Oleh: Dr. Zaroni, CISCP., CFMP.
Head of Consulting Division | Supply Chain Indonesia
Inti dari aktivitas logistik adalah memindahkan material dari pemasok ke produsen untuk proses produksi, dan memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Aktivitas logistik memerlukan transportasi, peralatan penanganan material (material handling equipment), dan gudang. Selain itu, untuk mendukung aktivitas transportasi, diperlukan bahan bakar dan infrastruktur berupa jalan raya, rel kereta api, terminal, depo, stasiun, dermaga, pelabuhan, dan bandar udara. Lebih dari 70% aktivitas logistik berasal dari transportasi.
Peningkatan aktivitas sektor ekonomi, baik sektor primer seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan pertambangan. Sektor sekunder seperti, manufaktur dan industri pengolahan, maupun sektor tersier seperti jasa, akan mendorong peningkatan aktivitas logistik. Transportasi pun semakin meningkat, baik jumlah kendaraan, volume barang yang diangkut, frekuensi angkutan, maupun rute yang dilayani.
Transportasi berdampak pada penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan melaui polusi udara, kemacetan, dan kebisingan suara. Peningkatan jejak karbon, terutama karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), dan Particular Matter (PM) yang dihasilkan dari emisi pembakaran bahan bakar di mesin kendaraan berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Selain itu, aktivitas transportasi berisiko pada kecelakaan.
Peningkatan pemasanan global, perubahan iklim dunia, dan efek Gas Rumah Kaca (GRK) atau Greenhouse Gas Emission (GGE) telah menjadi kecemasan global penduduk bumi menyangkut masa depan bumi dan masa depan manusia. Data dari Bank Dunia, kontribusi Indonesia dalam emisi gas rumah kaca saat ini berkisar 4,47% atau setara 2.161 metric tonCO2 (MtCO2e) dari emisi total di negara-negara seluruh dunia yang sebanyak 48.257 MtCO2e (bandingkan dengan Tiongkok 11,7% atau setara 5.646 MtCO2e).
Bila dihitung emisi per kapita, kontribusi Indonesia di atas rata-rata emisi per kapita penduduk dunia, yaitu 8,6 MtCO2e, sementara rata-rata emisi per kapita penduduk dunia 6,72 MtCO2e. Karenanya, upaya penurunan emisi GRK selalu menjadi perhatian serius berbagai kalangan, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat secara luas. Sektor logistik salah satunya.
Dalam konteks logistik, kontribusi emisi CO2 terbanyak dihasilkan dari aktivitas transportasi, menyumbang hampir 90%. Perbaikan manajemen transportasi untuk penurunan emisi CO2 perlu dilakukan secara kontinu dan konsisten.
Perbaikan Transportasi
Proses perbaikan transportasi untuk logistik dilakukan secara komprehensif dan efektif. Langkah pertama adalah menetapkan sasaran utama fokus perbaikan transportasi logistik, yaitu penurunan emisi CO2. Pemikiran selanjutnya dapat dikembangkan dengan mengidentifikasi apa saja pemicu (driver) emisi CO2 dalam aktivitas transportasi logistik? Jelasnya, peningkatan emisi CO2 itu disebabkan apa? Jumlah kendaraan yang digunakan dalam transportasi? Jenis kendaraan? Teknologi mesin kendaraan? Bahan bakar yang digunakan? Perilaku sopir dalam mengendarai truk? Kualitas infrastruktur jalan? Utilisasi kapasitas kendaraan? Pengaturan rute? Frekuensi? Desain jaringan transportasi? dan masih banyak lagi penyebab emisi CO2 yang dihasilkan dari aktivitas transportasi logistik.
Sasaran penurunan emisi CO2 perlu dieloborasi dalam penetapan indikator kinerja emisi, seperti rata-rata jumlah liter bahan bakar per ton kilometer, jumlah kilometer kendaraan kosong (empty container), tingkat utilisasi kendaraan, jumlah kendaraan yang digunakan, sampai kepada pengukuran yang lebih spesifik, yaitu jumlah emisi CO2.
Ukuran indikator kinerja emisi ini dijadikan KPIs (key performance indicators). KPIs ini dijadikan tolok ukur target penurunan emisi oleh para operator penyedia jasa logistik, baik transporter, pemilik barang (produsen), maupun perusahaan 3rd-party logistics (3PL). Pemerintah melalui kementerian atau dinas terkait seperti Dinas Perhubungan dan Dinas Lingkungan memonitor pencapaian indikator penurunan emisi CO2.
