berbahan bakar gas yang ramah lingkungan. Efisiensi penggunaan energi yang rendah diharapkan berdampak terhadap biaya kepelabuhanan yang efisien pula.
Penerapan green logistics mencakup keterkaitan banyak pihak. Untuk transportasi jalan, misalnya, pihak-pihak terkait di antaranya pabrikan truk (produsen armada), Kementerian Perindustrian (rancang bangun kendaraan bermotor), Kementerian Perhubungan (uji tipe dan uji emisi gas buang berkala kendaraan bermotor), Kementerian Lingkungan Hidup (ambang batas emisi gas buang), Kementerian ESDM (pengembangan spesifikasi bahan bakar), Pertamina (produksi dan pendistribusian bahan bakar), dan Kepolisian (penegakan peraturan). Pemilik barang (pabrikan dan pengecer) juga menjadi pihak yang berperan mendorong penerapan green logistics.
Tantangan penerapan green logistics di Indonesia:
- Ketersediaan tingkat teknologi kendaraan yang ramah lingkungan di Indonesia masih rendah. Pada saat ini Indonesia masih menggunakan vehicle emission standard Euro 2. Sementara, Thailand, misalnya, telah menggunakan standar Euro 3 sejak tahun 2009, bahkan menggunakan Euro 4 sejak tahun 2012.
- Kualitas bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia terendah di ASEAN, terutama kadar sulfur yang tinggi. Untuk diesel, kandungan sulfur masih sekitar 2.000-3.000 ppm; sementara standar Euro 4 membatasi kandungan sulfur maksimum 50 ppm.
- Ketersediaan dan jaminan keberlanjutan pasokan bahan bakar yang ramah lingkungan.
- Jumlah dan ketersebaran fasilitas pengisian bahan bakar yang ramah lingkungan masih terbatas. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), misalnya, masih sangat terbatas jumlah dan penyebarannya, sehingga para pelaku transportasi umumnya belum berani untuk beralih ke penggunaan SPBG.
- Pemahaman dan kompetensi sebagian pelaku usaha mengenai konsep dan penerapan green logistics masih perlu ditingkatkan.
- Keterbatasan modal para pelaku usaha. Misalnya, sebagian besar perusahaan transportasi mengalami kesulitan pendanaan untuk melakukan peremajaan armada.
Rekomendasi penerapan green logistics bagi Industri Logistik:
- Peremajaan armada ber-emisi gas buang tinggi.
- Penerapan eco-driving.
- Penerapan strategi, teknik, dan operasional logistik yang efisien.
- Pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung operasional logistik.
- Kolaborasi antar pelaku (antar perusahaan transportasi, perusahaan transportasi dan manufaktur/retailer, dsb.)
Rekomendasi penerapan green logistics bagi Pemerintah:
- Peningkatan kualitas bahan bakar.
- Peningkatan jumlah dan ketersebaran fasilitas pengisian bahan bakar ramah lingkungan.
- Pemberian insentif peremajaan armada perusahaan transportasi.
- Pemberian insentif bagi penyedia jasa logistik yang menerapkan green logistics.
Untuk peremajaan armada, Pemerintah perlu memberikan insentif berupa pembebasan PPN masukan (PPN pembelian truk, ban, spare parts, dan lain-lain), karena perusahaan transportasi tidak bisa menagihkan PPN keluaran (jasa perusahaan transportasi bukan objek PPN).
Di samping memudahkan implementasi green logistics, insentif-insentif tersebut akan mendorong peningkatan daya saing perusahaan-perusahaan transportasi Indonesia, termasuk dalam menghadapi MEA 2015.