Pajak.com, Jakarta – Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia semakin solid dan meningkat. Kementerian perdagangan mencatat, nilai transaksi perdagangan elektronik di tanah air mencapai Rp 476,3 triliun sepanjang tahun 2022 atau meningkat 18,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya dengan volume sebesar 3,48 juta transaksi. Seirama dengan itu, regulasi pemajakan ekonomi digital pun semakin adaptif. Lantas, apa saja regulasi pajak ekonomi digital yang sudah berlaku? Dan, bagaimana potensi dan optimalisasi penerimaan pajak ekonomi digital? Assistant Manager International Tax and Transfer Pricing TaxPrime Dinda Natasha akan mengungkapkan analisisnya untuk Anda.
“Digitalisasi telah hadir dalam berbagai aspek kehidupan, kemudian menjadi katalisator signifikan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama setelah pandemi. Saya menyoroti dua hal. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai rilis Bank Indonesia, pada tahun 2022 mencapai 5,01 persen dan potensi dari accessible sumber daya alam, menjadikan Indonesia promising economy. Kedua, UN (United Nations) memperkirakan, pada 2023 Indonesia akan berada di peringkat keempat negara dengan tingkat populasi tertinggi secara global dan peringkat keenam di tahun 2050. Artinya, tingginya tingkat populasi ini menjadi lahan yang pas untuk pertumbuhan digital economy, baik marketplace, digital services, maupun fintech. Untuk itu, dari sisi perpajakan, akan sangat baik jika regulator bisa terus mempertahankan progresivitas dalam pembuatan regulasi perpajakan terkait digital economy yang sejauh ini sudah sangat adaptif sehingga tidak terlambat meng-capture momentum ini,” ungkap Dinda kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta, (19/5).
Ia mengapresiasi, Pemerintah Indonesia yang kian adaptif merespons geliat pertumbuhan maupun peluang ekonomi digital dengan menerbitkan ragam aturan pemajakan. Dinda menyebutkan, pemerintah telah menerbitkan di antaranya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
“Sejak tahun 2019, PP Nomor 80 mengatur mengenai e-commerce atau PMSE sebagaimana term yang digunakan dalam peraturannya. Lalu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang ditetapkan untuk menghadapi keadaan genting akibat dampak pandemi, akhirnya menjadi ketentuan yang membuka pintu perlakuan perpajakan atas PMSE. Secara ringkasnya, poin-poin utama mengenai perpajakan yang diatur dalam undang-undang di antaranya mengenai pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas pemanfaatan BKP/JKP (barang kena pajak/jasa kena pajak) melalui PMSE, dan pembentukan BUT (bentuk usaha tetap) serta pengenaan PPh (Pajak Penghasilan) untuk PPMSE (Pengelola Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) dengan kriteria kehadiran ekonomi yang signifikan,” ungkap Dinda.
Ia mencatat, aturan pun semakin disempurnakan dengan lahirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020, yang mengatur mengenai tata cara penunjukan pemungut, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas PMSE. Kemudian, diterbitkan PMK Nomor 60 Tahun 2022 menggantikan PMK No. 48 Tahun 2020 untuk mengakomodir kenaikan PPN 11 persen yang sudah efektif sejak 1 April 2022.
Sumber dan berita selengkapnya:
https://www.pajak.com/pajak/potensi-dan-optimalisasi-pajak-ekonomi-digital-di-indonesia/
Salam,
Divisi Informasi