Setelah KPI penurunan emisi ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menilai (assessment) setiap KPIs saat ini. Berapa nilai untuk setiap KPI penurunan emisi? Kemudian, berapa target KPIs untuk penurunan emisi CO2? Selisih atau gap antara nilai KPIs saat ini (current state KPIs emission) dengan target KPIs yang diinginkan (future state KPIs emission) merupakan target perbaikan. Dari target perbaikan ini selanjutnya dikembangkan berbagai alternatif perbaikan logistik untuk menurunkan emisi CO2 sesuai KPI penurunan emisi yang ditetapkan.
Penurunan emisi CO2dari aktivitas transportasi logistik dilakukan dengan mengurangi pemakaian bahan bakar dan optimalisasi penggunaan kendaraan. Ini sejalan dengan prinsip reduce pada strategi 3R (reduce, reuse, dan recycle) dalam mengurangi limbah dan emisi CO2.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan transporter, produsen, dan perusahaan 3PL untuk mengurangi emisi CO2, antara lain:
- Distribution Center (DC) dengan Sistem Hub & Spoke. Sasaran dari strategi ini adalah pengurangan jumlah truk sehingga akan mengurangi pemakaian bahan bakar. Pengurangan pemakaian bahan bakar akan mengurangi emisi CO2. Seringkali perusahaan, baik itu produsen, distributor, maupun grosir menggunakan banyak truk secara langsung dari produsen ke distributor dan ke pengecer untuk melayani distribusi barang.
Pengurangan jumlah truk dalam transportasi pada saluran distribusi dilakukan dengan strategi jaringan hub & spoke. Dalam rantai pasokan untuk saluran distribusi ditetapkan beberapa hub atau lebih populer dengan istilah distribution center (DC) yang dibangun untuk melayani beberapa grosir atau toko pengecer. Penetapan berapa banyak DC dan di lokasi mana didasarkan pada pertimbangan volume, frekuensi pengiriman, jarak, dan waktu tempuh pengiriman. Semakin sedikit penggunaan truk dalam desain distribusi, semakin baik. - Konsolidasi Pengiriman.
Strategi ini sejalan dengan DC sistem hub & spoke. Konsolidasi pengiriman dilakukan dengan cara mengkonsolidasi barang yang akan dikirim dalam volume besar, untuk selanjutnya diangkut dengan menggunakan truk yang memiliki kapasitas lebih besar. Efisiensi dicapai melalui skala ekonomi. Penurunan pemakaian truk terjadi sehingga penurunan emisi CO2 pun dapat diwujudkan. - Pengalihan Moda Transportasi.
Penggunaan truk untuk transportasi logistik berdampak pada peningkatan emisi CO2. Kapasitas truk relatif sedikit bila dibandingkan dengan moda transportasi lain seperti kereta api dan kapal. Karena kapasitas truk sedikit, untuk mengangkut volume barang dalam jumlah besar diperlukan banyak truk. Tentu, penggunaan truk yang banyak, selain peningkatan emisi CO2, juga menimbulkan kemacetan yang semakin parah, baik di jalan perkotaan maupun jalan antarkota.Pada jarak yang lebih dari 500 kilometer, penggunaan moda kereta api lebih efektif dan efisien. Utamanya dari pertimbangan ramah lingkungan, karena emisi CO2 yang dihasilkan kereta api lebih sedikit bila dibandingkan dengan truk dalam satuan emisi CO2 per ton per kilometer. Demikian juga, penggunaan moda kapal laut untuk jarak angkut lebih dari 1.000 kilometer akan lebih efektif, karena pengurangan emisi CO2, mengurangi kemacetan di jalan raya, dan menurunkan biaya transportasi per ton.
- Perilaku Safety dan Eco-driving. Perilaku sopir dalam mengemudikan truk memengaruhi tingkat keselamatan dan pemakaian bahan bakar. Pengkomunikasian dan pelatihan mengenai safety dan eco-driving perlu dilakukan, agar para sopir memahami dan mampu mengemudikan truk dengan selamat, aman, dan hemat bahan bakar.
- Penerapan Transport Management System. Aplikasi ini akan dapat dicapai efisiensi dan efektivitas transportasi, melalui optimalisasi rute, jenis kapasitas truk, jumlah truk yang digunakan, jarak dan waktu tempuh truk, dan utilisasi kapasitas truk dengan pengisian barang kembali (balen). Selain itu, aplikasi TMS yang terhubung dengan GPS dan CCTV di dalam truk yang dapat memonitor perilaku sopir selama mengemudikan kendaraan akan dapat memastikan pelaksanaan safety dan eco-driving.
- Penggunaan Moda Transportasi Bersama. Di era resources sharing ini memungkinkan untuk dilakukan kolaborasi antarpemilik barang, baik produsen, distributor, maupun grosir untuk berbagi kapasitas transportasi dalam pengiriman barang. Efisiensi akan dicapai dari kolaborasi resource sharing
- Penggunaan Bahan Bakar atau Energi Alternatif. Bahan bakar jenis fosil menjadi penyebab utama peningkatan emisi CO2. Karenanya, bahan bakar alternatif untuk transportasi mulai dikembangkan dan digunakan. Bahan bakar alternatif seperti: Compressed Natural Gas (CNG), Liquefied Natural Gas (LNG), Liquefied Petroleum Gas (LPG), bio-diesel, electric power, Dimethyl Ether (DME), dan Ethanol, menjadi alternatif pengganti bahan bakar dari fosil untuk mengurangi emisi CO2.
Jalan Panjang
Keberhasilan implementasi strategi dan program-program penurunan emisi CO2 dalam sektor logistik, yang dikenal dengan green logistics atau logistik hijau, logistik yang ramah lingkungan – memerlukan komitmen dan keseriusan dari pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
Dari kalangan pengusaha di sektor logistik, kontribusi nyata yang dapat dilakukan untuk turut mengurangi emisi CO2adalah pengurangan jumlah kendaraan dan penggunaan energi bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
Kesungguhan para pengusaha, utamanya produsen pemilik barang dan pengusaha operator kendaraan untuk menerapkan desain jaringan hub & spoke, konsolidasi pengiriman, pengalihan moda transportasi dari truk ke kereta api dan kapal untuk jarak transportasi jauh, dan pelatihan secara intensif ke para sopir untuk berperilaku safety & eco-driving, menjadi kunci keberhasilan green logistics ini. Kerelaan untuk berbagi resource, utamanya penggunaan bersama kendaraan dengan produsen pemilik barang lain, sehingga dapat dicapai skala ekonomis dan optimaliasi kapasitas kendaraan, juga menjadi kunci keberhasilan green logistics.
Pemerintah perlu secara intensif melakukan pemutakhiran regulasi dan kebijakan pelaksanaan green logistics ini, dengan peraturan yang lebih sederhana dan mudah dilaksanakan. Tolok ukur peran pemerintah bukanlah dari ukuran banyaknya peraturan yang telah dihasilkan, namun yang lebih penting adalah efektivitas pelaksanaan dari peraturan tersebut. Pengawasan dan penegakan peraturan menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan green logistics. Selain itu, pemberian insentif berupa penurunan bunga pembiayaan, insentif pajak, dan lain-lain dapat diterapkan bagi perusahaan yang berhasil menurunkan emisi CO2.
Konsumen sebagai bagian dari masyarakat dapat berkontribusi untuk turut mendorong implementasi green logistics ini dengan cara memilih produk yang dihasilkan dari produsen yang menerapkan green logistics. Selain itu, membiasakan perilaku 3R (reduce, reuse, dan recycle) atas produk-produk yang digunakan sehari-hari, dengan sasaran mengurangi emisi CO2.
Bumi dan seisinya perlu kita jaga keasrian dan keberlangsungnnya. Lingkungan yang asri, bersih, dan sehat merupakan tanggung jawab bersama. Kesadaran global dalam menjaga kelestarian lingkungan bumi dan alam semesta mendorong para pemimpin organisasi bisnis, pemerintah, dan masyarakat untuk memerhatikan dampak lingkungan. Kesadaran bahwa bumi yang kita huni saat ini perlu kita rawat dan jaga kelestariannya, agar anak-anak generasi mendatang tetap dapat tinggal nyaman dan damai di bumi. Sebab, bukankah sejatinya kita meminjam bumi ini dari mereka??
Bandung, 5 Desember 2017
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Jalan Panjang Implementasi Green Logistics di Indonesia (796.4 KiB, 828 hits)